Pada
sekitar dekade 20-an, dimana rakyat Indonesia masih berada dalam genggaman
pemerintah kolonial. Di sebuah dusun kecil yang bernama Kapas di kota Jombang
tepatnya pada tahun 1911 M. lahirlah seorang perintis yang kita kenal sebagai
sosok pecinta ilmu yang arif, bijaksana, tegas dan kharismatik. Beliau adalah
Hadrotus Syekh Romo KH. Abdul Fattah. Terlahir dari pasangan KH. Hasyim Idris
(Kapas Jombang) dan Ibu Nyai Hj. Fathimah binti KH. Hasbullah bin KH. Abdus
Salam (Tambakberas Jombang), beliau adalah putra pertama dari empat
bersaudara. Adik pertamanya bernama Maisaroh (Istri KH. Nur Salim, Mayangan).
Kemudian KH. Abdul Wahid dan yang terakhir adalah KH. Faiq Hasyim (Kedunglo
Kediri).
|
A.
Mengenal lebih dekat Kyai Fattah
KH. Abdul Fattah Hasyim dilahirkan di Kapas Jombang
tepatnya pada tahun 1911 M. dan wafat lebih kurang 31 tahun yang lalu tepatnya
pada hari jum’at wage tanggal 27 April 1977 pukul 22.15 di Tambakberas Jombang.
Ayahandanya bernama KH. Hasyim bin Kyai Idris dari kapas Jombang adalah
seorang
Kyai yang sangat digdaya, terkenal ilmu kanuragannya, wira’ i dan ahli tirakat,
sementara Ibunya bernama Fathimah putri KH. Hasbullah seorang dermawan yang
kaya raya Pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Ibu Nyai Fathimah adalah adik
termuda dari seorang pendiri organisasi Nahdlatul Ulama’ KH. Abdul Wahab
Hasbullah. KH Abdul Fattah Hasyim merupakan putra pertama dari empat
bersaudara, adik pertamanya bernama KH. Abdul Wajid kemudian Ibu Nyai Fatihah (
istri KH. Nursalim Mayangan) dan yang terakhir ( Saudara seayah beda Ibu ) KH.
Moh. Faiq Kedunglo Kediri.
Silsilah keturunan KH. Abdul Fattah Hasyim dari ayah
maupun ibu mempunyai jalur kenasaban (Intisab) sampai pada Pangeran Benowo,
dari pangeran Benowo ke atas jalur keturunan bertemu langsung (muttashil)
sampai pada Joko tingkir ke atas lagi sampai Sultan Pajang ( 1570-1587M).
Setelah usianya sudah mencapai dewasa setelah
beberapa tahun melakukan perjalanan intlektual (ngudi kaweruh babakan ilmu
Agomo) di beberapa Pondok Pesantren di pulau jawa, tepatnya pada 1938 di
usianya yang ke 27 KH. Abdul Fattah di jodohkan seorang gadis cantik yang
bernama Musyarrofah, putri KH. Bisyri Sansuri pengasuh Pondok Pesantren
Denanyar Jombang suami dari ibu Nyai Khodijah yang merupakan kakak kandung Ibu
Nyai Fathimah Ibunya KH. Abdul Fattah. Buah dari perkawinan beliau dengan Ibu
Nyai musyarrofah melahirkan dua belas putra putri (tiga putra dan sembilan
putri). Adapun keduabelas putra putri KH. Abdul Fattah adalah sebagai berikut :
Fathimah (Alm) meninggal di usia dua tahun
Mu’izah (Alm) mennggal di usia dua tahun
Nyai Hj. Nafisah Sahal, istri KH. Sahal Mahfud
(Pengasuh Pondok Pesantren Maslahul Huda Kajen Pati)
Nyai Hj. Hurriyah Jamal, istri KH. Djamaluddin Ahmad
( pengasuh Pondok Pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Bahrul Ulum Tambakberas
Jombang)
Mahsunah (Alm) meninggal di usia bayi
Nyai Hj. Muthmainnah Sulthon, nama aslinya
Kholishoh, Istri KH. Sulthon Abdul Hadi (pengasuh pondok pesantren Al Hikmah
Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Hubby Syauqi (Alm), ayahanda Agus Jabbar Hubbi
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Bahrul Ulum.
Nyai Hj. Lilik Muhibbah, istri KH. Masduqi Amin
(Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Gedongan Cirebon)
KH. Abdul Nashir, (Pengasuh Pondok Pesantren Al
Fathimiyyah dan pengasuh Pondok Induk Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas)
KH. Ah. Taufiqurrahman, (Pengasuh Pondok Pesantren
Ar-roudloh Bahrul Ulum Tambakberas Jombang)
Nyai Hj. Syafiyah, nama aslinya adalah makiyyah
istri Dr.Yahya Ja’far (Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Al Fathimiyyah
Denoyo Malang)
Bani meninggal ketika masih kecil
B.
Kepribadian Kyai Fattah
KH. Abdul Fattah Hasyim dikenal sebagai seorang yang
memiliki kepribadian yang adekuat. Hal ini nampak pada perilakunya yang
cenderung teguh dalam memegang prinsip, suka menolong, penuh kasih sayang,
zuhud, wira’i dan tawaddlu’. Belaiu juga seorang yang memiliki kedisiplinan
yang tinggi dan istiqomah terhadap hal-hal yang terkait dengan mu’amalah,
pendidikan, dan ibadah. Dengan karakternya yang demikian beliau sangat
dihormati oleh orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.
Dalam urusan jamaah shalat lima waktu KH. Abdul
fattah sebagaimana yang di tuturkan oleh putrinya Ibu Nyai Hj Nafisah tidak
pernah absen, bahkan menjelang wafatnya di saat mengalami sakit parah beliau
masih menanyakan orang yang menyertai jamaahnya. Hampir setiap subuh sekitar
pukul 03.30 pagi dengan sangat telaten beliau membangunkan para santri dari
kamar perkamar untuk jamaah shalat subuh, mengomando dengan meniup trompet di
depan rumahnya kepada para santri untuk meng’adzani setiap masuk waktu shalat.
Setengah jam sebelum di mulai jamaah sholat beliau KH. Abdul fattah sebagaiman
yang di katakan oleh KH Hasan, beliau sudah siap dengan pakaian shalat yang
lengkap dengan serban (imamah) di kepala dan sajadah di pundaknya, seperempat
jam sebelum jamaah di mulai beliau sudah megerjakan i’tikaf di Masjid.
Kedisiplinan dan keistiqomahan yang tinggi juga
nampak dari dalam diri beliau KH. Abdul fattah Hasyim ketika membimbing dan
mengasuh santri-santri Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum. Tepat pukul 07.00 ketika
sudah waktunya masuk sekolah, sebelum bel masuk berbunyi beliau sudah
bertandang lebih dahulu ke Madrasah, mengontrol para guru yang tidak masuk pada
hari itu, sehingga menurut Pak Ihsan Mojokrapak sebagai salah seorang guru pada
era Kyai Fattah, melihat kedisiplinan yang tinggi yang sudah mendarah daging
pada diri KH. Abdul Fattah tersebut sehingga menimbulkan perasaan malu (ewuh
pakewuh) dari para guru ketika terlambat atau atau tidak masuk mengajar. Begitu
juga dalam urusan pengajian para santri setelah shalat Subuh dan Ashar menurut
K. Ilham, beliau KH. Abdul fattah adalah tipikal orang memiliki jiwa istiqomah
yang sangat tinggi sekali, tidak pernah absen dalam memberikan pengajian,
kecuali terdapat udzur yang sangat mendesak yang tidak bisa beliau tinggalkan.
Konon karena kedisiplinan dan keteguhannya dalam memegang perinsip dan amanah
khusussnya amanah para santri yang di titipkan oleh orang tuanya kepada belaiu,
walaupun ada tamu sekalipun dari jauh kalau sudah waktunnya ngajar maka beliau
lebih memilih untuk mengajar dari pada melayani tamu tersebut, hal ini di
sebabkan karena beliau merasa punya tanggung jawab terhdap santri santri yang
di titipkan kepadanya. Begitu juga dalam memberikan pengajian masyarakat beliau
KH. Abdul Fatttah Hasyim tidak pernah lobong (absen) sebagaimana yang di
tuturkan oleh bapak Munif ketua ranting NU pada era kyai Fattah, bahwasanya KH
Abdul fattah adalah seorang yang disiplin dan istiqomah dalam membina pengajian
Masyarakat, walaupun kondisi cuaca kurang bersahabat sehabis hujan, kondisi
jalan masih terjal, bergelombang (becek jw) dan gelap karena belum ada
penerangan listrik beliau KH. Abdul fattah tidak pernah malas dan patah
semangat untuk datang ke musholla musholla dalam rangka mengisi pengajian
masyarakat, ketika pengajian di mulai jam 08.30 malam beliau KH. Abdul Fattah
sudah datang sudah datang secara tepat sesuai dan langsung memulai pengajian
tersebut walaupun kedaan jamaah yang hadir masih sangat sedikit, begitu juga
ketika pengajian selesai jam 10 malam maka pada saat itu pula beliau langsung
mengahiri pengajian walaupun tema pengajian yang di bicarakan belum tuntas.
Sehingga menurut Mbah kholiq pengiat pengajian kyai Fattah, akibat kedisiplinan
dan keistiqomahan beliau kyai Fattah tersebut para jamaah yang sedianya akan
absen mengikuti pengajian merasakan malu (sungkan : bahasa jawa) dengan dirinya
sendiri, dan realitas yang terjadi pada masa pengajian KH. Abdul Fattah akibat
kedisiplinan dan keistiqomahannya hampir setiap musholla pada saat pengajian
beliau selalu di penuhi dengan pengunjung, bahkan pihak panitia pengajian
sampai harus membuatkan tenda khusus untuk menampung jamaah pengajian yang
tidak kebagian tempat dalam pengajian yang di asuh oleh beliau.
Di mata keluarganya terutama putra putrinya KH.
Abdul fatah Hasyim adalah sosok seorang ayah yang sangat tegas dan disiplin,
setiap subuh beliau sudah membangunkan putra putrinya untuk jamaah shalat
subuh. di tengah kesibukan mengasuh dan mendidik masyarakat dan anak anak
pondok. Sebagai seorang ayah yang mempunyai tanggung jawab terhadap putra
putrinya terutama dalam urusan pendidikan mereka beliau KH. Abdul fattah Hasyim
juga tidak pernah lepas kontrol terhadap segala aktifitas yang di lakukan oleh
putra putrinya terutama dalam hal pendidikan, hampir setiap hari beliau selalu
memantau perkembangan belajar putra putrinya, selalu menanyakan hasil belajar
yang di raih putra putrinya serta tidak jarang beliau menangani sendiri
pengajaran mereka, sebagaimana yang di alami oleh Ibu Nafisah Sahal, ketika
menginjak kelas enam Madrasah Ibtidaiyyah dia di ajar sendiri oleh ayahandanya
tentang pelajaran ilmu Faraidl. Perhatian KH. Abdul fattah tidak berhenti pada
saat putra putrinya masih belajar di rumah saja akan tetapi ketika putra
putrinya sudah suadah meneruskan belajar di pondok pesantren mereka masih
mendapatkan pantauan dan perhatian serius dari beliau, hal ini terbukti ketika
putra putrinya pulang dari pondok pesantren sebagaimana yang di ceritakan oleh
Ibu Lilik muhibbah salah satu putri beliau, bahwasanya, kalimat pertama yang di
lontarkan beliau kepada sang anak sepulang dari belajar dari Pondok di
antaranya adalah “berapa nilai rapornya, ketika mengikuti pelajaran di pondok”
dan “bagaimana kitabnya (penuh tidak maknanya)”, hal ini menunjukan bahwa KH.
Abdul fattah Hasyim sosok yang sangat disiplin dan sangat intens dan disiplin
terhadap pendidikan putra putrinya.
KH. Abdul fattah seorang yang teguh dalam memegang
prinsip terutama prinsip prinsip syari’ah, komitmen penuh dalam memegang hukum,
tidak ceroboh (semberono) dalam memutuskan setiap permasalahan lebih lebih yang
berkaitan dengan hukum syariat, sebuah contoh yang sangat menarik tentang
komitmen beliau pada permasalahan hukum sebagaimana yang di tuturkan oleh KH.
Djamaludin adalah kebijakan beliau KH Abdul Fattah tentang hukum pengumpulan
zakat fitrah oleh pengurus NU ranting melalui para penerima zakat
mustahiqquzzakat yang di tunjuk panitia untuk menerima zakat dari masyarakat,
dalam memutuskan boleh tidaknya kebijakan seperti ini KH. Abdul Fattah tidak
buru buru memutuskan hukum boleh atau tidak kebijakan di atas, akan sebagai
langkah ihtiyath (hati hati) untuk mencapai kebenaran hukum dalam kacamata
syara’ beliau tidak merasa malu untuk menanyakan terlebih dahulu hukumnya
kepada KH. Bisyri Sansuri. Begitu juga dalam hal penegerian Madrasah Muallimin
oleh pemerintah melalui menteri Agama tahun 1969 KH. Abdul Fattah tidak serta
merta menerima tawaran tersebut akan tetapi tawaran tersebut di terima setelah
melalui pertimbangan dan pemikiran yang matang, sehingga wujud kongkritnya
setelah di negerikannya Madrasah Muallimin tersebut ciri ciri khas pesantren
yang berupa kurikulum kitab kitab salaf tidak sampai tergusur serta menjadi
menu utama dalam proses belajar mengajar di Madrasah ini, hal ini tidak lepas
dari komitmen KH. Abdul Fattah Hasyim dalam mempertahankan prinsip dan
ajaran-ajaran yang di rintis oleh Ulama Ulama salaf .
Menurut ibu Nafikah salah satu santri al fathimiyyah
tahuan 50an, dalam kaitannya memelihara Amar ma’ruf nahi seperti pergaulan
antara laki laki dan perempuan KH. Abdul Fattah Hasyim memiliki sikap yang
sangat tegas dan ketat. bahkan beliau sangat tidak setuju sekali apabila
terdapat acara pengajian sementara di dalamnya terdapat percampuran antara
laki-laki dan perempuan, begitu juga apabila terdapat pengajian yang di hadiri
oleh kaum laki laki sementara yang memberi ceramah dan pembaca Al Qur’an dalam
pengajian tersebut adalah seorang perempuan beliau sangat tidak setuju sekali
dan tidak akan bersedia hadir dalam acara tersebut.
C.
Kesalehan kyai Fattah
Walaupun pikiran, tenaga, dan waktu beliau curahkan
untuk mendidik dan membina (ngemong) santri dan masyrakat, bukan berarti KH.
Abdul Fattah Hasyim berpangku tangan serta melepaskan diri dalam urusan-urusan
keluarga. Sebagaimana di ceritakan oleh KH. Nashir Fattah, sebagai kepala
keluarga yang bertanggung jawab penuh terhadap urusan keluarga terutama dalam
hal ekonomi, berbagai usaha dan pekerjaan pernah beliau jalanai, beliau pernah
merintis bisnis penimbunan garam, berdagang tembakau, membuka toko dan lain
lain akan tetapi dari usaha-usaha yang beliau terjuni itu selalu mengalami
kerugian, bahkan uang pinjaman yang rencanaya akan beliau alokasikan untuk
mengembangkan usaha usaha tersebut raib di ambil oleh sekawanan pencuri,
sehingga dalam perkembanganya untuk menyambung kebutuhan keluarganya beliau
hanya mengandalkan penghasilan dari toko kecil dan sebidang tanah yang sampit
yang di pelihara oleh salah seorang abdi ndalem dan salah seorang warga kampung
Tambakberas.
Dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan
(paspasan : bahasa jawa), tersebut tidaklah mengendurkan perhatian beliau KH.
Abdul Fattah Hasyim terhadap nasib faqir, miskin dan orang orang yang
membutuhkan, hampir tiap pekan bisa di pastikan terdapat tamu yang bertandang
ke rumah beliau untuk meminta sumbagan, di tengah tengah kondisi ekonomi yang
sempit yang beliau alami, dengan tanpa berat (ora eman.: bahasa Jawa) beliau
memberikan sebagian harta yang beliau miliki kepada mereka, akibat kedermawanan
dan kemurahan beliau terhadap orang yang membutuhkan sampai beliau sering
menuai protes dari Ibu Nyai.
Dengan kedermawanan beliau yang begitu tinggi dalam
kondisi ekonomi yang sempit sehingga putrinya Ibu Hj Nafisah sahal
mengibaratkan KH. Abdul Fattah Hasyim bagaikan air yang selalu mengalir yang
tidak pernah berhenti alirannya walaupun di pancarkan ke berbagai aliran.
Adapun untuk kehidupan KH. Abdul Fattah Hasyim yang
berhubungan dengan ibadah, dan amalan amalan keseharian lainnya, sebagaimana
yang di ungkapkan oleh Bapak Abdurrohman Saliman yang pernah menjadi abdi
ndalem kyai Fattah, bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim adalah seorang yang
sangat istiqomah dalam urusan jama’ah shalat lima waktu, bahkan hingga beliau
di beri cobaan sakit parah yang meyebabakan beliau di panggil Allah, beliau tidak
bersedia meninggalkan jamaah.
Untuk amalan amalan ibadah selain jamaah yang rutin
di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim sebagaimana di tuturkan oleh putri
beliau Ibu lilik Muhibbah adalah istiqomah membaca al qur’an setelah jamaah
shalat shubuh sampai jam tujuh pagi, dalam rentang waktu tersebut tidak kurang
empat juz dari al Qur’an yang beliau baca, bahkan kemanapun berpergian beliau
selalu membawa Qur’an kecil di sakunya.
Adapun untuk amalan yang berupa wirid wirid atau
dzikir tertentu tidak begitu banyak yang di amalkan oleh beliau KH. Abdul
Fattah Hasyim, beliau juga tidak terlibat secara formal dalam Thoriqot Thoriqot
tertentu seperti Thoriqot Syadiliyah, Naqsyabandiyah dan lain lain sebagaimana
yang terjadi pada masa sekarang, walaupun beliau sendiri mempunyai amalan
amalan Thoriqot tersebut, Sebagaimana di katakan oleh KH. Syamsul Huda
bahwasnya menurut KH. Abdul Fattah Hasyim ketika seorang sudah mengamalkan
shalat lima waktu dengan berjamaah di tambah dengan Shalat sunnat rowatib dan
membaca Al-Qur’an secara kontinyu (istiqmah) maka sudah merupakan aktualisasi
pada pengamalan Thoriqot. Senada dengan Pak Kyai Syamsul Huda putra beliau KH
Abdul Nashir menuturkan bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim tidak pernah
mengikuti thoroqot tertentu, hal ini di sebabkan karena ketika beliau KH. Abdul
Fattah Hasyim sowan kepada KH. Wahab Hasbullah dalam rangka memohon izin untuk
mengikuti Thoriqot tertentu, permohonan izin tersebut langsung di jawab oleh
beliau KH. Wahab bahwa dengan megadakan pengajian, mendidik dan membina santri
secara rutin sudah merupakan perwujudan dari pengamalan Thoirqot.
Selain amalan amalan yang di lakukan oleh KH. Abdul
Fattah Hasyim sebagaimana yang di sebutkan di atas adalah daya belajar
(Mutholaah) beliau yang sangat tinggi, hampir setiap hari terutama malam hari
beliau secara rutin mempelajari berbagai kitab, terutama kitab kitab yang
sedianya di sampaikan di pengajian santri dan masyarakat. Begitu tingginya
mutholaah beliau sehingga ketika Gus Dur meminta waktu untuk mengaji sebuah kitab
tertentu beliau harus mendapatkan kesempatan jam 01 malam untuk bisa mengaji
sorogan dengan beliau
D.
Perjalanan intelektualitas kyai Fattah
Perjalanan KH. Abdul Fattah Hasyim dalam menuntut
ilmu di awali dari gemblengan secara intensif dari ayahandanya sendiri, beliau
mendapatkan pendidikan dasar Ilmu Ilmu Agama dan pengajaran Al Qur’an. Di
samping mendapatkan pendidikan dari ayahandanya sendiri KH. Abdul Fattah juga
mendapatkan tambahan pendidikan dasar dasar Ilmu Agama di Madrasah Ibtidiyyah
Tambakberas yang pada saat itu beliau se angkatan dengan KH. Moh Wahib sampai
kelas enam shifir
Setelah mengijak remaja, dengan berbekal dasar ilmu
agama yang telah beliau kuasai selanjutnya KH. Abdul Fattah Hasyim melanjutkan
perjalanan intlektualnya Rihlah Ilmiyyah ke beberapa Pondok Pesantren, dan
sudah menjadi tradisi yang umum di kalangan santri santri zaman dahulu
melakukan perjalanan menuntut ilmu yang tidak hanya di satu atau dua pesantren
saja, tradisi ini mereka lakukan di sebabkan karena antara pesantren satu
dengan pesantren lainnya mempunyai karakter dan keunggulan yang berbeda beda,
terdapat tipe pondok pesantren yang hanya mendalami ilmu ilmu Nahwu (Gramatikal
Arab), terdapat tipe pesantren yang hanya mengfokuskan pada pengkajian ilmu al
qur’an dan Hadits dan ada juga tipe Pesantren yang hanya mengfokuskan pada
bidang pengkajian ilmu Tashawwuf sehingga alasan seperti ini mungkin yang
mengilhami KH. Abdul Fattah Hasyim untuk melakukan perjalanan menuntut ilmu
(rihlah ilmiyyah) ke beberapa Pondok Pesantren. Pondok. Pertama kali yang di
tuju oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim dalam pengembaraan menuntut ilmu
menurut sebagian pendapat adalah pondok Pesantren Mojosari Nganjuk, selanjutnya
setelah mendapatkan seberkas cahaya ilmu (Nuurul ilmu) dari Pondok tersebut
beliau melanjutkan ke Pondok pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo di bawah asuhan
KH. Khozin, di Pesantren ini beliau mendalami Ilmu Ilmu Tata Bahasa Arab
(Gramatikal Arab) yang meliputi Shorof, Nahwu (Al fiyyah Ibnu Malik) dan
Balaghoh. Setelah beberapa lama menimpa ilmu di Pesantren Siwalan Panji, dan
mendapatkan modal ilmu yang luas beliau KH. Abdul Fattah Hasyim belum merasa
puas dan masih merasa bodoh terhadap ilmu yang telah di capai, sehingga pada
akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan perjalanan intlektual di Pesantren
Tebuireng Jombang di bawah bimbingan dan asuhan Hadlrotussyaikh KH. Hasyim
asyari. Di pilihnya Pesantren Tebuireng sebagai alernatif terakhir oleh beliau
KH. Abdul Fattah Hasyim dalam pengembaraannya mencari ilmu tidak lain di
sebabkan karena sosok Kyainya yang Alim Allaamah, sosok Ulama pewaris yang di gambarkan
oleh Rosulullah SAW dari Hadits yang di riwayatkan oleh Jabir :
عن حابر رضي الله عنه ( موقوف مرفوع ) قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم لا تجالسوا العلماء إلا إذا دعوكم من خمس إلى خمس : من الشك إلى
اليقين ومن الكبر إلى التواضع ومن العداوة إلى النصيحة ومن الرياء إلى الإخلاص ومن
الرغبة إلى الزهد "
Di riwayatkan dari sahabat Jabir dia berkata:
Rosulullah SAW bersabda: “ janganlah kalian bergabung dengan setiap orang alim
(‘ulama’) kecuali mereka mengajak kalian dari lima perkara menuju lima perkara,
dari keragu raguan menuju keyaqinan dari riya’ kepada ikhlas, dari cinta dunia
kepada benci dunia dari sifat sombong kepada sifat tawadlu’ (merendahkan diri),
dari permusuhan kepada nasehat (Imam Ar-Rozi Tafsir Ar- Rozi Vol 1 hal 472. CD.
Maktabah As-Syamilah
Di samping itu KH. Abdul Fattah ingin ngalap
(mengambil) barokah dari KH Hasyim Asyari sebagai sosok kyai yang alim, wira’i,
dan zuhud, tawaddlu’, sosok kyai yang menjadi lentera umat, dengah barokah
tersebut dapat menjadi cahaya pembuka hati beliau dalam mencari ilmu yang di
ridloi oleh Allah SWT, sebagaimana wasiat sang bijak Luqman al Hakim kepada
kepada putranya : “putraku bergabunglah kalian dengan ulama’ dan ambilah
berkahnya, sesungguhnya Allah menerangi hati itu dengan ilmu seperti bumi yang subur
karena di siram air hujan (Al Muwatha’ Imam Malik). Dalam Nasir Sulaiman . al
Ilmu Dloruroh al Syar’iyyah . (Riyadl: Darul Wathon. 1992), h. 17
Pada saat mondok di Pesantren Mbah Hasyim ini bakat
intlektual KH. Abdul Fattah mulai tampak, sehingga di mata Hadlrotussyaikh KH.
Hasyim Asyari KH. Abdul Fattah termasuk santri istimewa, bahkan menurut KH.
Ilham perak bahwasanya KH. Hasyim Asyari tidak akan memulai mbalah (membaca)
kitab untuk para santri sebelum KH. Abdul Fattah Hasyim berada di sampingnya. Dan
karena kapasitas keilmuan KH. Abdul Fattah yang sudah mumpuni sehingga
Hadlrotussyaikh KH. Hasyim Asyari memberi amanat. Beliau untuk ikut membantu
mengajar para santri di Pesantren Tebuireng serta sering menjadi badal
(pengganti) Hadlrotussyaikh ketika beliau berhalangan hadir dalam pengajian
masyarakat. Menurut penuturan KH. Djamaluddin bahwasannya Hadlrotussyaikh KH.
Hasyim Asyari pernah mengirim beliau KH. Abdul Fattah Hasyim sebagai duta
Pondok dalam rangka mengemban misi da’wah Islam di daerah Sekaran Balen
Bojonegoro selama kurang lebih tiga tahun.
Kesungguhan KH. Hasyim Idris untuk menempa kyai
Fattah salah satunya nampak pada peristiwa ketika kyai Fattah mondok di
tebuireng dan dalam keadaan sakit Sewaktu beliau KH. Abdul Fattah mondok di
Tebuireng, sebagaimana di ceritakan oleh K Faiq Hasyim bahwsanya pada saat itu
beliau mendapat cobaan sakit parah sehingga para pengurus pondok terpaksa
megantarkan beliau pulang ke rumah dengan harapan cepat sembuh ketika sudah di
rumah, akan tetapi dalam kenyataannya sesampainya beliau ke rumah (belum sampai
masuk rumah) KH. Hasyim Idris (abahnya K fattah) sudah muncul dari rumah dan
langsung melarang untuk masuk rumah sambil berkata:” lapo muleh ….luweh apik
mati nang pondok dari pada muleh, aku ihlas, ridlo awakmu mati nang pondok dari
pada mati nang omah ” dan tidak lama setelah kembali lagi ke pondok beliau di
beri kesembuhan oleh Allah dari sakit yang di deritanya
Berbagai fan ilmu di pelajari oleh KH. Abdul Fattah
Hasyim di Pesantrennya Mbah Hasyim Asyari, namun yang paling menonjol dan
paling di geluti adalah Kitab Hadits Shoheh Bukhori yang di susun oleh Muhammad
bin Isma’il al bukhory dan Shoheh Muslim yang di karang oleh Muslim bin Hujjaj
al Qusyairi, bahkan untuk kedua kitab tersebut KH. Abdul Fattah mendapatkan
sanad secara langsung (muttashil) dari Hadrotussyaikh KH.Hasyim Asyari.
E.
Kyai Fattah dan pengembangan pesantren
Antara KH. Abdul Fattah Hasyim dengan pesantren
ibarat sekeping koin yang salah satu sisinya saling melangkapi, KH. Abdul
Fattah Hasyim adalah figur Kyai dari Pesantren oleh Pesantren dan untuk
Pesntren
Setelah belasan tahun secara intensif menggali
pengetahuan keagamaan di berbagai Pondok Pesantren, selanjutnya maka, tak heran
jika KH. Abdul Fattah Hasyim akhirnya mempunyai kapasitas dan intlektual
keilmuan yang tinggi, mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, maka sekembalinya
dari Pesantren Tebuireng pada tehun 1940 beliau langsung mendapat amanat dari
KH. Hasyim Asyari untuk mengajar di Pesantren Denanyar, pada saat beliau membanntu
mengajar di Pesantren Denanyar banyak Santri dari Pondok Pesantren Tebuireng
yang pindah ke Pesantren Denanyar mengikuti jejak beliau, dan konon beliau KH.
Abdul Fattah Hasyim juga turut serta memprakarsai berdirinya Madrasah di Pondok
Pesantren Denanyar.
Selang beberapa lama setelah ikut membantu mengajar
(khidmah) di Pondok Pesantren Denanyar beliau di minta kembali ke Tambakberas
tanah kelahirannya di sebabkan sang ayah KH. Hasyim Idris di panggil yang maha
kuasa.
Ulama’ adalah lentera umat, di manapun mereka
berpijak mereka selalu membawa cahaya yang menyinari umat dari kegelapan dan
kesesatan. KH. Abdul Fattah Hasyim ibarat sebuah lentera yang selalu di
kerubuti kumbang kumbang malam di manapun lentera tersebut berada kumbang
kumbang itu selalu mengikutinya. Dalam al Rozi , Tafsir al Rozi, (CD Maktabah
Syamilah )Vol. 12 hal. 363
Sebagaimana yang terjadi ketika KH. Abdul Fattah
Hasyim pindah ke Denanyar dari menuntut ilmu di Tebuireng di mana banyak santri
dari Tebuireng yang ikut hijrah beliau ke Denanyar, hal serupa juga terjadi
ketika beliau di minta kembali ke Tambakberas setelah meninggalnya ayahandanya
KH. Hasyim Idris, banyak di antara santri santri Denanyar yang ikut hijrah
beliau ke Tambakberas, hal ini di sebabkan karena beliau adalah sosok Guru yang
memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dan selalu menjadi panutan murid
muridnya.
Setelah menikah, beliau menetap di Denanyar. Karena
ketelatenan dan keuletan beliau dalam mendidik santri-santri saat masih menjadi
tangan kanan gurunya di Tebuireng dulu, maka ketika KH. Fattah menetap di
Denanyar, banyak santri yang ikut hijroh ke Denanyar juga. Namum beliau
mengabdikan diri di Denanyar hanya sampai tahun 1942, meskipun demikian yang
memprakarsai adanya Madrasah di Denanyar adalah KH. Fattah. Kembalinya KH.
Fattah ke Tambakberas disebabkan setelah Ayahandanya berpulang ke Rahmatullah,
beliau merasa terpanggil untuk melanjutkan berjuang di bumi Tanbakberas dengan
diikuti 40 santri.
Pada masa masa awal beliau KH. Abdul Fattah Hasyim
menggepakkan kakinya di pondok pesantren Tambakberas, pondok peninggalan dari
mbah mbahnya tersebut kondisi santrinya sangat sedikit sekali bahkan santri
yang tinggal di pondok tersebut tinggal dua belas orang, dan rupanya merosotnya
pamor Pesantren terutama menurunnya jumlah santri tidak hanya di alami oleh
Pondok Pesantren Tambakberas saja, akan tetapi hampir seluruh Pesantren yang di
jawa mengalami hal yang sama. hal ini bila di teliti lebih dalam di sebabkan
oleh beberapa faktor di antaranya adalah, situasi dan kondisi yang tidak
memungkinkan bagi masyarakat untuk memperdalam ilmu di Pondok Pesantren.
Maka dengan kondisi Pondok Pesantren yang sudah
sangat kritis di tengah situasi dan kondisi yang tidak menentu ini timbulah
i’tikad dan perjuangan KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Abdul Fattah Hasyim dan
Kyai Kyai lain untuk mengembalikan para Santri ke meja belajar, upaya yang di
lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim di bantu oeh Kyai Kyai lain di bawah
arahan KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah memberikan himbauan kepada masyarakat
dalam menangkis seluruh gangguan baik secar fisik maupun mental terhadap
eksistensi dan perkembangan Pondok Pesantren,
Di antara usaha yang di lakukan adalah mengajukan
permohonan kepada pemerintah Jepang dengan mengatasnamakan guru yang mengajar
di Tambakbeas setelah sebelumya mengajukan permohonan atas nama ranting NU di
tolak. Dalam pengajuan permohonan ini bertindak sebagai ketua adalah KH. Abdul
Fattah sendiri di bantu oleh pengurus pengurus yang lain di antaranya adalah,
KH. Abdul Jalil, KH. Abdurrohim, K. Zubair, bapak Ma’ruf dan bapak Soihah, yang
kesemuanya di hadirkan di Jombang untuk berjanji dan bersumpah di hadapan
pemerintah Jepang, di bawah ancaman nyawa, dan pada akhirnya dengan semangat
jihad yang tinggi, permohonan para Kyai tersebut di kabulkan oleh pemerintah
Jepang, dan pada ahirnya Madrasah di perbolehkan beroprasi kembali.
Langkah selanjutnya yang di lakukan oleh KH. Abdul
Fattah Hasyim setelah berhasil membebaskan lembaganya dari intervensi penjajah
Jepang adalah menciptakan image (anggapan positif) bagi seluruh anggota
masyarakat terhadap citra Pondok Pesantren yang sebelumnya tercoreng akibat
propaganda kaum penjajah, melalui mimbar mimbar pengajian rutin yang beliau
rintis bersama sama para tokoh masyarakat yang di antaranya adalah K. Husni,
dan K.Abdul Jalil. Dalam mimbar pengajian tersebut beliau-beliau mengajak
seluruh elemen masyarakat untuk mengarahkan anak anaknya agar belajar di
sekolah sekolah Islam yang di antaranya adalah Madrasah Ibtidaiyah Tambkberas.
Setelah situasi dan kondisis mulai kondusif,
rongrongan dan fitnah dari kaum penjajah terhadap Pondok Pesantren sudah tidak
ada lagi, langkah selanjutnya yang di lakukan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim
dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan kemajuan Pendikan Islam di Bahrul
Ulum adalah beliau merintis berdirinya Madarasan Muallimin Mualliamat sebagai
lembaga sekolah lanjutan tingkat menengah dan atas dan Pondok Pesantren Putri
al fathimiyyah sebagai sarana tempat tinggal bagi santri putri yang ingin
mondok dan belajar secara optimal di Tambakberas. Dan sepeninggal KH.Abdul
Hamid beliau di beri amanat untuk mengasuh santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum.
Pada tahun 1956, di Tambakberas telah berdiri sebuah
sekolah bernama “Mubdil Fan” yang didirikan oleh KH. Wahab Hasbulloh. Dan
beberapa tahun kemudian jenjang pendidikan formal yang telah ada ditambah
dengan mendirikan Madrasah Muallimin Muallimat Atas (MMA) ,waktu itu dengan
jenjang pendidikan 4 tahun . Dan pada tahun 1965 MMA disempurnakan menjadi 6
tahun. Tapi di tengah-tengah tahun 1965 MMA disempurnakan Ulum, pada tanggal 7
Ramadlan Almaghfurlah KH. Abdul Hamid yang mengelola dan bertanggungjawab
terhadap PP. Bahrul Ulum berpulang ke Rahmatulloh, sehingga pengelolaan
selanjutnya di percayakan kepada KH, Abdul Fattah Hasyim, sementara KH. Abdul
Wahab Hasbulloh sendiri aktif di Organisasi Nahdlotul Ulama’ .
Di antara kesibukan beliau dalam mengelola Pondok
Pesantren dan madrasah serta membina masyarakat di sekitarnya, ternyata KH.
Abdul Fattah sama sekali tidak melupakan tugas utamanya sebagai seorang ayah.
Dalam mendidik putra-putranya beliau terkenal sangat tegas dan menanamkan sikap
disiplin tinggi sebagaimana ayaha beliau dulu mendidik beliau KH. Hasyim Idris,
ketegasan beliau terlebih menyangkut hal-hal yang bersifat prinsipil dapat
dirasakan pada putra putri beliau, salah satu contoh ketika ada yang melanggar
maka harus siap menerima hukumannya. Tetapi sebenarnya beliau bukanlah sosok
yang diktator, ini dapat ditelaah dari cerita putra beliau. Ketika itu salah
satu dari putra beliau yang pulang dari pesantren mengambil sebuah kebijakan
hukum yang tidak sama dengan beliau, melihat hal itu, KH. Abdul Fattah tidak
langsung menyalahkan atau menyalahi putranya itu. Tapi dengan amat bijaksana
beliau menanyakan tentang dasar-dasar hukum yang diambil pijakan oleh putranya
tersebut, dan ketika sang putra berhasil mengajukan sebuah argumen yang cukup
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, mak dengan bijaksana pula beliau
mendukung dan memebenarkan apa yang dilakukan oleh putranya itu . Hal ini
sebagai bukti bahwa dalam menghadapi darah dagingnya beliau cukup demokratis,
yang penting tidak melanggar syariat.
F.
Kyai Fattah dan Masyarakat
Di lihat dari aspek amaliyahnya terutama bagi
masyarakat terdapat empat tipe seorang Kyai yaitu Pertama adalah Kyai tandur (
Kyai yang hanya mengurusi pegajian umat ) Kedua kyai tutur ( Kyai yang
memberikan ceramah / ahli pidato) Ketiga Kyai catur ( kyai yang berkecimpung di
dunia politik) dan Keempat adalah Kyai sembur (kyai yang memberikan terapi dan
pengobatan pada masyarakat).
KH. Abdul Fattah Hasyim adalah tipikal Kyai yang
masuk pada kelompok pertama, di mana beliau adalah bisa dikatakan sebagi
khodimul ilmi wal-ummah seorang Kyai yang hidupnya di curahkan untuk melayani
umat, yang selalu memberikan bimbingan dan arahan mereka tentang ajaran ajaran
islam yang di bawa Rosulullah SAW, menjauhkan mereka dari jurang kekufuran dan
menghindarkannya dari limbah kebodohan dan keterbelakangan.
Pada tahun 1964 bersama sama sejumlah Kyai
Tambakberas di antaranya adalah K.Khotib, K.Masykur dan K. Soihah beliau
merintis pengajian masyarakat (Majlis Ta’lim), sebagai tindak lanjut terhadap
pengajian yang pernah di rintis oleh KH. Abdurrohim. Tahap awal permulaan
pengajian yang yang di prakarsai oleh beliau KH. Abdul Fattah Hasyim bertempat
di Musholla Gedang, (sebelah timurnya makam Mbah Wahab) dan pada
perkembangannya pengajian yang di rintis oleh para Kyai tersebut semakin maju
dan berkembang, dan bahkan merambat ke sebagian besar Musholla-Musholla yang
berada di desa Tambakberas dan sekitarnya, sehingga dengan semakin besarnya
animo masyarakat terhadap pengajian serta semakin banyaknya majlis majlis
pengajian yang di selenggarakan di Musholla-Musholla maka terbentuklah semacam
asosiasi atau perhimpunan para Kyai yang bertugas memberikan pengajian rutin di
masyarakat yang dalam istilah sekarang dewan pengajian rutin atau dinas
pengajian rutin (DPR). Sebagaimana di ceritakan oleh Mbah kholiq, seorang
pegiat pengajian KH. Abdul Fattah menuturkan, “karena begitu antusiasnya para
Masyarakat dalam mengikuti pengajian yang di rintis oleh KH. Abdul Fattah
Hasyim dan para Kyai Kyai Tambakberas hingga Panitia Pengajian memasang tenda
untuk jamaah yang hadir, di sebabkan kondisi daya tampung musolla sudah tidak
mampu menampung banyaknya para jamaah yang mengkuti pengajian”
Dalam memberikan pengajian di masyarakat yang di
adakan tiap malam Ahad KH. Abdul Fattah Hasyim mempunyai kedisipinan yang
sangat tinggi, ketika pengajian di mulai pada jam delapan maka sebelum jam
delapan beliau sudah berada di majlis pengajian, pada hal saat itu belum ada
transportasi seperti sekarang, kondisi jalan masih becek (jembrot : bahasa
Jawa), dan belum ada lampu peneragan jalan.
Dalam menjalin pergaulan dengan masyarakat sekitar
beliau KH. Abdul Fattah Hasyim termasuk tipe orang yang humanis memiliki rasa
kepedulian sosial yang sangat tinggi terhadap setiap orang, senang menghadiri
undangan acara masyarakat kampung di tengah kesibukannya mengasuh santri dan
masyarakat, gemar memberikan santunan kepada Faqir miskin dan orang yang
membutuhkan. Dengan rasa solidaritasnya yang begitu tinggi terutama terhadap
Faqir Miskin dan orang orang yang membutukan maka pada setiap akhir bulan
Romadlon, bersama tokoh tokoh masyarakat beliau membentuk panitia yang menghimpun
zakat fitrah dari masyarakat kemudian di distribusikan kepada masyarakat yang
membutuhkan, seperti faqir miskin, anak anak yatim, Guru Guru Diniyyah dan lain
lain.
G.
Kiprah Di Organisasi
Berbeda dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang aktif
dalam organisasi terutama organisasi NU, dan bahkan memelopori berdirinya
Syarikat Islam, KH. Abdul Fattah Hasyim justru kurang begitu tertarik untuk
terlibat secara langsung dalam kegiatan organisasi. Kiprah beliau dalam lingkup
lembaga NU hanya sebagai motivator dan pembakar semangat para Pemuda dalam
memperjuangkan eksistensi ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di tengah masyrakat.
Sebagamana yang di tuturkan oleh KH. Faiq Hasyim,
pada saat NU masih menjadi partai politik beliau sering memberikan orasi kepada
para simpatisan pendukung partai NU dalam musim kampanye partai NU, di antara
isi orasi kampanye KH. Abdul Fattah Hasyim terhadapa para pendukung partai NU
sebagaimana yang di tuturkan oleh KH. Faiq Hasyim adalah bahwasanya sebelum
mengawali kampanyenya terlebih dahulu beliau membunyikan nada batuk batuk ala
NU, dalam mengucapkan batuk NU nada kalimatnya adalah “ u’u’u’uee-nnu” kemudian
para pengunjung yang hadir secara kompak menirukan kalimat tersebut sehingga
dengan strategi seperti itu para simpatisan memiliki semangat dan fanatisme
yang tinggi terhadap partai NU.
Sedangkan motifasi kampanye beliau terutama terhadap
kalangan para remaja di antaranya adalah: “ wahai para pemuda ansor kalian
semua harus bisa memasyarakatkan islam ” di ucapkan dengan berulang ulang
sehingga dengan keistimewaan yang di miliki beliau dalam membangkitkan gairah
dan semangat para pemuda adiknya KH. Faiq menjulukinya sebagai seorang diplomat
dan motifator yang ulung. ketika para pemuda dan para santri mendapat sentuhan
motivasi beliau, mereka sontak langsung mendapatkan spirit dan motifasi
(ghirroh) yang tinggi.
Sebagian pendapat mengatakan bahwasanya KH. Abdul
Fattah Hasyim juga pernah terlibat aktif dalam organisasi massa hanya saja
dalam level daerah. Sebagaimana yang di ungkapkan KH Djamaluddin Ahmad
bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim pernah menjadi syuriah NU cabang Jombang di
saat ketua umum Tanfizdiyahnya di pegang oleh KH. Aziz Bishri. begitu juga Mbah
Ahyat perak menuturkan bahwasanya KH. Abdul Fattah Hasyim dalam organisasi NU beliau
pernah menjabat sebagi Katib Syuriah NU, yang di antara tugas tugas beliau
sebagaimana penuturan Mbah Muhayyat adalah menulis jawaban jawaban dari segala
persoalan persoalan hukum yang terjadi di tengah tengah masyarakat. Sedangkan
menurut penuturan K. Kholil dari Nganjuk adalah bahwasannya KH. Abdul Fattah
Hasyim sering mengikuti acara Halaqoh dan Bahtsul Masa’il membahas problematika
umat bersama Ulama Ulama NU.
H.
Kyai Fattah berpulang ke Rahmatulloh.
Sebagaimana di ceritakan oleh KH. Nashir Fattah, KH.
Abdul Fattah Hasyim semenjak beliau terjatuh dari pondok di depan ndalem
beliau, kondisi kesehatan beliau mulai tidak stabil, sering sakit sakitan,
dalam kondisi seperti ini beliau masih rutin mengimami jamaah shalat lima waktu
serta memberiakan pengajian dan pengajaran kepada para santri, dan bahkan
hingga pada masa masa kritis dari sakit yang beliau derita, beliau masih
menanyakan siapa yang yang akan menemaninya dalam menjalankan shalat berjamaah.
Di usia yang ke enam puluh enam tahun, akibat sakit
yang di derita dari hari ke hari kondisi kesehatan beliau semakin memburuk,
tepat pada malam Juma’at tanggal 27 April pukul 22.15, minggu tenang menjelang
pemilu 1977 beliau menghadap keharibaan sang Kholiq, Innaa lillahi wainnaa
ilaihi rooji’uun
Duka yang mendalam menyelimuti seluruh masyarakat
muslim terutama warga besar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum atas kepergian
seorang Ulama’ besar, sosok pencinta ilmu yang seluruh hidunya di curahkan
untuk membina dan membimbing umat, seorang pejuang pendidikan yang berhasil
menorehkan sejarah perkembangan Pendidikan Islam di Bahrul Ulum.
allohummahamrhum, wayaghfirlahum, wayu’laa darojaaatahum fil jannah,
wayanfa’unaa biarsroorihim waanwaarihim wabiuluumihim wabarokaatihim amiin.
Pada Jum’at pagi beliau di makamkan di pemakaman
keluarga, sebelah selatan Madarasah Muallimin Muallimat atas wasiyat beliau
yang menginginkan untuk di makamkan di sebelah selatan gedung Madrasah
Muallimin harapan beliau dengan di makamkan di tempat tersebut ketika beliau
sudah di alam baqo’, beliau masih bisa mendengarkan santri santri yang membaca
kitab, melantunkan bait bait al-fiyyah dan ayat-ayat suci Al Qur’an.
sangat inspiratif... thanks
BalasHapus