Judul Buku : NU Untuk Siapa?
Pikiran-Pikiran Reflektif Untuk Muktamar NU Ke-32
Penulis : Prof. Dr. H. Ali Maschan
Moesa, M.Si
Editor : Ach. Syaiful A’la
Penerbit : Pesantren Luhur Al-Husna,
Surabaya
Cetakan : I, Pebruari 2010
Tebal : xv+65 Halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
|
Berbicara
masalah NU tidak lepas dari proses panjang berdirinya, maksud dan tujuan
organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam'iyah diniyah ijtima'iyah) terbesar
di belahan bumi khususnya di Indonesia, yang motori oleh KH Hasyim Asy’ari dan
KH Wahab Hasbullah, dengan semangat awal yakni mendirikan Kebangkitan Bangsa
(Nahdlatu Wathan), kemudian Kebangkitan Pengusaha (Nahdlatut Tujjar), dan
artikulasi pemikiran (Tashwirul Afkar). Ketiga hal tersebut merupakan tiga
pilar berdirinya Nahdlatul Ulama.
Dalam
sejarah perkembangannya, NU tidak bisa diremehkan hanya sebagai organisasi
keagamaan yang berbasis kemasyarakatan. Kontribusi-kontribusi NU yang
didarmakan untuk bangsa ini cukup besar. Pada masa awal kemerdekaan NU mampu
memberikan sumbangsih pemikirannya dalam perumusan Pancasila sebagai dasar
Negara. Melalui resolusi jihad dari KH Hasyim Asya’ari, tentara sekutu yang
hendak mengusik keutuhan NKRI berhasil diusir oleh pejuang-penjuang dari kota
Pahlawan (Surabaya).
Era Orde
Lama, NU mempertegas wujudnya dalam ranah kepemerintahan dan
kebijakan-kebijakan yang bersifat konstruktif. Seperti penggagasan berdirinya
Masjid Istiqlal oleh KH A. Wahid Hasyim, selaku Menteri Agama saat itu, dan
disetujui oleh Soekarno. Penggagasan pendirian IAIN oleh KH Wahib Wahab.
Realisasi penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia pada masa Depag
dipimpin oleh menteri dari NU, Prof KH Syaifuddin Zuhri. Penyelenggaraan
Musabaqah Tilawatil Qur’an diprakarsai oleh Menag dari NU, KH. M. Dahlan. Tegas
kiprah NU pada saat itu tidak bisa dianggap remeh.
Ketika rezim
Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, NU lebih berkiprah pada pengembangan
masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga
pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali pada khittah 1926 melalui
muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah
keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial
keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila
sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.
Sampai pada
meletupnya reformasi yang pada era itu merupakan kemengan bagi warga nahdliyin.
Gus Dur berhasil terpilih sebagai presiden RI ke-4 melalui kendaraan politik
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mana kendaraan tersebut aspirasi warga
nahdliyyin. Melalui Gus Dur sebagai Presiden tentu saja banyak sekali
kontribusi yang disumbangkan terhadap bangsa ini. Kita lihat sendiri, testimony
dari mayoritas khalayak memberikan laqab kepada beliau sebagai guru bangsa.
Namun,
disisi lain, lahirnya PKB banyak yang mempertanyakan eksistensi Khittah 1926.
Melalui buku NU untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif untuk Muktamar NU ke-32,
KH. Ali Maschan Moesa, menjawab bahwa jika NU membidani lahirnya sebuah partai
politik, itu sebagai perantara untuk mewadahi warga yang ada kepedulian
terhadap politik praktis dan bukan berarti NU melanggar tatanan khittah. NU
melanggar khittah jika secara institusional terikat oleh organisasi politik
tertentu (hlm. 1).
Jika NU pada
masa Orde Lama berkontribusi aktif terhadap eksistensi NKRI, kemudian pada
rezim Orde Baru mentransformasikan wujudnya untuk menciptakan civil society dan
melahirkan konsensus untuk berkhittah, maka bagaimanakah wujud NU pada Muktamar
ke-32 yang akan berlangsung dekat ini?
Melalui buku
ini, pembaca bisa melihat lebih jauh tentang apa yang harus dilakukan NU
kedepan. Misalnya kita bisa membaca tantangan-tantangan NU (mulai tantangan
agama, tantangan ekonomi, tantangan hukum, tantangan politik, tantangan ilmu
pengetahuan, tantangan degradasi alam). Problem yang sedang dihadapi NU
(Problem sumberdaya manusia, sumberdaya dana dan problem organisasi), Kekuatan-kekuatan
NU (mempunyai kekuatan kiai dan pesantren, dana besar, banyaknya anggota),
serta bagaimana men-design langkah-langkah yang harus ditempuh oleh NU kedepan.
Lain dari
tersebut di atas, ada empat tantangan yang tidak kalah menariknya yang sedang
dihadapi oleh organisasi Bintang Sembilan saat ini. Pertama, tantangan yang
datang dari jurus kanan, yaitu merebahnya faham fundamentalisme dan radikalisme
yang tidak bisa difahami secara utuh oleh warga NU. Kedua, tantangan dari
sebelah kiri yang merupakan pemahaman keagamaan secara liberal yang hingga kini
justru banyak diminati oleh kalangan muda NU itu sendiri. Ketiga, adalah
tantangan yang datang dari atas, dalam hal ini kuatnya represi penguasa dalam
politik praktis, dan yang terakhir – keempat – adalah tantangan dari bawah
ditandai dengan semakin rendahnya loyalitas warga NU terhadap kiainya yang
terkadang juga kalau kita lihat diinternal pun terjadi pertarungan para
elit-elitnya. Ketika para elit mulai berkomplik dan kemudian akan diikuti oleh
pengikutnya, maka tidak mustahil akan terjadi split personality yang tidak lama
kemudian akan mengancam terhadap eksistensi jam’iyyah dan atau bahkan jama’ah yang ada.
Maksud
hadirnya buku ini diruang pembaca, ke depan (pasca muktamar) NU diharapkan
mampu memberikan problem solving terhadap persoalan-persoalan yang tengah
dihadapi bangsa seperti persoalan ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan.
Yang kalau tilik sejarahnya perkembangan bangsa Indonesia, NU tidak pernah
absen untuk selalu aktif berperan bersama-sama dalam menyelesaikan persoalan
yang tengah dihadapi bangsa.
Setidaknya
NU dalam keadaan apapun dan bagaimanapun harus diposisikan sebagai jam’iyah
diniyah yang memiliki kepedulian bagi semua pihak. Dengan ungkapan lain NU
(Nahdlatul Ulama) untuk NU (Nahdlatul Ummah). Kebangkitan ulama pada dasarnya
untuk membangkitkan dan mengentaskan ummatnya dari segala kesusahan dan
kemelaratan. Selamat membaca! Sukses Muktamar NU ke-32 kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar