|
Judul Buku : Memahami Nahdlatul Ulama
Urgensi Besar Membangun Kembali Jembatan Putus
Penulis : Prof. Dr. H. Ali Maschan
Moesa, M.Si
Pengantar : Dr. KH A. Hasyim Muzadi
Editor : Ach. Syaiful A’la
Penerbit : Pesantren Luhur Al-Husna,
Surabaya
Cetakan : I, Pebruari 2010
Tebal : xiv+302 Halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
|
Nahdlatul
Ulama (NU) adalah organisasi yang memiliki masa cukup besar di Indonesia.
Istilah guyon di kalangan nahdliyin (sebutan bagi warga NU), mereka juga
memiliki komunitas warga yang kompleks, mulai dari qari’ sampai korak. Karena
itu, tidak belebihan kalau dikatakan warga NU adalah sebagai representasi
fenomena grassroot negara ini.
Dilihat dari
namanya yang berarti “Kebangkitan Ulama’”, dapat dipahami bahwa hal ini
merupakan penegasan bahwa NU adalah perkumpulan organisasi para kiai yang
bangkit untuk membangkitkan para pengikutnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Karenanya kedudukan Kiai pesantren adalah sentral, baik sebagai
pendiri, pemimpin dan pengendali organisasi serta sebagai panutan kaum
nahdliyin.
Dengan
demikian, NU merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak bisa
dipisahkan dari Kiai dan tradisi pesantren. Perkembangan NU sejak awal
berdirinya menunjukkan betapa besar peranan Kiai dan pesantren di dalamnya.
Sehingga, pada hakikatnya NU memang merupakan manifestasi modern dari kehidupan
keagamaan, sosial dan budaya dari para kiai pesantren tradisional. Kiai dan
Pesantren menjadi konstruk tersendiri pada tubuh NU. Keduanya saling terkait
dan dan membentuk bangunan. Kekompakan hubungan itu nampaknya akan tetap
merupakan institusi yang mempunyai peranan kuat dalam perkembangan dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Prof Dr KH
Ali Maschan Moesa MSi melalui buku "Memahami Nahdlatul Ulama Urgensi Besar
Membangun Kembali Jembatan Putus" sejatinya ingin menegaskan kepada
pembaca mengenai kontribusi (besar) NU terhadap perjalanan bangsa Indonesia
mulai dari sejarah perjuangan Kiai-kiai pesantren NU dalam merebut kemerdekaan
ikut mencerdaskan bangsa melalui pengajaran pendidikan di pondok pesantren, dan
turut serta mengisi kemerdekaan (dari masa orde lama, orde baru hingga masa
reformasi), sehingga NU tidak lagi hanya dipahami sebagai gerakan seremonial
politik saja ibarat gadis cantik yang dipinang banyak orang dalam rangka
digunakan alat untuk memuaskan ambisi syahwat politiknya masing-masing. Akan
tetapi NU masih mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikan berkenaan dengan
pemberdayaan sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia yang terkadang pula
dilupakan (atau memang sengaja dibuat lupa) oleh para elite-elite NU sendiri.
Ia memberikan
masukan mengenai konstruksi NU sebagai jam’iyyah diniyyah haruslah berangkat
dari upaya-upaya meningkatkan SDM. Secara ideal kualitas kehidupan bagi
masyarakat NU secara berkesinambungan merupakan bagian paling utama dalam
rangka membumikan paham Aswaja. Tantangan yang harus kita jawab bersama adalah,
“Bisakah kita menyatakan bahwa pada era saat ini kita mampu mempertajam
pencapaian tersebut?”.
Penulis
mengajukan beberapa agenda implementasi Aswaja sebagai masukan pada NU.
Pertama, memajukan keadilan dan kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan,
menghapus seluruh bentuk kekerasan terhadap perempuan; dan menjamin kemampuan
perempuan untuk mengontrol kehidupan fertilitas mereka sendiri adalah dasar
dari keterkaitan program membumikan Aswaja.
Kedua,
menurunkan tingkat kematian bayi di bawah 35 per 1.000, kelahiran hidup dan
kematian balita 45 per 1.000. Ketiga, menurunkan tingkat kematian ibu hamil dan
melahirkan sampai di bawah 125 per 100.000. Keempat, upaya penjaminan paling
tidak 75% dari penduduk usia 15-25 tahun memiliki akses pada KIE (komunikasi,
Informasi, Edukasi), serta pelayanan untuk mengembangkan life skill yang
dibutuhkan untuk mengurangi kerentaan mereka terhadap infeksi HIV/AIDS. Kelima,
peningkatan kualitas SDM ini harus diintegrasikan dalam formulasi, pelaksanaan,
monitoring, dan evaluasi dari kebijakan dan program yang terkait.
Mengenai
konstruksi NU di bidang pendidikan sudah tak asing lagi yakni pesantren.
Pesantren sebagai center of learning umat minmal dapat dilihat dari tiga aspek,
yaitu aspek pendidikan dan pengajaran. Pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam secara selektif mengkonstruk santri menjadi manusia mandiri dan
diharapkan dapat menjadi pemimpin umat serta memperoleh ridha Tuhan. Yang
paling ditekankan adalah pengembangan watak individual yang berorientasi pada
self employment dan social employment.
Selanjutnya
adalah aspek kepemimpinan kiai dan aspek pengembangan masyarakat. Setidaknya
konstruk Kiai memiliki beberapa kriteria. Pertama, memiliki integritas pada
kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Kedua, kapasitas potensial dalam penguasaan
informasi, keadilan profesional, dan kekuatan moral. Ketiga, pesona pribadi
yang tidak saja menjadikan seorang Kiai dicintai dan dijadikan panutan,
melainkan juga figur keteladanan dan sumber inspirasi bagi komunitas yang
dipimpin. Jika Kiai memenuhi kriteria diatas, maka semakin kuat pula ia
dijadikan pemimpin di tengah umat.
Yang
terakhir adalah konstruk pengembangan masyarakat. Dalam bidang sosial pengasuh
pesantren menjadi pemimpin umat dan rujukan legitimasi terhadap warganya.
Bentuk kegiatan masyarakat tradisional diwujudkan dalam layanan pengobatan dan
perdukunan, demikian juga konsultasi kerohanian untuk masalah kehidupan
sehari-hari. Pelayanan kepada masyarakat tersebut pada dasarnya menunjukkan
kemauan untuk melindungi kedudukan, tradisi
dan ciri kepribadian mereka.
Akhirnya,
buku ikumpulan makalah penulis yang telah dimuat dalam surat kabar dan
disampaikan di berbagai seminar ini tidak seperti bunga rampai biasa. Sistematika
kajian dan pembahasan mempunyai keterkaitan satu sama lain, hal ini menampakkan
proses pengeditan yang bagus. Memang ada beberapa kesalahan kecil namun tidak
berpengaruh secara esensial karena yang terpenting adalah isi pembahasan dan
alurnya. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar