|
Judul Buku : Nahdlatul
Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan
Editor : Khamami Zada,
A. Fawaid Sjadzili
Penerbit : Kompas,
Jakarta
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : xii + 260
Halaman
Peresensi : Abdul Halim
Fathani*
|
NU,
merupakan Organisasi massa terbesar -saat ini- di Indonesia, bahkan di dunia.
NU, baru saja menggelar Muktamar ke-32 yang berlangsung di Asrama Haji Sudiang
Makasar Sulawesi Selatan 22-27 Maret 2010 yang lalu. Banyak persoalan penting
yang dibahas dalam muktamar tersebut, seperti meneguhkan kembali jati diri NU
melalui pemantapan makna “kembali ke khittah”, pembentukan Pengurus Anak
Ranting (PAR), peneguhan identitas Ahlussunah Waljamaah, selain agenda penting
–pemilihan rais am dan ketua umum. Di luar itu, juga banyak digelar acara
pendukung, seperti seminar, bedah buku, bursa buku, dan sebagainya.
Melalui
muktamar inilah, NU berupaya melakukan refleksi dan evaluasi-kritis atas peran
dan kontribusi NU dalam konteks sosial-kemasyarakatan, dalam berbangsa dan
bernegara. Hal ini telah menunjukkan bahwa NU benar-benar eksis, baik secara
kultural-struktural, maupun jamaah-jam’iyyah. Dengan kata lain, ini menjadi
modal awal mengantarkan NU untuk selalu berada di garda terdepan dalam rangka
mengawal dinamika perubahan yang terus terjadi dalam koridor ahlussunah
waljamaah.
Sebagaimana
yang disampaikan Mbah Sahal Mahfudh dalam khutbah iftitah di Muktamar ke-32.
Bahwa, berdirinya NU, sesuai dengan namanya, adalah momentum kebangkitan para
ulama yang seiring dan menyertai kebangkitan seluruh bangsa Indonesia dalam
tekad perjuangan untuk mencapai cita-cita kemanusiaannya, yaitu kemerdekaan
sejati dan keluhuran martabat lahir dan batin. Sejarah pun mencatat sumbangsih
NU yang menjadikannya tak terpisahkan dari NKRI, alam jati diri, jiwa, dan
cita-cita. Selanjutnya, Mbah Sahal juga menuturkan, NU menyadari bahwa, dewasa
ini dinamika dunia internasional telah menempatkan Islam dalam posisi kritis,
dengan maraknya paham keagamaan yang cenderung ekstrem, fundamentakistik,
formalistik, dan tidak toleran. Menanggapi fenomena ini, NU bertekad untuk
mengambil bagian dalam upaya mengatasi masalah kemanusiaan. NU siap mengambil
peran aktif, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Sementara,
Presiden SBY mengatakan, sebagai organisasi, NU memiliki nilai dasar dan
prinsip jati diri yang kukuh, yang mencerminkan setidaknya dua hal. Pertama,
sebagai organisasi keumatan yang menganut jalan tengah yang lurus yang dikenal
sebagai jalan moderat, yang menolak jalan ekstremitas dan jalan kekerasan.
Jalan itu justru menghormati kemerdekaan dan kemajuan, yang menjalin ukhuwah
Islamiyah (persatuan Islam) dan ukhuwah wathaniyah (persatuan bangsa) yang
menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semua alam (rahmatan lil alamin). Kedua,
NU adalah organisasi yang terus membangun kemitraan dengan pemerintah untuk
menyukseskan program kesejahteraan rakyat, seperti ekonomi kerakyatan;
pendidikan, baik pesantren maupun umum; kesehatan masyarakat; gerakan melawan
kejahatan, seperti narkoba dan korupsi; dan pemeliharaan lingkungan. (Kompas,
24/3/10)
Buku ini
merupakan kumpulan pikiran-pikiran cerdas kaum muda NU, yang mencoba untuk
melakukan refleksi dinamika perubahan yang selalu dan terus terjadi dalam
perspektif NU dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa yang beradab dan
bermoral. Buku yang berisi pelbagai opini yang telah di muat di Kompas dalam
kurun waktu 2004-2009 ini dapat menggambarkan betapa gigihnya perjuangan NU
dalam rangka membangun keutuhan NKRI. Ternyata, NU sebagai organisasi umat
terbesar, telah menjadi bagian penting dari kekuatan masyarakat beradab untuk
berkontribusi dalam membangun keadaban bangsa. NU Berhasil membangun keadaban
bangsa yang didasarkan pada semangat kebersamaan lintas agama dan keyakinan,
begitulah kata Zada-editor buku ini. Kiranya, tekad bulat NU –seperti ini-
patut diapresiasi dan terus didukung oleh umat kebanyakan.
Tantangan
bagi NU adalah, bagaimana NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia
mampu (sekaligus) mau menampilkan karakter Islam ala Indonesia, seperti yang
telah dipraktikan oleh para pendiri, sebut saja Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari
dan K.H. A. Wahab Hasbullah. Cara berpikir NU untuk mempertahankan tradisi tak
lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam sambil terus
melakukan perubahan yang lebih baik (hlm. 131).
Sejak
kelahirannya, Nahdlatul Ulama menjadi pelopor dalam membangun peradaban yang
berbasis keislaman sekaligus keindonesiaan. NU senantiasa menjunjung tinggi
keberagaman dan toleransi beragama. Dengan prinsip dasar dan jati diri itu, NU
terus meningkatkan pengabdian dan perannya dalam membangun bangsa ini. Semua
yang dilakukan NU pada masa lalu masih tetap relevan dan tetap diperlukan pada
masa sekarang ataupun masa depan. Sebagai organisasi Islam yang berpengaruh,
kehadiran NU di Tanah Air bukan saja memberikan pencerahan dan pencerdasan
umat, melainkan melampaui perbedaan agama. Masyarakat dibimbing ke dalam
kehidupan bermoral, berakhlak, berbudi, dan bermartabat sebab Islam membawa
nilai-nilai universal serta menembus batas-batas negara dan peradaban. (Kompas,
24/3/10)
NU kini
berada pada suatu zaman yang memerlukan penyikapan matang dan bijaksana. NU
berada pada arus perubahan dan informasi yang cepat. Sudah seharusnya warga NU
tetap menjaga komitmen untuk memegang kaidah “Almuhaafadhatu ‘alal qadiimish
shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar