Kyai
besar dan Wali Allah yang amat dihormati di kalangan umat Islam ini, yang
biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua “Gembong Kyai” asal
Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Beliau senantiasa menjalin
silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran.
Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau
bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys
Lombard, ahli sejarah terkenal, “[Mbah Masum] adalah seorang guru (kyai) dari
Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun
1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan
lainnya.”
|
Nama aslinya adalah Muhammadun, diperkirakan lahir
sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur
ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya
bersambung hingga ke Rasulullah. Ibunya bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum
punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai Malichah. Sejak kecil Mbah
Ma’shum telah dikirim ke beberapa pesantren untuk mendalami ilmu agama, di
antaranya kepada Kyai Nawawi Jepara, Kyai Ridhwan Semarang, Kyai Umar Harun
Sarang, Kyai Abdus Salam Kajen, Kyai Idris Jamsasren Solo, Kyai Dimyati Termas,
Kyai HASYIM ASY’ARI Jombang dan Kyai KHOLIL BANGKALAN. Di Mekah beliau berguru
kepada Syekh Mahfudz al-Turmusi dari Termas. Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma’shum
telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali Qutub
yang amat masyhur. Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma’shum ke
Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah
Kholil, “Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari
tanah Jawa yang datang ke sini.” Begitu Mbah Ma’shum datang, yang saat itu
usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu.
Mbah Ma’shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40
hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma’shum di sebuah kamar tanpa
lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di
Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan
doa sapujagad. Lalu, saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, beliau
dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini
terjadi berulang hingga 17 kali.
Mbah Ma’shum menikah dua kali – nama istri pertama
ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama
Mbah Ma’shum, Kyai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir
Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.
Sejak muda Mbah Ma’shum sudah hidup zuhud. Beliau
sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi
pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti. Sembari berdagang
beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin berkunjung
ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia
Mbah Ma’shum lebih tua. Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi
bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan
perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat. Mimpi itu terjadi di beberapa
tempat – di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa
Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada
kebaikan kecuali menyebarkan ilmu). Beliau juga bermimpi bersalaman dengan
Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Beliau juga
bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan
pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala
kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.” Ketika
dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma’shum
dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu
sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah
beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar. Sebelum mendirikan pesantren,
beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad
ibn Abdullah ibn Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan. Menurut Mbah Ma’shum, saat
berziarah pada malam Jum’at, Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa
bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil
mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren. Selain ke
makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali Kwitang,
Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap
kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma’shum selalu membaca Shalawat
Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk. Mbah Ma’shum juga istiqamah mengamalkan
doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama
mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren al-Hidayat.
Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus mengungsi, dan
pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali.
Mbah Ma’shum selama mengajar banyak berperan aktif
langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar
beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang – artinya jika kitab
itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran
al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn
Athaillah, dan Ihya Ulumuddin. Mengenai kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum
menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab
Ihya, beliau berujar, “Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah
khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah,
semoga saja dia selamat …” Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya,
sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya.
Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya
umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya.
Dalam mengajar santri Mbah Ma’shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah
adalah lebih utama ketimbang seribu karamah. Beliau juga tak segan-segan
menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara bertepuk tangan.
Banyak muridnya yang menjadi kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan,
Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa
Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.
Sebagai kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung
membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini,
sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti
NU. Bahkan Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada
urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika
hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah,
Mbah Ma’shum termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi”
organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan
praktik-praktik tarekat. Menurutnya, “Saya sudah menggunakan tarekat langsung
dari Kanjeng Nabi Muhammad, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin
(mencintai kaum fakir miskin). Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan
kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai
Haji Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. Mbah Ma’shum bersedia
mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan
kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU
sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama
lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI
dan partai lain … Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil
terhadap mereka.” Ketika pecah huru-hara PKI Mbah Ma’shum terpaksa melakukan
perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang diincar hendak
dibunuh oleh PKI.
Mbah Ma’shum wafat pada 28 April 1972 (14 Robiul
Awal 1392 H) jam 2 siang, setelah shalat Jum’at. Upacara pemakamannya dibanjiri
massa yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Pemakamannya dihadiri oleh
banyak tokoh ulama, petinggi partai politik dan pejabat pemerintah.
Karamah
Sebagaimana umumnya para Wali Allah, Mbah Ma’shum
juga dikaruniai karamah. Beliau tahu kapan dirinya akan meninggal. Ketika Kyai
Baidhowi wafat pada 11 Desember 1970, Mbah Ma’shum menyatakan bahwa 2 tahun
lagi dirinya akan wafat – pernyataan ini menjadi kenyataan. Menurut seorang
saksi, Mbah Ma’shum ketika di depan jenazah Mbah Baidhowi, beliau seperti
berbicara dengan almarhum, dan berkata, “Ya, 2 tahun lagi saya akan menyusul.”
Karamah lainnya adalah firasat yang tajam,
mengetahui isi pikiran orang. Ada satu kisah karamah lain yang menunjukkan
ketinggian kedudukan spiritualnya. Dikisahkan bahwa suatu waktu seusai shalat
Dhuha, beliau dipijiti oleh santrinya yang bernama Ahmad hingga tertidur.
Mendadak di luar kamar terdengar ada tamu menyampaikan salam. Ada sembilan
orang tamu berwajah habaib, duduk melingkar di ruang tamu. “Mbah Ma’shum ada?”
tanya salah satu dari mereka. Oleh Ahmad dijawab masih tidur, sambil menawarkan
untuk membangunkannya. “Tidak usah,” kata tamu itu. Lalu para tamu itu berbicara
satu sama lain dengan bahasa yang aneh, kemudian mereka membaca shalawat lalu
berpamitan. Begitu para tamu beranjak keluar, Mbah Ma’shum memanggil Ahmad.
“Ada apa Mad?” Setelah dijelaskan, Mbah Ma’shum menyuruh Ahmad memanggil
tamunya itu. Namun dalam waktu sesingkat itu para tamu itu sudah menghilang.
Kemudian Mbah Ma’shum memberi tahu bahwa mereka adalah Wali Songo, dan yang
berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah memberi tahu jati diri mereka, Mbah
Ma’shum tidur lagi.
Mbah Ma’Shum juga terkenal dg sebutan Kyai Bulus yg
artinya mengajar murid2nya tanpa di sertai keterangan2 yg di perlukan si Murid,
Beliau hanya membaca Kitab dg memaknai perkalimat saja, itupun dg suara yg gak
jelas (Nggremeng bahasa jawanya).
Yg penting di baca, faham gak faham ya silahkan,
seakan Murid2 Beliau setelah di ajar di tinggalkan begitu saja, sama seperti
Bulus (Kura2) yg bertelur di pantai di biarkan begitu saja tanpa di erami
menetas sendiri.
Namun Anehnya Murid2 Beliau mempunyai kefahaman yg
lebih dari ketika ngaji di selain Kyai yg satu ini.
Kisah lainnya adalah ketika Mbah Ma’shum kehabisan
persediaan beras. Lalu Mbah Ma’shum memimpin istighasah dengan membaca petikan
sajak dari syair al-Burdah – Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada
tempat berlindung kecuali kepadamu pada peristiwa malapetaka besar – sebanyak
(kurang lebih) 80 kali, dan dilanjutkan doa memohon rezeki … dan pada saat itu
seorang peserta, Ibu Nadhiroh menyela, “Amin, mbah, [beras] 1 ton ..” Mbah
Ma’shum membalas: “tidak 1 ton, tapi lebih.” Beberapa hari kemudian datang
beberapa orang memberi beras yang banyak sekali. Karamah mendatangkan beras ini
sering terjadi. Dalam riwayat lain diceritakan Mbah Ma’shum pada suatu pagi
seusai mengajar Alfiyah memanggil 12 santrinya, mengajak mereka mengamini doanya.
Doanya sederhana saja, tanpa mukadimah dan tanpa penutup: “Ya Allah gusti, saya
minta beras …” Jam 11 siang datang becak mengantar beberapa karung beras. Pada
karung itu tertulis nama alamatnya pengirim dari Banyuwangi. Suatu ketika Mbah
Ma’shum mengunjungi alamat itu, dan ternyata alamat itu adalah sepetak kebun
pisang di daerah pedalaman dan di situ masyarakatnya tidak ada yang kelebihan
rezeki sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar