|
Judul Buku : Tiga Guru
Sufi Tanah Jawa
Penulis : H. Murtadlo
Hadi
Penerbit : LKiS,
Yogyakarta
Cetakan : 1, Februari
2010
Tebal : 250 halaman
Peresensi : Ahmad Hasan
MS*)
|
Sosok ulama
atau kiai lazim dikenal karena suri teladannya, yatiu bagaimana praktek syariat
itu menjadi laku (amal) sehari-hari. Di samping itu, sosok kiai pun bisa
menempati ruang khusus di hati umat karena pernyataan-pernyataan, wasiat-wasiat
atau wejangan- wejangan mereka kepada oreang terdekat dan para santri serta
masyarakat. Wajar bila kiai oleh KH Aziz Mashuri menjadi penyangga kazanah
kebudayaan islam yang adiluhung.
Buku Tiga
Guru Sufi Tanah Jawa berusaha memaparkan “wejangan ruhani” atau pesan-pesan
spiritual dari tiga sosok kiai tanah jawa; Syaikh Muslih Bin Abdur Rahman
al-Maraqy (Mranggen Demak), Syaikh Romli Tamim (Rejoso Jombang) dan Syaikh
Dimyathi Bin Muhammad Amin al-Bantany (Cidahu Banten). Pesan-pesan spiritual
dari tiga tokoh yang menjadi maha guru (mursyid) di tanah jawa ini menyimpan
semacam doktrin sufistik Ala Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandsiyah dan Thariqah
Syadziliyah.
Dalam buku
ini penulis membagi dalam tiga bagian ihwal wejangan tiga guru sufi termasyhur
di jagad jawa ini. Pada bagian pertama dijelaskan mengenai wejangan ruhani dari
Abuya Dimyathi. Abuya Dimyathi merupakan ulama kharismatik dari Banten.
Wejangan spiritualnya mampu menjadi peneduh terhadap dahaga umat.
Wejangan-wejangan Abuya memiliki kualitas tinggi sebagai obat bagi jiwa yang
sakit, oase bagi jiwa yang gersang sekaligus Nur ilahiyah yang menguasai
kerajaan hati, dengan berjuta-juta malaikat berjaga disana, yang bisa mengusir
gelap (zhulumat) dan setan serta bala tentara (junudus syaithon) dari hati
manusia.
Dalam
Wejangannya, menjadi mursyid thariqah tidak asal begitu saja, melainkan melalui
syarat tertentu. Setidaknya, ada tiga syarat menjadi seorang Mursyid. Pertama,
seorang mursyid ketika menjadi pembimbing spiritual dan penunjuk jalan haruslah
matang dalam menguasai ilmu para ulama. Kedua, seorang mursyid juga harus
memahami memahami hikmah dari orang-orang yang sudah Ma’rifat Billah. Ketiga,
seorang mursyid menguasai pula taktik dan strategi yang diterapkan penguasa
(raja atau pemimpin politik).
Tiga
kriteria ini pertama kali sebenarnya telah dicetuskan oleh pemimpin Thariqah
Qadiriyah, yaitu syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hasil ijtihad Syaikh Abdul
Qadir Jailani itu dicatat oleh Syaikh Abi Ja’far al- Barzanji dalam kitab Lujainid
Dany. Karena nilai universalnya, menurut penulis berlaku di setiap gerakan
tarekat hingga sekarang. Criteria ini mengharuskan ulama yang benar-benar alim,
ahli ibadah dan hikmah serta giat membimbing dan mendekat pada umat.
Secara
khusus, Abuya Dimyathi juga memiliki risalah yang diperuntukkan untuk umat
dalam menekuni Thariqat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Di antaranya risalah ashl
al-qadar yang berisi tentang nama-nama sahabat ahli perang badar beserta ajaran
kearifannya. Juga kitab Rasn Al-Qasar yang menjelaskan tentang pentingnya
Hidzib Nashr. Juga kitab hadiyyah al-jalaliyyah yang menjelaskan ihwal sanad,
karakteristik Thariqah Syadziliyah, dan kepantasan untuk para salik dalam
bertaqarrub kepada Allah.
Pada bagian
kedua berisi tentang wejangan ruhani Syaikh Romli Tamim, Rejoso, Jombang, ulama
kharismatik yang mennadi mursyid Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Salah
satu buah karya Syaikh Romli adalah Tsamnrah al-Fikriyah yang berisi tentang
doktrin sufistik bagi ahli thareqat dan tasawuf. Dalam wejangannya, Syaikh
Romli mengatakan bahwa jalan untuk wushul (ma’rifat billah) bagi para santri
Thariqah adalah dengan cara serius melaksanakan tiga hal berikut.
Pertama,
mengembangkan Dzikir Khafi (dzikir samar) atau dzikir dalam hati. Caranya
dengan menghadirkan hati secara total senantiasa ingat Allah dalam keadaan
apapun. Kedua, muraqabah, yaitu senantiasa berusaha mengejar dan mendekat
kepada Allah. Dalam wukuf di hadrah ilahiyah, santri thareqah mesti senantiasa
berharap dengan prasangka baik (Khusnudzon) terhadap anugerah yang diberikan
Allah.
Ketiga,
dengan jalan khidmah (pengabdian), yaitu setia menjadi pelayan bagi guru yang
telah memberikan Talqin Dzikir, kaifiyah, dan Jam’iyyah serta juga bersedia
menyediakan diri untuk menjadi pelayan bagi santri-santri yang lain. Saling
berlomba-lomba dalam kebaikan sekaligus berusaha bermanfaat bagi sesama. Tiga
jalan ini dilakukan secara ikhlas dan istiuqomah dengan berserah total kepada
Allah.
Pada bagian
ketiga, penulis menjelaskan ihwal wejangan ruhani Syaikh Muslih Mranggen.
Syaikh Muslih Mranggen dikenal sebagai mursyid Thareqah Qadiriyah Wa
Naqsyabandiyah yang memiliki kedalaman ilmu dan kejernihan hati. Salah satu
karyanya yang cukup populer adalah Futuhat Rabbaniyah yang menguraikan doktrin
sufistik menuju tersingkapnya Ma’rifat Ilahiyah. Karya lainnya yang juga tak
kalah populer adalah an-Nur al-Burhani yang merupakan syarah (penjelasan kitab
Lujain ad Dani) karya Syaikh Abi Ja’far al-Brzanji yang meriwayatkan biografi
Sulthan Al-Auliya Syaikh Abdul Qadir Jailany.
Dalam
Futuhat ar-Rabbaniyah, Syaikh Muslih secara detail menjelaskan tentang tata
cara santri dalam menjalankan thareqah, terutama doktrin yang ia sebut sebagai
“ Mabadi Ilmi Ath Thariqah yang membahas landasan thariqah qadiriyah wa
naqsyabandiyah. Salah satu untaian hikmahnya adalah berfiqh harus dibarengi
dengan tasawuf. “Barang siapa yang semata berpegang pada formalitas fiqh, tanpa
praktek tasawuf, maka seorang itu bisa terjatuh pada perilaku fasiq. Dan barang
siapa mencoba-coba bertasawuf tanpa tuntunan syara’ maka ia bisa jatuh dalam
kafir zindiq. Dan barang siapa bertasawuf dan menjalankan tuntunan syara’(fiqh)
maka ia akan sampai pada hakekat dan kesejatian”.(hal 203).
Buku ini
menarik dibaca bagi siapa saja ingin mengenal lebih dekat ihwal warisan tiga
ulama besar sufi jawa beserta ajaran dan selub beluk kehidupannya. Namun
pembaca jangan lantas kecewa sebab buku ini bukanlah biografi khusus melainkan
sekedar serpihan pemikiran dan untaian hiikmah yang menyejukkan. Sebuah buku
yang memuat ajaran kearifan tiga guru sufi jawa yang terus dikenang sepanjang
masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar