Kyai
Haji Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji
yang ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi,
kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama
Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekah.
KH.R.
Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdullah Husnin seorang pedagang
konveksi yang tergolong besar di Kudus pada waktu itu, sedang ibunya bernama
R. Sarbinah. KH. R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H
(+1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far
Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali yang kramat
di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
|
Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri,
terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh
orang tuanya ke Tulungagung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang.
Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji
di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong
Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan
Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.
Menunaikan
Ibadah Haji
Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji
yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mangajar dan
melakukan tabligh agama. Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah
shalat Jum’ah beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria)
yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki.
Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh.
Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya
untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di
saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun
demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau
juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih
hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat.
Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk
meneruskan cita-citanya.
Mukim
Di Tanah Suci
Semula beliau tingal di rumah Syekh Hamid Manan
Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda
Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempatdi kampung Syamiah Mekah
dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang
yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R.Maskub
Kudus.
Selama bermukim di tanah suci, di samping menunaikan
kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk
memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa)
maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Beliau juga pernah
mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yangikut belajar antara
lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan
Pekalongan, KH. Shaleh Tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A.
Mukhit Sidoarjo. Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif
mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah
bersama dengan kawannya yang lain.
Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan
tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad
Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan
secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh
kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin
memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari
tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain
Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi
ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama
kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH. R. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas
beliau, meskipun sudah diberitahu).
Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan
Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan
dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh
Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati
waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud
ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani
mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek kerumah
Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman.
Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?),
“Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang
duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah
ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah
dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek
kepada Syeikh Hamid Manan: "Sungguh saya telah salah sangka, setelah
berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya
yang kecil dan rapuh".
Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang
ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak
Sema’un, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI.
Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya
di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang
di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian
diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong.
Kalau malam para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis
untuk dikerjakan pada siang harinya.
Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu,
terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan
kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum
penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci
menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.Huru-Hara Kudus
Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong
untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang
Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan
pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak
menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang
melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Permintaan itu ternyata
tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang
memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti
wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge.
Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara
menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja
bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan gerobak dorong (Jawa=songkro).
Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik
songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang
Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk
perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang
Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu.
Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan
selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan
sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang
tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis
sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa
mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para ulama
memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak
diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun
perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang
mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya
lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang
Cina maupun orang Jawa.
Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan
perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan
dalam penjara. Akhirnya KH. R. Asnawi yang dituduh sebagai salah satu
penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian
pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH. Ahmad Kamal Damaran, KH.
Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.
Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah)
beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita
beliau, selama berada di penjara Kudus padasetiap malam Jum’ah, beliau
mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni
penjara dan selalu mengadakan shalat jama'ah lima waktu. Di sampingitu, beliau
sempat menterjemahkan kitab Al Jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa,
sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.
Sesudah
Keluar Dari Penjara
Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah
keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk
menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan
berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara
ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri
pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah
Faqih (Langgar Dalem) dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam
di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah
Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan
aqidah Ahlusunnah Wa al Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan,
Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian
meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus.
Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14
bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim yang disebut Patbelasan, ribuan Muslimin
dan Muslimat mendatangi majelis ini. Sayang majelis ini terhenti karena dihapus
oleh pemerintah Jepang. Juga setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau
menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Bersamaan mengadakan
majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh
putranya (HM. Zuhri).
Di samping melayani kebutuhan para santri yang ada
di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga
mengadakan wiridan, antara lain: Khataman TafsirJalalain dalam bulan Ramadlan
di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam
dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari
yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama
bulan Ramadhan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai beliau
wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani
Amin sampai khatam.
Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada
tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham
tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta
agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang
memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun
maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau
untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu
ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau saya
menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap
siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).
Perjuangannya
Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul
Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan
Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH. A. Wahab
Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya
pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul
Ulama (NU).
Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering
dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam
serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di
Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api,
sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya
beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.
Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering
dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam
serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di
Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api,
sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya
beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.
Pulang
Ke Rahmatullah
Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H,
bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah
dipanggil pulang ke rahmatullah. KH. R. Asnawi, seorang ulama besar dan salah
seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar