KH
Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul
Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid
Sulaiman.
Sayid
Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon.
Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang
memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid
Jamaluddin al-Kubra.
|
KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir
1235 Hijrahatau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran,
Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau
berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak
dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika
usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai
Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan
beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau
pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini
beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7
kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai
pertalian keluarga dengannya.
Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah
menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab).
disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca
alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran
Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KHMuhammad Khalil
Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh
Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah
ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud
asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi
al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym
Asy’ari,Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu
punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad KHolil yang
Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, Kh.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin
kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu
itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani,
Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang)
menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang
digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak
ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di
beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah,
beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Ketika Kholil muda menyantri pada Kiai Noer di
pesantren Langitan Tuban. Kholil seperti biasanya ikut jama'ah sholat yang
memang keharusan para santri. Di tengah kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba
kholil tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal ini membuat santri lain marah.
Demikian juga dengan Kiai Noer
Dengan kening berkerut, kiai bertanya:
"Kholil, kenapa waktu sholat tadi, kamu tertawa
terbahak-bahak. Lupakah kamu itu meengganggu kekhusukan sholat dan sholat kamu
tidak syah?!" Kholil menjawab dengan tenang, "Maaf, begini Kiai,
waktu sholat tadi saya sedang melihat Kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul,
karena itu saya tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi. Salahkah yang saya
lihat itu, kiai?" Jawab Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri
baru itu dapat membaca apa yang terlintas di benaknya, Kiai Muhammad Noer duduk
dengan tenang sambil menerawang lurus ke depan, serta merta berbicara kepada
santri kholil: "Kau benar anakku, saat mengimami sholat tadi perut saya
memang sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu, memang hanya
nasi, anakku," ucap Kiai Muhammad Noer secara jujur. Sejak kejadian itu
kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan,
tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karena itu, setiap kiai
yang akan ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu selalu
mengistimewakannya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah
diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di
Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Kh. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab
terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya.
Beliau sedar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah
oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus
peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu
memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah
telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri
dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di
pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah
ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang
terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh
kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak
sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .
Kh.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November,
Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari,
Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan
gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua
untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil
atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya
ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi
tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan
ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita
gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita
bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran
ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar
Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya
membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di
pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau
mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek,
tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian.
Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat
perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat
memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk
menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam
sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi
yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
di antara sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil
al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah
perkembangan agama Islam dan bangsa
Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang,
dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri
Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri
Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem,
Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa
(pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin
(pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
Didatangi
Macan
Pada suatu hari di bulan syawal, Kiai Kholil
tiba-tiba memanggil santri-santrinya. "Anak-anakku, sejak hari ini kalian
harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa
dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini" kata Kiai Kholil
agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu,
segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu, sebelah timur Bangkalan
memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari,
penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak
juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak
seberapa tinggi bertubuh kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam
"Assalamu'alauikum" ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukannya jawaban salam yang
diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil santrinya, hei... santri semua,
ada macan...macan...ayo kita kepung. Jangan sampai masuk pondok" seru Kiai
Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kiai, kontan saja semua santri
berhamburan, datang sambil membawa apa saja yang ada, pedang, celurit, tongkat,
pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak pucat.
Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin
nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda itu
mencoba datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren langsung
disong-song dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya, baru
pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara
diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut
yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam, Kiai Kholil
datang dan membangunkannya, karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu
dibawa ke rumah Kiai Kholil, setelah berbasa-basi dengan seribu alasan, baru
pemuda itu lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu
bernama Abdul Wahab Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat
dan pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Hasbullah dimana-mana selalu
berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti
yang disyaratkan Kiai Kholil.
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu
itu satu-satunya angkutan yang menuju Makkah. Semua penumpang calon haji naik
ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
"Pak tolong, saya belikan anggur, saya ingin
sekali" ucap istrinya dengan memelas.
"Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum
berangkat, saya akan turun mencari anggur". Jawab suaminya dengan bergegas
keluar dari kapal.
Setelah suaminya keluar mencari anggur di sekitar
anjungan kapal, nampaknya tidak ditemuai pedagang anggur seorangpun. Akhirnya
dicobanya masuk ke pasar. Untuk memenuhi permintaan istrinya tercinta. Dan,
meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga, betapa gembiranya sang
suami mendapatkan anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal
laut untuk menemui istrinya. Namun betapa terkejutnya sesampai ke anjungan
kapal. Pandangannya menerawang ke arah kapal yang akan ditumpangi. Semakin lama
kapal tersebut semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk
termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada
seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasehat:
"Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang
menimpa dirimu!" ucapnya dengan tenang.
"Kiai Kholil?" pikirnya.
"Siapa dia?, Apa ia mesti harus kesana, bisakah
dia menolong ketertinggalan saya dari kapal?" begitu pertanyaan itu
berputar-putar di benaknya.
"Segeralah ke Kiai Kholil minta tolong padanya
agar membantu kesulitan yang kamu alami, Insyaallah." Lanjut orang itu
menutup pembicaraan. Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang
malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut
dan ditanya:
"Ada keperluan apa?"
Lalu, sang suami yang malang itu menceritakan apa
yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata
:
"Lho...ini bukan urusan saya, ini urusan
pegawai pelabuhan, sana ... pergi".
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan, dia bertemu lagi dengan orang
laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil. Orang tersebut bertanya:
Bagaimana? Sudah ketemu Kiai Kholil?
"Sudah, tapi saya disuruh ke petugas
pelabuhan." Katanya dengan nada putus asa.
"Kembali lagi, kembali lagi temui Kiai
Kholil!" ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang
suami yang malang itu pun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya
sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap,
"Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih Kiai" kata sang suami melihat
secercah harapan.
"Tapi ada syaratnya" ucap Kiai Kholil.
"Saya akan penuhi semua syaratnya." Jawab
orang itu dengan bersungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan : "Setelah ini, kejadian
apapun yang dialami sampeyan jangan sampeyan ceritakan pada orang lain, kecuali
saya sudah meninggal, apakah sampeyan sanggup?" pesan dan tanya Kiai
seraya menatap tajam.
"Sanggup Kiai, "jawabnya spontan.
"Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu.
Pejamkan matamu rapat-rapat" kata Kiai Kholil.
Lalu, sang suami melaksanakan perintah Kiai dengan
patuh, setelah beberapa menit berlalu dibukanya matanya dengan pelan-pelan.
Betapa terkejutnya ia melihat apa yang dihadapannya, ia sedang berada di atas
kapal laut yang sedang berjalan. Takjub, heran bercampur jadi satu, seakan tak
mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Digosok-gosokkan matanya, dicubit
lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas
kapal. Segara ia ditemui isterinya di salah satu ruang kapal.
"Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh
sekali" dengan senyuman penuh arti seakan tidak terjadi apa-apa. Dan
seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal, sebenarnya dia baru saja
mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami, sekali
dalam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadari bahwa beberapa
saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang
memiliki karomah yang sangat luar biasa.
Membetulkan
Arah Kiblat
Kiai Muntaha, mantu Kiai Kholil, yang terkenal alim
itu membangun masjid di pesantrennya, dan pembangunan masjid tersebut hampir
rampung. Sebagai seorang alim, Kiai Muntaha membangun dengan rencana yang
matang sesuai dengan tuntunan syariat. Begitu juga dengan tata letak dan posisi
masjid yang tepat mengarah ke kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang hampir
rampung itu sudah sedemikian tepat, sehingga tinggal menunggu peresmiannya saja
sebagai masjid kebanggaan pesantren.
Suatu hari, masjid yang hampir rampung itu dilihat
oleh Kiai Kholil, menurut pandangan Kiai Kholil, ternyata masjid itu terdapat
kesalahan dalam posisi kiblat.
"Muntaha, arah kiblat masjidmu ini masih belum
tepat, ubahlah!" ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya yang alim itu.
Sebagai seorang alim, sebagai kiai alim, Kiai Muntaha tidak percaya begitu
saja. Beberapa argumen diajukan kepada Kiai Kholil untuk memperkuat
pendiriannya yang selama ini sudah dianggapnya benar, melihat mantunya tidak
ada-ada tanda-tanda menerima nasehatnya, Kiai Kholil tersenyum sambil berjalan
ke arah masjid. Sementara Kiai Muntaha mengikuti di belakangnya. Sesampainya di
ruang pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu kecil kemudian melubangi dinding
tembok arah kiblat.
"Muntaha, coba kau lihat lubang ini, bagaimana
posisi arah kiblatmu?" panggil Kiai Kholil sambil memperhatikan mantunya
bergegas mendekatkan matanya ke lubang itu, betapa kagetnya Kiai Muntaha
setelah melihat dinding itu. Tak diduganya, lubang yang kecil itu ternyata
Ka'bah yang berada di Makkah dapat dilihat dengan jelas dihadapannya. Kiai
Muntaha tidak percaya, digosok-gosokan matanya dan dilihatnya sekali lagi
lubang itu, dan ternyata Ka'bah yang di Makkah malah semakin jelas. Maka,
sadarlah Kiai Muntaha, ternyata arah kiblat Masjid yang diyakininya benar
selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat masjid yang dibangunnya, ternyata
terlalu miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak saat itu, Kiai Muntaha mau
mengubah arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah yang dilihat dalam lubang
tadi.
seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?" ucap Kiai Kholil nada menyelidik.
seraya bertanya: Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?" ucap Kiai Kholil nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan
mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan kiri, mencari
tahu siapa yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah
Bahar, kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan
kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap
tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
"Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh
berjamaah maka kamu harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang
pesantren dengan petok ini," perintah Kiai Kholil (Petok adalah sejenis
pisau kecil dipakai untuk menyabit rumput) . Setelah menerima perintah itu,
segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang
dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat
kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini
akhirnya diselesaikan dengan baik.
"Alhamdulillah, sudah selesai Kiai," ucap
Bahar dengan sopan dan rendah hati.
"Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang
ada di nampan itu sampai habis," perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh dan gembira
menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar menerima hukuman yang kedua,
santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan
itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
"Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri orang
ini," ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil pun memintanya
untuk pulang kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang
mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang alim, yang
memimpin sebuah pondok besar di Jawa Timur. Kiai yang beruntung itu bernama
Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di pondok
pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
Kiai
Kholil Masuk Penjara
Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa
bersembunyi di pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda, rupanya mencium kabar
itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap pejuang kemerdekaan yang
bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin. Setelah yakin
bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil.
Seluruh pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa.
Hal itu membuat kompeni marah besar, karena
kejengkelannya akhirnya mereka membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil
untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap dengan ditahannya Kiai
Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke
dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai muncul.
Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula
ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa
ditutup. Dengan demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus-menerus.
Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus-menerus. Sebab, jika
tidak maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil
ditahan, ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan
mengirim makanan ke Kiai Kholil.
Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan
mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus-menerus.
Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu
ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya
semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil
bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan banyak yang minta ditahan bersama
Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda
makin kewalahan. Kompeni merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-larut
suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit
dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari
penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga
dengan pintu penjara sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang
berjubel disekitar penjara kembali pulang kerumahnya masing-masing.
Residen
Belanda
Suatu hari residen Belanda yang ditempatkan di
Bangkalan mendapat suatu surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial
Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai
residen di Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa
saat. Residen ini sangat berbeda dengan residen Belanda lainnya.
Hati nurani residen ini tidak pernah menyetujui
adanya penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, residen
Belanda yang bersimpati kepada Indonesia ini mau berkorban apa saja asalkan
tetap memangku jabatan di Bangkalan. Kebetulan sang residen mendengar kabar
bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir
panjang lagi, sang residen segera pergi menemui orang yang diharapkan kiranya
dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka, berangkatlah sang residen itu ke Kiai Kholil
dengan ditemani beberapa koleganya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang
residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tahu siapa yang
dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap:
"Tuan selamat....selamat, selamat,"
ucapnya dengan senyum yang khas, Residen Belanda merasa puas dengan jawaban
Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang
residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya pencabutan kembali
surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat
itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak peristiwa itu, Kiai Kholil diberi kebebasan
melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa menaiki dokar
seenaknya melewati daerah terlarang di karesidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya.
Baik residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai Kholil.
Seorang Kiai. Yang dianggap memiliki kesaktian yang luas biasa.
Santri
Pencuri Pepaya
Pada suatu hari, seorang santri berjalan-jalan di
sekitar pondok pesantren kedemangan. Kebetulan di dalam pesantren terdapat
pohon pepaya yang buahnya sudah matang-matang kepunyaan kiai. Entah karena
lapar atau pepaya sedemikian merangsang seleranya, santri itu nekad bermaksud
mencuri pepaya tersebut. Setelah menengok ke kanan dan ke kiri, merasa dirinya
aman maka dipanjatlah pohoh pepaya yang paling banyak buahnya. Kemudian
dipetiknya satu persatu buah pepaya yang matang-matang itu. Setelah cukup
banyak santri itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru saja kakinya menginjak tanah, ternyata sudah
diketahui oleh beberapa santri, tak ayal lagi santri yang mencuri pepaya itu
dilaporkan kepada Kiai Kholil. Kiai marah besar kepada santri itu. Setelah itu
disuruhnya dia memakan pepaya itu sampai habis, dan akhirnya diusir dari pondok
pesantren. Tak lama setelah kejadian itu , santri yang diusir karena mencuri
pepaya itu ternyata menjadi Kiai besar yang alim.
Kealiman dan ketenaran kiai tersebut sampai kepada
pesantren kedemangan. Mendengar berita menarik itu, beberapa santri ingin
mengikuti jejaknya. Pada suatu hari, beberapa santri mencoba mencuri pepaya di
pesantren. Dengan harapan agar dimarahi kiai. Begitu turun dari pohon pepaya.
Kontan saja petugas santri memergokinya. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada
Kiai Kholil. Setelah melihat beberapa saat kepada santri yang mencuri pepaya
itu, seraya Kiai mengucap :
"Ya sudah, biarlah" kata Kiai Kholil
dengan nada datar tanpa ada marah tanpa ada pengusiran.
"Wah, celaka saya tidak bisa menjadi
kiai," desah santri pencuri pepaya sambil menangis menyesali perbuatannya
dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Orang
Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat maghrib, seperti
biasanya, Kiai Kholil mengimami jamaah sholat berjamaah bersama para santri
Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba beliau
kedatangan tamu orang berbangsa Arab, orang Madura menyebutnya Habib.
Seusai melaksanakan sholat Kiai Kholil menemui
tamu-tamunya termasuk orang arab yang baru datang yang mengetahui kefasihan
bahasa Arab. Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil berucap :
" Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah (antum) kurang
fasih", tegur sang habib.
"O . . . begitu", jawab Kiai Kholil
tenang.
Setelah berbasa-basi, beberapa saat, habib
dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksakan sholat maghrib. "Tempat
wudlu ada disebelah masjid itu. Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap
Kiai sambil menunjukan arah tempat wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-tiba
habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak
dengan Bahasa Arabnya yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat
itu. Meskipun habib mengucapkan bahasa arab sangat fasih untuk mengusir macan
tutul , namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai
Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan
itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya,
sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya
kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian ini, habib paham bahwa sebetulnya
Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan
bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan
makna dalam ungkapan itu.
Tongkat
Kiai Kholil dan Sumber Mata Air
Pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan kearah selatan
Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya
sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya.
Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan
tongkatnya ke tanah. Dari arah lubang bekas tancapan Kiai Kholil, memancar
sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar, sumber air tersebut
akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu,
sumber mata airnya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kolam yang
bersejarah itu, sampai sekarang masih ada.
Howang-Howing
Jadi Kaya
Suatu hari, seorang Tionghoa bernama Koh Bun Fat
sowan ke Kiai Kholil. Dia bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Kiai
Kholil agar bisa terkabul hajatnya.
"Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya.
Saya sudah bosan hidup miskin", kata Koh Bun Fat dengan penuh harap.
Melihat permintaan Koh Bun Fat itu, kiai lantas
memberi isyarat menyuruh mendekat. Setelah Koh Bun Fat dihadapan Kiai Kholil,
tiba-tiba Kiai Kholil menarik tangan Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat
seraya berucap :
"Saafu lisanatan. Howang-howang, hoing-hoing,
Pak Wang, Howang Noang tur cetur, salang kacetur, sugih..... sugih.....
sugih.....", suara Kiai Kholil dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Setelah mendapat doa dari Kiai Kholil itu, Koh Bun
Fat benar-benar berubah kehidupannya, dari orang miskin menjadi kaya.
Obat
Aneh
Di daerah Bangkalan banyak terdapat binatang-
binatang menyengat yang suka berkeliaran, termasuk kalajengking yang sangat
ganas. Binatang ini akan bertambah banyak bilamana musim hujan tiba, apalagi di
malam hari. Pada suatu malam, salah seorang warga Bangkalan disengat
kalajengking. Bisa kalajengking membuat bengkak bagian- bagian tubuhnya.
Beberapa pengobatan telah dilakukan namun hasilnya sia-sia. Ia hampir putus
asa, sampai pada akhirnya, ada seseorang yang menyarankan agar pergi menemui
Kiai Kholil.
Akhirnya diputuskan untuk menemui Kiai Kholil.
"Kiai Kholil, saya disengat kala jengking. Tolong obati saya",
ujarnya sambil memelas.
"Kesini!" kata Kiai Kholil.
Lalu dilihatnya bekas sengatan yang telah membengkak
itu kemudian dipegangnya seraya berucap dengan dalam bahasa Madura :
"Palak-Pokeh,.... palak-pokeh,....beres, beres", ucap Kiai Kholil
sambil menepuk-nepuk bekas sengatan kalajengking. Maka seketika itu, orang itu
sembuh, dan melihat hasil pengobatan dengan kesan lucu itu, orang yang
menyaksikan di sekitarnya tidak dapat menahan tawanya. Mereka tertawa
terpingkal-pingkal sambil meninggalkan ruangan itu (sumber informasi : KH. Amin
Imron, cucu Kiai Kholil Bangkalan).
Rumah
Miring
Pada suatu hari, Kiai Kholil mendapat undangan di
pelosok Bangkalan . Hari jadi yang ditentukan pun tiba. Para undangan yang
berasal dari berbagai daerah berdatangan. Semua tamu ditempatkan di ruang tamu
yang cukup besar.
Walaupun para tamu sudah datang semua, acara
nampaknya belum ada tanda-tanda dimulai. Menit demi menit berlalu beberapa
orang tampaknya gelisah. Kenapa acara kok belum dimulai. Padahal, menurut
jadwal mestinya sudah dimulai. Tuan rumah tampak mondar-mandir, gelisah.
Sesekali melihat ke jalan sesekali menunduk. Tampaknya menunggu kehadiran
seseorang.
Menunggu acara belum dimulai si fulan tidak sabar lagi.
Fulan yang dikenal sebagai jagoan di daerah itu, berdiri lalu berkata :
"Siapa sih yang ditunggu-tunggu kok belum
dimulai? Kata si jagoan sambil membentak.
Bersamaan dengan itu datang sebuah dokar, siapa lagi
kalau bukan Kiai Kholil yang ditunggu-tunggu.
"Assalamu'alaikum", ucap Kiai Kholil
sambil menginjakkan kakinya ke lantai tangga paling bawah rumah besar itu.
Bersamaan dengan injakan kaki Kiai Kholil, gemparlah
semua undangan yang hadir. Serta-merta rumah menjadi miring. Para undangan
tercekam tidak berani menatap Kiai Kholil. Si fulan yang terkenal jagoan itu
ketakutan, nyalinya menjadi kecil melihat kejadian yang selama hidup baru
dialami saat itu.
Setelah beberapa saat kejadian itu berlangsung kiai
mengangkat kakinya. Seketika itu, rumah yang miring menjadi tegak seperti sedia
kala. Maka berhamburanlah para undangan yang menyambut dan menyalami Kiai
Kholil.
Akhirnya fulan yang jagoan itu menjadi sadar, bahwa
dirinya kalah. Dirinya terlalu sombong sampai begitu meremehkan seorang ulama
seperti Kiai Kholil. Fulan lalu menyongsong Kiai Kholil dan meminta maaf. Kiai
Kholil memaafkan, bahkan mendoakan. Do'a Kiai Kholil terkabul, Fulan yang dulu
seorang jagoan yang ditakuti di daerah itu, akhirnya menjadi seorang yang alim.
Bahkan, kini si fulan menjadi panutan masyarakat daerah itu.
Kh. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang
lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.
Masya Allah, Karomah hanya diberikan Allah atas orang2 dekat dgnNYA, Barokallah
BalasHapus