Senin, 14 Mei 2012

Kiai Idris Hamid



Kiai Idris Hamid tumbuh besar dalam asuhan orang  tuanya. Dalam mendidik anak, sang ayah, Kiai Hamid, memulai dengan cinta dan mengakhiri dengan cinta. Perhatikan saja bagaimana ulama besar Pasuruan itu mencurahkan cintanya kepada sang anak. Ia begitu telaten melayaninya, dari menyuapi, memberi minum, menemani, meminumi obat, sampai menggendongnya. Asuhan dan didikan sang ayah seperti itulah yang dirasakan oleh Gus Idris, sapaan akrab K.H. Idris Hamid, di masa kecilnya dulu.
Putra terakhir Kiai Hamid kelahiran Pasuruan, 14 Juni 1956, ini mengaku tak pernah dihardik kala sang ayah marah. “Kalau marah meledak-ledak, tak pernah. Hanya dari sikapnya ketahuan,” kata Gus Idris. Memang terkadang Kiai Hamid hendak marah kepada salah seorang putranya. Tapi saat putranya keburu menangis, ia pun tak jadi marah. Ayahnya memang sangat cepat memaafkan.
Namanya anak-anak, pernah juga Gus Nu`man dan Gus Nasih, kedua kakak lelakinya yang kini telah tiada, bertengkar. Gus Nasih ditempeleng oleh Gus Nu`man. Waktu itu bulan puasa. Oleh Kiai Hamid, Gus Nasih dibawa ke langgar, disuruh wudhu, lalu diajak ikut tadarus.

Dalam mendidik dan mengarahkan dirinya dan juga saudara-saudaranya yang lain, Kiai Hamid terkesan membebaskan. Namun membebaskan di sini bukan berarti mengumbar tanpa kendali atau tanpa arah. Kendali itu tetap ada, tapi dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terasa membebani. Bahkan, dalam banyak kasus, kendali itu dibuat seperti sedang bermain-main.
Awalnya adalah melalui penciptaan iklim, yakni “iklim sungkan”, seperti diistilahkan Gus Idris. Anak-anak dibuat sungkan untuk berperilaku yang tidak disukai ayahanda sehingga secara mandiri mereka bisa mengoreksi perilaku mereka sendiri, jika ternyata tidak berkenan bagi orangtua.
Di dalam keluarga, makan dilakukan bersama-sama, satu meja. Ini sangat baik untuk mengembangkan sikap kebersamaan, mendekatkan satu dengan yang lain. Biasanya, sambil makan, Kiai Hamid memberikan wejangan, melalui cerita atau dengan menyitir ujaran-ujaran kaum bijak (ulama).
Sekalipun tampaknya membebaskan, tetap ada patokan yang jelas. Yang dipentingkan adalah penanaman aqidah dan syari’ah sejak dini. Karenanya, dalam urusan shalat, Kiai Hamid tidak mau kompromi. Bahkan bisa dibilang sangat ketat. Karena memang demikianlah tuntunan Rasulullah. Anak usia tujuh tahun harus sudah dibiasakan mengerjakan salat. Jika usianya mencapai 10 tahun, seorang anak dipukul bila meninggalkan shalat.
Kiai Hamid memang tidak sampai memukul anak-anaknya karena meninggalkan shalat. Namun sejak usia dini, anak-anaknya diharuskan shalat lima waktu, termasuk shalat Subuh, yang bagi anak-anak tentu dirasa paling berat. Caranya cukup halus dan telaten, tapi tak boleh ditawar-tawar.
Seperti halnya yang dialami Gus Idris sendiri. Ia teringat bagaimana di waktu kecil dulu ia dibangunkan seorang santri, atas perintah ayahandanya, untuk shalat Subuh.
Pernah pula terjadi pada kakaknya, Gus Nu`man, yang sedang asyik bermain hujan-hujananan di Desa Ronini, sekitar dua kilometer dari rumahnya, tiba-tiba sang ayah muncul naik becak. Karena hujan sedang deras-derasnya, ia memakai payung. “Nu`man, ditimbali Ibu, dikongkon shalat,” kata Kiai Hamid dengan suara dan bahasa yang halus, yang artinya, “Nu`man, dipanggil Ibu, disuruh shalat.”
Ia tidak marah, baik kepada Gus Nu`man maupun kepada teman-temannya. Ia biarkan Gus Nu`man bermain jauh. Bahkan di kala hujan deras pula. Namun begitu waktu shalat tiba, ia menyempatkan diri menyusul, walaupun harus dengan mengendarai becak.
Fondasi Awal Pendidikan
Mengajak anak ziarah kepada ulama, sembari memintakan doa, adalah cara lain yang ditempuh Kiai Hamid untuk mendidik anak-anaknya. Ini penting, untuk menanamkan kecintaan kepada orang-orang shalih, sekaligus menanamkan benih-benih keinginan untuk meneladani mereka.
Kakaknya, Gus Nu`man, pernah bercerita, waktu kecil dulu ia selalu diajak Kiai Hamid berzirah ke rumah Habib Ja`far bin Syaikhan Assegaf setiap menjelang Ramadhan. “Habib, tolong doakan anak saya ini agar kuat berpuasa,” kata Kiai Hamid kepada Habib Ja’far.
Kiai Hamid juga sering “meminjam tangan” orang lain dalam hal pendidikan anak-anaknya. Misalnya dalam hal pengajaran baca dan tulis Arab, Gus Idris mengaji Al-Quran serta belajar shalat diserahkan kepada K.H. Abdur Rahman. Sedang kakaknya, Gus Nu`man, meski pagi hari dibolehkan belajar di SD, sore harinya disuruh mengaji kepada K.H. Imam, mengaji kitab fiqih Safinah an-Najah.
Setiap kali ia pulang mengaji, ayahandanya sudah menunggu di teras rumah, menyongsongnya, lalu menyuruhnya membaca kembali pelajaran yang baru saja diperoleh, dengan bahasa penuh kebapakan, bahkan memanjakan.
Selain itu, di antara prinsip Kiai Hamid dalam mendidik anak-anaknya adalah idkhalus surur, ada rasa nyaman dan bahagia di hati mereka. Kepada mereka, sang ayah mengembangkan suasana yang sedemikian lapang, sehingga mereka bisa berkembang dengan baik, tanpa perasaan terkekang.
Kiai Hamid tak pernah menekan atau memaksa. Gus Nu’man, kakaknya, dulu sekolah di SD Bangilan. Kondisi pada waktu ini cukup luar biasa. Pasalnya, terutama di Pasuruan, kala itu keluarga kiai belum punya tradisi mengikuti pendidikan di luar pesantren. Di kemudian hari, kakak Gus Idris ini dibiarkan masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bahkan ia dibolehkan pula merangkap di perguruan tinggi umum, yaitu Universitas Jayabaya.
Gus Idris sendiri setelah bertahun-tahun lamanya mondok di Pesantren Krapyak,  mengikuti jejak kakaknya melanjutkan pendidikannya ke IAIN. Selepas dari IAIN, ia meneruskannya ke Arab Saudi. Keputusannya untuk sekolah di negara yang berpaham Wahabi itu tidak mendapat tentangan dari sang ayah. Mungkin pula karena Kiai Hamid menilai bekal fondasi ilmu agama Gus Idris sudah dirasa cukup untuk membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh paham yang tidak sejalan dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Uniknya, para mahasiswa, termasuk dirinya, di akhir semester disuruh mengajar anak-anak sekolah di tingkat menengah. “Jadi saya ini bukan hanya sudah pernah diajari ajaran Wahabi, tapi bahkan sudah pernah mengajari paham Wahabi,” ujarnya sambil berkelakar. Tentu saja karena materi yang akan diajarkan sudah disediakan sebagai tugas dari almamaternya.
Ia juga teringat pesan dari gurunya sewaktu di Krapyak, Kiai Ali Ma’shum, agar membiasakan diri berbincang-bincang dengan penduduk sekitar, kuli-kuli di pasar, atau sopir-sopir angkutan umum yang ada di sana. Tujuannya tak lain agar penguasaan percakapan bahasa Arab-nya lebih meningkat. “Kalau percakapan di kampus itu kan biasanya bahasanya lebih resmi dan belum tentu merupakan bahasa sehari-hari masyarakat Arab itu sendiri,” katanya.
Dalam pandangannya, Kiai Ali Ma’shum adalah seorang ulama yang banyak membentuk dirinya, terutama dalam hal-hal kemasyarakatan. Kiai Ali Ma’shum sendiri, yang juga kawan akrab Kiai Hamid, dikenal sebagai ulama yang terjun langsung dalam banyak aktivitas masyarakat, di samping mengkader para santrinya agar setelah lulus nanti dapat berdakwah dengan tepat di tengah masyarakatnya.
Pesantren Bayt Al-Hikmah
Nama besar sang ayah adalah warna tersendiri bagi kehidupan masyarakat kota Pasuruan. Ribuan peziarah dari berbagai daerah silih-berganti datang berdoa di makamnya. Puluhan ribu orang berdesakan menghadiri haulnya. Kiai Hamid telah menjadi ikon penting bagi kehidupan sosial religius masyarakat Pasuruan dan sekitarnya.
Warisan yang paling berharga dari Kiai Hamid tentu saja adalah Pondok Pesantren Salafiyah. Meski pondok ini bukan didirikan olehnya, di tangannyalah bentuk nyata kiprah pesantren ini di tengah masyarakat benar-benar terejawantahkan. Kiai Hamid telah berhasil mematrikan dan mengemas pendidikan kesalafiyahan sebagai model bagi pendidikan karakter kuat yang mencerdaskan. Sebuah modal yang sungguh sangat dibutuhkan bangsa kita saat ini.
Pendidikan karakter kesalafiyahan tersebut kini menjadi tanggung jawab pemimpin Pondok Pesanten Salafiyah untuk terus diaktualisasikan. Berbagai upaya cerdas terus dilakukan dalam rangka menyemaikan semangat dan amanah yang diwariskan Kiai Hamid.
Dalam rangka mengembangkan ruang gerak yang lebih luas bagi pendidikan karakter kesalafiyahan, keluarga besar pesantren ini menyadari pentingnya memperluas jangkauan visi dan misinya ke arah yang lebih terbuka, selain peran kepesantrenan model salafiyah, yang selama ini telah dilakukan. Perluasan jangkauan ini di antaranya dengan mendirikan sekolah-sekolah formal, mulai dari tingkat prasekolah hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari kontribusi yang lebih signifikan bagi pengembangan dunia pendidikan di tanah air.
Karenanya, ia dan keluarga besar Pesantren Salafiyah telah menyiapkan lahan seluas 12 ha lebih untuk mendirikan lembaga pesantren baru bernama Pondok Pesantren Bayt Al-Hikmah. Pesantren yang akan didirikan di Kelurahan Krampyangan, Kecamatan Bugulkidul, kota Pasuruan, ini didedikasikan sebagai sebuah lembaga penyelengara pendidikan formal dengan visi mewujudkan pusat unggulan dalam pengembangan sumber daya manusia yang berbasis pada nilai-nilai spiritual dan kontekstual dalam kerangka penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas tinggi.
Pesantren ini diharapkan akan mengarahkan segenap potensinya untuk mencetak generasi muslim yang mempunyai karakter keimanan kuat, kemampuan akademis yang mumpuni, penguasaan teknologi informasi yang kompetitif, serta penguasaan bahasa asing yang memadai. Jenjang pendidikan yang akan dibuka antara lain RA/TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, serta SMK.
Pada peringatan Haul Kiai Hamid ke-84, Selasa 23 Februari 2010, proses pembangunan PP Bayt Al-Hikmah pun dicanangkan. Tak tanggung-tanggung, pencanangan pembangunan dilakukan oleh beberapa ulama dan pejabat penting. Pencanangan ini ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Gubernur Jawa Timur (diwakili oleh Wagub), serta Wali Kota Pasuruan. Dari kalangan ulama, yang ikut menandatangani prasasti adalah K.H. Abdullah Faqih, K.H. Hasan Abdillah, K.H. Mushtofa Bisri, Habib Taufiq Assegaf, dan Gus Idris sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar