Kiai
Idris Hamid tumbuh besar dalam asuhan orang
tuanya. Dalam mendidik anak, sang ayah, Kiai Hamid, memulai dengan
cinta dan mengakhiri dengan cinta. Perhatikan saja bagaimana ulama besar
Pasuruan itu mencurahkan cintanya kepada sang anak. Ia begitu telaten
melayaninya, dari menyuapi, memberi minum, menemani, meminumi obat, sampai
menggendongnya. Asuhan dan didikan sang ayah seperti itulah yang dirasakan
oleh Gus Idris, sapaan akrab K.H. Idris Hamid, di masa kecilnya dulu.
|
Putra terakhir Kiai Hamid kelahiran Pasuruan, 14
Juni 1956, ini mengaku tak pernah dihardik kala sang ayah marah. “Kalau marah
meledak-ledak, tak pernah. Hanya dari sikapnya ketahuan,” kata Gus Idris.
Memang terkadang Kiai Hamid hendak marah kepada salah seorang putranya. Tapi
saat putranya keburu menangis, ia pun tak jadi marah. Ayahnya memang sangat
cepat memaafkan.
Namanya anak-anak, pernah juga Gus Nu`man dan Gus
Nasih, kedua kakak lelakinya yang kini telah tiada, bertengkar. Gus Nasih
ditempeleng oleh Gus Nu`man. Waktu itu bulan puasa. Oleh Kiai Hamid, Gus Nasih
dibawa ke langgar, disuruh wudhu, lalu diajak ikut tadarus.
Dalam mendidik dan mengarahkan dirinya dan juga
saudara-saudaranya yang lain, Kiai Hamid terkesan membebaskan. Namun
membebaskan di sini bukan berarti mengumbar tanpa kendali atau tanpa arah.
Kendali itu tetap ada, tapi dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terasa
membebani. Bahkan, dalam banyak kasus, kendali itu dibuat seperti sedang
bermain-main.
Awalnya adalah melalui penciptaan iklim, yakni
“iklim sungkan”, seperti diistilahkan Gus Idris. Anak-anak dibuat sungkan untuk
berperilaku yang tidak disukai ayahanda sehingga secara mandiri mereka bisa
mengoreksi perilaku mereka sendiri, jika ternyata tidak berkenan bagi orangtua.
Di dalam keluarga, makan dilakukan bersama-sama,
satu meja. Ini sangat baik untuk mengembangkan sikap kebersamaan, mendekatkan
satu dengan yang lain. Biasanya, sambil makan, Kiai Hamid memberikan wejangan,
melalui cerita atau dengan menyitir ujaran-ujaran kaum bijak (ulama).
Sekalipun tampaknya membebaskan, tetap ada patokan
yang jelas. Yang dipentingkan adalah penanaman aqidah dan syari’ah sejak dini.
Karenanya, dalam urusan shalat, Kiai Hamid tidak mau kompromi. Bahkan bisa
dibilang sangat ketat. Karena memang demikianlah tuntunan Rasulullah. Anak usia
tujuh tahun harus sudah dibiasakan mengerjakan salat. Jika usianya mencapai 10
tahun, seorang anak dipukul bila meninggalkan shalat.
Kiai Hamid memang tidak sampai memukul anak-anaknya
karena meninggalkan shalat. Namun sejak usia dini, anak-anaknya diharuskan
shalat lima waktu, termasuk shalat Subuh, yang bagi anak-anak tentu dirasa
paling berat. Caranya cukup halus dan telaten, tapi tak boleh ditawar-tawar.
Seperti halnya yang dialami Gus Idris sendiri. Ia
teringat bagaimana di waktu kecil dulu ia dibangunkan seorang santri, atas
perintah ayahandanya, untuk shalat Subuh.
Pernah pula terjadi pada kakaknya, Gus Nu`man, yang
sedang asyik bermain hujan-hujananan di Desa Ronini, sekitar dua kilometer dari
rumahnya, tiba-tiba sang ayah muncul naik becak. Karena hujan sedang
deras-derasnya, ia memakai payung. “Nu`man, ditimbali Ibu, dikongkon shalat,”
kata Kiai Hamid dengan suara dan bahasa yang halus, yang artinya, “Nu`man,
dipanggil Ibu, disuruh shalat.”
Ia tidak marah, baik kepada Gus Nu`man maupun kepada
teman-temannya. Ia biarkan Gus Nu`man bermain jauh. Bahkan di kala hujan deras
pula. Namun begitu waktu shalat tiba, ia menyempatkan diri menyusul, walaupun
harus dengan mengendarai becak.
Fondasi
Awal Pendidikan
Mengajak anak ziarah kepada ulama, sembari
memintakan doa, adalah cara lain yang ditempuh Kiai Hamid untuk mendidik
anak-anaknya. Ini penting, untuk menanamkan kecintaan kepada orang-orang
shalih, sekaligus menanamkan benih-benih keinginan untuk meneladani mereka.
Kakaknya, Gus Nu`man, pernah bercerita, waktu kecil
dulu ia selalu diajak Kiai Hamid berzirah ke rumah Habib Ja`far bin Syaikhan
Assegaf setiap menjelang Ramadhan. “Habib, tolong doakan anak saya ini agar
kuat berpuasa,” kata Kiai Hamid kepada Habib Ja’far.
Kiai Hamid juga sering “meminjam tangan” orang lain
dalam hal pendidikan anak-anaknya. Misalnya dalam hal pengajaran baca dan tulis
Arab, Gus Idris mengaji Al-Quran serta belajar shalat diserahkan kepada K.H.
Abdur Rahman. Sedang kakaknya, Gus Nu`man, meski pagi hari dibolehkan belajar
di SD, sore harinya disuruh mengaji kepada K.H. Imam, mengaji kitab fiqih
Safinah an-Najah.
Setiap kali ia pulang mengaji, ayahandanya sudah
menunggu di teras rumah, menyongsongnya, lalu menyuruhnya membaca kembali
pelajaran yang baru saja diperoleh, dengan bahasa penuh kebapakan, bahkan
memanjakan.
Selain itu, di antara prinsip Kiai Hamid dalam
mendidik anak-anaknya adalah idkhalus surur, ada rasa nyaman dan bahagia di
hati mereka. Kepada mereka, sang ayah mengembangkan suasana yang sedemikian
lapang, sehingga mereka bisa berkembang dengan baik, tanpa perasaan terkekang.
Kiai Hamid tak pernah menekan atau memaksa. Gus
Nu’man, kakaknya, dulu sekolah di SD Bangilan. Kondisi pada waktu ini cukup
luar biasa. Pasalnya, terutama di Pasuruan, kala itu keluarga kiai belum punya
tradisi mengikuti pendidikan di luar pesantren. Di kemudian hari, kakak Gus
Idris ini dibiarkan masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bahkan ia dibolehkan
pula merangkap di perguruan tinggi umum, yaitu Universitas Jayabaya.
Gus Idris sendiri setelah bertahun-tahun lamanya
mondok di Pesantren Krapyak, mengikuti
jejak kakaknya melanjutkan pendidikannya ke IAIN. Selepas dari IAIN, ia
meneruskannya ke Arab Saudi. Keputusannya untuk sekolah di negara yang berpaham
Wahabi itu tidak mendapat tentangan dari sang ayah. Mungkin pula karena Kiai
Hamid menilai bekal fondasi ilmu agama Gus Idris sudah dirasa cukup untuk
membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh paham yang tidak sejalan dengan
ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Uniknya, para mahasiswa, termasuk dirinya, di akhir
semester disuruh mengajar anak-anak sekolah di tingkat menengah. “Jadi saya ini
bukan hanya sudah pernah diajari ajaran Wahabi, tapi bahkan sudah pernah
mengajari paham Wahabi,” ujarnya sambil berkelakar. Tentu saja karena materi
yang akan diajarkan sudah disediakan sebagai tugas dari almamaternya.
Ia juga teringat pesan dari gurunya sewaktu di
Krapyak, Kiai Ali Ma’shum, agar membiasakan diri berbincang-bincang dengan
penduduk sekitar, kuli-kuli di pasar, atau sopir-sopir angkutan umum yang ada
di sana. Tujuannya tak lain agar penguasaan percakapan bahasa Arab-nya lebih
meningkat. “Kalau percakapan di kampus itu kan biasanya bahasanya lebih resmi
dan belum tentu merupakan bahasa sehari-hari masyarakat Arab itu sendiri,”
katanya.
Dalam pandangannya, Kiai Ali Ma’shum adalah seorang
ulama yang banyak membentuk dirinya, terutama dalam hal-hal kemasyarakatan.
Kiai Ali Ma’shum sendiri, yang juga kawan akrab Kiai Hamid, dikenal sebagai
ulama yang terjun langsung dalam banyak aktivitas masyarakat, di samping
mengkader para santrinya agar setelah lulus nanti dapat berdakwah dengan tepat
di tengah masyarakatnya.
Pesantren
Bayt Al-Hikmah
Nama besar sang ayah adalah warna tersendiri bagi
kehidupan masyarakat kota Pasuruan. Ribuan peziarah dari berbagai daerah
silih-berganti datang berdoa di makamnya. Puluhan ribu orang berdesakan
menghadiri haulnya. Kiai Hamid telah menjadi ikon penting bagi kehidupan sosial
religius masyarakat Pasuruan dan sekitarnya.
Warisan yang paling berharga dari Kiai Hamid tentu
saja adalah Pondok Pesantren Salafiyah. Meski pondok ini bukan didirikan
olehnya, di tangannyalah bentuk nyata kiprah pesantren ini di tengah masyarakat
benar-benar terejawantahkan. Kiai Hamid telah berhasil mematrikan dan mengemas
pendidikan kesalafiyahan sebagai model bagi pendidikan karakter kuat yang
mencerdaskan. Sebuah modal yang sungguh sangat dibutuhkan bangsa kita saat ini.
Pendidikan karakter kesalafiyahan tersebut kini
menjadi tanggung jawab pemimpin Pondok Pesanten Salafiyah untuk terus
diaktualisasikan. Berbagai upaya cerdas terus dilakukan dalam rangka
menyemaikan semangat dan amanah yang diwariskan Kiai Hamid.
Dalam rangka mengembangkan ruang gerak yang lebih
luas bagi pendidikan karakter kesalafiyahan, keluarga besar pesantren ini
menyadari pentingnya memperluas jangkauan visi dan misinya ke arah yang lebih
terbuka, selain peran kepesantrenan model salafiyah, yang selama ini telah
dilakukan. Perluasan jangkauan ini di antaranya dengan mendirikan
sekolah-sekolah formal, mulai dari tingkat prasekolah hingga perguruan tinggi,
sebagai bagian dari kontribusi yang lebih signifikan bagi pengembangan dunia
pendidikan di tanah air.
Karenanya, ia dan keluarga besar Pesantren Salafiyah
telah menyiapkan lahan seluas 12 ha lebih untuk mendirikan lembaga pesantren
baru bernama Pondok Pesantren Bayt Al-Hikmah. Pesantren yang akan didirikan di
Kelurahan Krampyangan, Kecamatan Bugulkidul, kota Pasuruan, ini didedikasikan
sebagai sebuah lembaga penyelengara pendidikan formal dengan visi mewujudkan
pusat unggulan dalam pengembangan sumber daya manusia yang berbasis pada
nilai-nilai spiritual dan kontekstual dalam kerangka penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran yang berkualitas tinggi.
Pesantren ini diharapkan akan mengarahkan segenap
potensinya untuk mencetak generasi muslim yang mempunyai karakter keimanan
kuat, kemampuan akademis yang mumpuni, penguasaan teknologi informasi yang
kompetitif, serta penguasaan bahasa asing yang memadai. Jenjang pendidikan yang
akan dibuka antara lain RA/TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, serta SMK.
Pada peringatan Haul Kiai Hamid ke-84, Selasa 23
Februari 2010, proses pembangunan PP Bayt Al-Hikmah pun dicanangkan. Tak
tanggung-tanggung, pencanangan pembangunan dilakukan oleh beberapa ulama dan
pejabat penting. Pencanangan ini ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh
Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Gubernur Jawa Timur (diwakili oleh
Wagub), serta Wali Kota Pasuruan. Dari kalangan ulama, yang ikut menandatangani
prasasti adalah K.H. Abdullah Faqih, K.H. Hasan Abdillah, K.H. Mushtofa Bisri,
Habib Taufiq Assegaf, dan Gus Idris sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar