|
Judul Buku : Pemikiran
dan Sikap Politik Gus Dur
Penulis : Dr. Ali
Masykur Musa
Penerbit : Erlangga,
Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : vii + 162
halaman
Peresensi : Mashudi
Umar*
|
Pencetus
humor “Gitu aja ko’ repot” tiada habisnya untuk dibicarakan, didiskusikan dari
berbagai perspektif oleh anak bangsa termasuk ketika Gus Dur menjadi presiden
yang dipilih langsung oleh MPR, awal mula “kran” demokrasi dibuka tahun 1998
ini. Gus Dur di panggung kekuasaan adalah sejarah besar bagi warga nahdliyin,
sejarah yang ingin diakui oleh generasi penerusnya. Sejarah Gus Dur di panggung
kekuasaan berakhir setelah Megawati Suekarno Putri dilantik menjadi Presiden RI
ke-5 dalam SI MPR. Barangkali itulah politik, harus rela menghadapi resiko
dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya. Dan Gus Dur sudah mendapat resiko
paling buruk dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Semenjak
menjadi Presiden RI, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah besar membangun
demokrasi, kebebasan pers dan berbicara, serta perjuangan hak-hak kaum
minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1998-2001) telah memberikan wacana yang
menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Paling tidak, selama kurang
dua tahun menjadi presiden banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi bangsa ini.
Bahkan proyek desakralisasi istana, supremasi sipil, deformalisasi Islam,
perebutan tafsir konstitusi menjadi wacana politik yang menakjubkan saat itu.
Yang masih dalam catatan kita khususnya anggota DPR saat itu, Gus Dur ketika
memberikan sambutan pada sidang paripurna mengatakan bahwa anggota DPR sama
dengan “Taman Kanak-Kanak”.
Karena bagi
Gus Dur, negara tidak mesti mengatur seluruh aktivitas warga negaranya,
sehingga dalam pemerintahannya, kebebasan masyarakat benar-benar berlangsung. Manuver
dan aksi politik pun dilakukan secara terbuka. Hal ini terlihat dengan jelas
dan konflik yang berlangsung antara presiden dengan DPR, hingga ia harus
dilengserkan dalam SI tersebut. Dengan
kata lain, liberalisasi politik benar-benar terjadi.
Semuanya ini
diberikan kebebasan oleh Gus Dur, karena gagasan progresifnya yang tidak saja
disemangati oleh prinsip demokrasi, tetapi juga disemangati oleh pandangan
Islam sebagai agama yang inklusif dan dinamis. Islam sebagai agama inklusif
tidak bersifat kaku terhadap teks wahyu. Islam telah menyediakan ruang-ruang
yang bebas tafsir dan takwil. Itu sebabnya, Gus Dur sangat mendorong
perkembangan Islam yang toleran, anti kekerasan yang ditunjukkan dengan
kebijakannya yang melindungi kaum minoritas dan tertindas. Bahkan dimana ada
kaum minoritas dan tertindas, pasti disitu ada Gus Dur.
Secara
kritis, kita juga bisa mengatakan, Gus Dur saat jadi presiden telah melakukan
kekeliruan-kekeliruan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Kita harus mengakui
bahwa ketika Gus Dur berada diluar kekuasaan memiliki gagasan besar kedepan
tentang demokrasi dan civil society. Namun setelah berada di istana, Gus Dur
seakan lupa dengan gagasan besarnya. Hal ini terlihat dari kebijakan yang
sangat kontroversial, ketika Gus Dur mengeluarkan dekrit.
Tak pelak,
orientasi dari sikap, kebijakan, dan pemikiran Gus Dur yang sering
berseberangan dengan pola pikir yang berkembang di masyarakat dan para elit
politik serta bahkan sikapnya yang nyeleneh, membuat ia harus selalu pasang
badan. Akan tetapi di balik sikap kontroversi dan kenyelenehannya, Gus Dur
sebagai sosok fenomenal dan dengan segala kecerdasan yang dimilikinya, tidaklah
mengherankan jika kemudian sosoknya menjadi komoditas penelitian dan topik
diskusi, baik bagi rakyat yang dibuat bingung oleh tindakannya maupun para elit
politik yang geram karena kebijakan-kebijakannya yang dianggap tidak sesuai
dengan sendi ekonomi, politik, budaya dan bahkan konsep agama.
Begitu juga
dengan isu-isu keislaman, tak jarang beberapa langkah Gus Dur ini sering
disalah tafsirkan, bahkan oleh sebagian umat Islam sendiri. Gus Dur disebut
agen zionis Israel, dicap mendukung kristenisasi, diisukan dibaptis, hingga Gus
Dur dianggap sebagai orang sesat. Para kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU)
sendiri pun pernah menyidang Gus Dur di awal tahun 1990-an, karena tersiar
kabar Gus Dur ingin mengganti sapaan ”Assalamualaikum” dengan ”selamat pagi”.
Menanggapi cercaan dan makian ini, Gus Dur pantang mundur.
Bagi dia
membumikan Islam sebagai rahmatan lil alamin merupakan misi utama yang tidak
bisa ditawar-tawar. Upaya mewujudkan Islam ramah, toleran, dan pelindung kaum
lemah memang tidak semudah membalikkan tangan. Karena dalam pandangan beliau
konsep itu menuntut nilai-nilai Islam bersifat universalitas. Ini berarti
nilai-nilai Islam harus mampu beradaptasi, selaras dengan seluruh umat manusia
yang beragam, baik karena faktor geografis maupun tingkat kebudayaannya. Di
sini diperlukan elaborasi lebih jauh nilai-nilai Islam yang terpancar dari
Alquran dan hadist dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pada konteks
inilah, kita mampu melihat arti penting seorang Gus Dur. Berasal dari kelompok
yang dinilai tradisional, cucu pendiri NU ini mampu mengelaborasi nilai-nilai
Islam untuk selaras dengan perkembangan zaman, sehingga diterima oleh banyak
golongan sebagai kebenaran substantif. Bagi kalangan Islam, khususnya kalangan
Nahdliyin, Gus Dur mampu mendobrak kejumudan cara berpikir dalam menggali
hukum-hukum Islam.
Buku
“Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur” karya Ali Masykur Moesa, seorang anak
ideologis Gus Dur yang mampu menerjemahkan dan melanjutkan dalam sisi
intelektual yang progresif juga dinamis. Dalam pengantarnya, Ali Masykur
mencatat, bahwa Gus Dur sesungguhnya bukanlah sosok yang kontroversial, ia
justru seorang muslim sejati yang mengimplementasikan nilai-nilai Islam secara
membumi. Logika awamlah yang justru seringkali tertinggal dibelakang, sehingga
terkesan bahwa Gus Dur adalah sosok yang nyeleneh dan melawan arus, padahal
keterbatasan kitalah yang tidak mampu memahami pemikiran dan sikap politiknya.
Buku ini,
selain ingin memaparkan akar pemikiran
politik Gus Dur, juga ingin membuktikan bahwa pemikiran dan tindakan Gus
Dur selama hidupnya bukanlah suatu yang kontroversial. Pemikiran dan
tindakannya justru implementasi dari nilai-nilai Islam secara membumi dari
seorang Muslim sejati.
Singkat
kata, Gus Dur layaknya sebuah teks yang memiliki multi tafsir, sebuah buku
besar yang dibaca oleh setiap orang dan membahasnya tidak mudah, baik sebagai
budayawan, intelektual, politisi, ulama, ahli strategi dan seorang humoris
bahkan seorang pengamat sepak bola. Gus Dur walaupun pergi selamanya, impian
dan gagasannya yang besar tetap bersama kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar