|
Judul buku : Nyeleneh
itu Indah
Penulis : Achmad Mufid
AR
Penerbit : Kutub
Yogyakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : 112 halaman
Peresensi : Siti
Muyassarotul Hafidzoh*
|
Kehebohan
ini bermula dari kejadian sederhana. Saat itu, Gus Dur telah diwawancarai oleh
majalah Amanah, edisi Mei, 1987, selama lima jam dalam bulan puasa. Gus Dur
saat itu tanyai ihwal ide pribumisasi Islam yang dilontarkannya. Gus Dur
mencontohkan idenya tersebut dengan bolehnya menggunakan selamat pagi, selamat
siang, selamat sore, selamat malam, sebagai ganti dari assalamu’alaikum.
Saat majalah
Amanah tersebar di publik, suara miring langsung menyeruak untuk memojokkan Gus
Dur. Bahkan para kiai sepuh di lingkungan nahdliyyin juga resah dengan ulah
nakal cucu pendiri NU ini. Tidak tanggung-tanggung, para kiai yang resah dengan
Gus Dur ini akhirnya menggelar “pengadilan” buat Gus Dur. Pada 8-9 Maret 1989,
sekitar 200 kiai berkumpul di Pesantren Darut Tauhid Cirebon untuk mengadili
pemikiran Gus Dur.
Sekitar 200
kiai tersebut menyusudutkan dan mendakwa Gus Dur dengan beragam sebutan.
Berbagai pertanyaan diajukan para kiai dengan nada marah dan menggugat. Tetapi
dengan santai dan percaya diri, Gus Dur saat itu menjelaskan bahwa apa yang
dilakukan sebenarnya meniru Wali Songo. Gus Dur ingin mempertemukan antara
budaya (al-‘adah) dan norma (syariah). Karena Wali Songo menjadi rujukan utama
dalam dakwah NU, bagi Gus Dur, maka melanjutkan metode Wali Songo dalam
berdakwah adalah tugas para kiai dan ulama’ di Nusantara.
Walaupun
telah menjelaskan panjang lebar ihwal ide pribumisasi Islamnya, tetap saja Gus
Dur menjadi tokoh yang terkadung mendapat cibiran dari sebagian kiai. Tak
terkecuali kiai sepuh yang sangat disegani saat itu, yakni KH As’ad Samsul
Arifin, dari Situbondo. Bahkan Kiai As’ad inilah yang melapangkan jalan Gus Dur
menuju Ketua Umum PBNU saat Muktamar NU tahun 1984 di pesantrennya Kiai As’ad
sendiri. Karena tidak sepakat dengan Gus Dur, Kiai As’ad menyebut Gus Dur saat
itu sebagai kiai ketoprak.
Peristiwa
tersebut menjadi monumen penting untuk membaca Gus Dur sebagai sosok nyeleneh,
alias kontroversial. Dan buku ini
berusaha membedah kenyelenehan Gus Dur tersebut dalam sebuah tafsir yang juga
nyeleneh, karena kalau menggunakan logika positivistik, maka sulit sekali
menemukan ritme gerak pemikiran yang diwacanakan Gus Dur. Kaca mata nyeleneh,
namun kritis, menjadi perspektif paling menarik untuk membaca segala
kenyelenehan Gus Dur.
Logika yang
tidak linier yang digunakan penulis untuk membaca ragam kenyelenehan Gus Dur
menjadi menarik, karena melihat Gus Dur bukan dengan tafsir sebagaimana selama
ini digunakan publik seperti biasanya. Penulis mampu melihat Gus Dur sebagai
sosok yang ingin membuka pencerahan, bukanlah dengan cara umumnya, karena
masyarakat santri akan mengalami kelambanan dalam gerak mobilitas vertikalnya.
Beragam
gerak nyeleneh Gus Dur kalau didalami dengan seksama, justru mengasyikkan dan
menyenangkan. Karena pembaca akan menemukan sesuatu yang baru yang sulit
menemukannya dalam berbagai fenomena social yang linier. Gus Dur membuka mata
batin pemikiran kita agar tidak terjebak dalam simbolisme yang seringkali
ambigu.
Kasus
mengganti assalamu’alaikum dengan “selamat pagi” bukanlah keinginan Gus Dur
untuk mengganti syariat, tetapi sebuah upaya Gus Dur yang sangat brilian karena
berupaya mendekatkan syariat dengan tradisi. Gus Dur juga tidak menginginkan
masyarakat terjebak dalam tafsir simbolik apa adanya. Gus Dur ingin menggugah
kesadaran beragama umat agar kritis dan terbuka. Beragama bukanlah dengan
terikat berlebihan dengan simbol. Karena yang jauh lebih penting adalah
memahami substansi dari ajaran agama itu sendiri. Terjebak dalam symbol hanya
akan membuat keberagamaan menjadi artifisial dan dangkal. Sedangkan kalau mampu
memahami ajaran agama substansi ajaran, maka keberagamaan akan semakin jernih.
Gus Dur
menginginkan masyarakat agar tidak terjebak dalam dangkalnya keberagamaan.
Dalam sebuah ungkapan dijelaskan bahwa yang dianggap adalah yang substansi,
bukan pada sisi luarnya (al-‘ibroh bil jauhar la bil madzhar). Gus Dur
menginginkan mutiara (jauhar) dalam keberagamaan, bukan pada kulit luar
(madzhar) yang seringkali menipu seseorang. Meneguhkan mutiara dalam bersikap
di ruang kehidupan inilah yang selalu diasah Gus Dur dengan berbagai kontroversi
pemikiran dan tindakan yang kerap kali tidak dipahami secara jernih oleh warga
nahdliyyin maupun bangsa Indonesia .
Berbagai
sikap kontroversial Gus Dur lahir mengalir begitu saja. Seperti menjadi Ketua
Dewan Kesenian Jakarta (DKI), membukam malam puisi Yesus, bekerjasama dengan
Israel, gabung dengan Institute Simon Peres, menolak hadirnya kaum sektarian
(ICMI), hubungan antar agama, dan sbagainya. Semua gerak kontroversi ini lahir
mengalir begitu saja, sehingga public menilainya pun dengan beragam tafsir.
Ragam tafsir yang tidak searah dan sepihak itulah justru yang diharapkan Gus
Dur, sehingga masyarakat tidak terjebak dalam tafsir tunggal yang absolute yang
hegemonic.
Dengan
berbagai uraian renyah dan kritis, Mufid menyajikan buku ini agar kita bisa melihat
kontroversi Gus Dur bukan para aras yang serba salah dan serba disalahkan.
Tetapi Mufid menginginkan agar kita terus membaca setiap jejak langkah, agar
tak kabur dengan fenomena. Gus Dur hadir bukan untuk menggurui, tetapi untuk
mengajak kita semua untuk bersikap kritis, teguh dengan prinsip, dan terbuka
tanpa harus tersekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar