Senin, 14 Mei 2012

Kiai Ishomuddin Hadziq



Sang Penerus Estafet KH. Moh. Hasyim Asy’ari
KH. Moh. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama terkemuka yang sukses melahirkan kader-kader ulama andal di seluruh Nusantara. Kedalaman ilmu, keluasan wawasan, dan keikhlasan dalam berjuang mengantarkannya pada posisi pemimpin yang kharismatik dan visioner. Maka, wajar kalau kehebatan dan darah biru Kiai Hasyim menetes kepada anak cucunya. Selain Gus Dur, cucu Kiai Hasyim yang mewarisi tetesan ilmu ‘salaf’ adalah Ishomuddin Hadziq yang akrab dipanggil Gus Ishom.
Gus Ishom lahir pada 18 Juli 1965 dari pasangan Hj. Khodijah binti KH. Moh. Hasyim Asy’ari dan Kiai Hadziq. Beliau merupakan putra pertama dari tiga bersaudara tunggal ayah-ibu (Fahmi Amrullah dan Zakki). Beliau dilahirkan di Kediri Jatim. Pada saat kelahirannya, Ibunya Hj. Khodijah mengalami kesulitan. Secepatnya Kiai Hadziq sowan KH. Mahrus Ali meminta minuman dan do’a. Kiai Mahrus Ali langsung datang sendiri saat proses kelahirannya dan berdo’a agar Allah memberikan kemudahan dan kelancaran. Alhamdulillah bayi lahir dengan selamat dan lancar. Kiai Mahrus Ali langsung berkata “bayi ini akan menjadi anak yang shalih” seraya memberi nama bayi itu dengan “Ishomuddin” artinya orang yang mampu menjaga agama. Kiai Mahrus Ali yakin bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang besar yang mampu menyebarkan dakwah Islam dan mampu meneruskan estafet kepemimpinan kakeknya, Hadlratusysyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari.
Pada waktu kecilnya, kelebihan Gus Ishom sudah kelihatan. Rajin, disiplin, sopan santun dan menunjukkan minat yang besar pada ilmu pengetahuan. Pada usia sekitar 4 tahun, Gus Ishom sudah membaca berita di Koran Duta Masyarakat, sebuah tradisi yang tidak lazim bagi anak seusia 4 tahun. Sejak kecil, Gus Ishom disayang Kiai Idris Kamali (menantu Hadlratus Syekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari) yang terkenal alim dan wara’. Gus Ishom selalu mengerjakan shalat maghrib tepat waktu dan persis dibelakang Kiai Idris. Menurut banyak orang, itulah salah satu factor yang membuat Gus Ishom dikaruniai otak cerdas dan daya ingat yang luar biasa. Gus Ishom mampu menangkap pelajaran dengan cepat dan mengingatnya dengan baik. Konon cerita, Kiai Ihsan Jampes (seorang kiai terkenal pengarang kitab Sirojut Tholibin, Syarah Kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghozali) selalu datang ke Tebuireng untuk menemuai Gus Ishom dan memberinya uang seratus rupiah.
Cerita menarik lainnya, sejak berusia sekitar 7 tahun, ketika duduk di kelas 2 SD, pada waktu Ramadlan Gus Ishom selalu mengerjakan sholat tarawih dengan tuntas dari awal sampai selesai. Uniknya, beliau selalu berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain. Ternyata hal ini mempunyai tujuan, yakni mencari orang yang paling fasih bacaan qur’annya. Setelah Ramadlan selesai, Gus Ishom minta izin kepada ibunya “Bu, aku ingin ngaji al-Qur’an sama kiai ini” pinta Gus Ishom, ‘kenapa harus ke kiai ini’? tanya ibunya, “Saya sudah mendengarkan semua bacaan imam shalat saat tarawih, dan yang paling fasih bacaannya adalah kiai ini”. Jawab Gus Ishom. Mendengar jawaban anaknya ini, Hj. Khodijah kaget, dan dengan legowo memberikan ijin.
Jadi sejak kecil, Gus Ishom sudah lihai dan cerdas memilih guru yang betul-betul mendalam pengetahuan dan tinggi moralitasnya, tidak sembarangan memilih guru. Karena pengaruh guru sangat besar dalam menyukseskan pendidikan murid-muridnya.
Pendidikan
Pendidikan Gus Ishom mulai tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai Aliyah diselesaikan di Tebuireng. Beliau selalu naik kelas dengan nilai yang tinggi. Setelah selesai pada tahun 1981, beliau melanjutkan studi di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur sampai tahun 1991 (sekitar 10 tahun). Lirboyo adalah pesantren yang sangat terkenal sebagai ‘gudang kitab kuning’, dimana kedalaman dan ketajaman memahami kitab kuning dikaji dan dikembangkan secara serius di pesantren ini.
Di Lirboyo inilah, cerita besar tentang Gus Ishom terukir indah. Sejak bersinar di Pondok ini, figur Gus Ishom digadang-gadang mampu menjadi pemimpin masa depan NU dan mampu mengembalikan kejayaan Pondok Pesantren Tebuireng seperti masa kakeknya dulu yang mampu menelurkan kiai-kiai alim hampir di seluruh pelosok Nusantara. Ekspose media terhadap figur Gus Ishom sangat besar. Ekspektasi besar media dan masyarakat bukan berakhir dengan kekecewaan. Gus Ishom benar-benar menempa diri dengan sungguh-sungguh di Pondok ini.
Gus Ishom mendapat perhatian khusus dari KH. Mahrus Ali. Beliau digembleng sendirian. Ada jadwal khusus mengaji antara Gus Ishom dan KH. Mahrus Ali. Hal ini didorong agar salah satu ‘putra mahkota Tebuireng’ ini mampu meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yang sarat dengan prestasi besar sebagai salah satu cikal bakal pondok pesantren di Indonesia.
Gaung bersambut. Harapan besar KH. Mahrus Ali tidak disia-siakan Gus Ishom. Beliau serius belajar untuk menguasai semua pelajaran dari guru-gurunya. Beliau menunjukkan minat yang besar pada seluruh bidang, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, balaghoh, nahwu, dan lain-lain. Gus Ishom mengaji hampir ke semua kiai di Lirboyo.
Ketika di Lirboyo ini, Gus Ishom langsung masuk kelas 1 Aliyah karena lulus tes seleksi, sebuah prestasi awal yang sangat membanggakan, karena sangat jarang orang bisa masuk langsung di kelas 1 Aliyah, biasanya hanya bisa masuk di tingkat Ibdiyaiyah atau Tsanawiyah.
Pada saat awal-awal di Lirboyo ini, kelebihan Gus Ishom belum kelihatan. Namun, menjelang tamat kelas III Aliyah, hampir semua orang angkat topi padanya. Kecerdasan yang digabungkan dengan kekuatan daya ingat yang luar biasa menjadikannya sebagai sosok yang unik, prestisius, dan sulit tertandingi. Dari prestasi inilah, Gus Ishom sering menjadi delegasi Pondok Pesantren Lirboyo di berbagai acara bahtsul masa’il diniyah di berbagai pondok pesantren sebagai wahana ‘uji kemampuan dalam mengkaji dan mengasah analisa dalam menjawab masalah’.
Di Lirboyo ini, Gus Ishom mendapat julukan “Mbah Wali”, karena beliau tidak pernah hadats, selalu dalam keadaan suci, selalu menjaga wudlu’ kapanpun dan dimanapun, sehingga kalau sholat tidak perlu berwudlu’ lagi. Hebatnya lagi, Gus Ishom selalu membaca sholawat, bahkan saat mengaji sekalipun. Dus, saat mengaji, tangan menulis makna yang diberikan Kiai sebagaimana tradisi di pesantren, pikiran mencerna dan memahami keterangan dan ulasan kiai, sedangkan mulutnya membaca sholawat.
Ketika musim Ramadlan tiba, Gus Ishom pergi ke pondok-pondok lain untuk ‘pasanan’ seperti di Kewagean Kediri Jatim, Pesantren Kaliwungu Kendal Jateng. Suatu waktu beliau pasanan bersama Gus Kafabih (putra KH. Mahrus Ali) pasanan mengaji kitab Fathul Wahhab.
Melihat kelebihan dan kecermelangan Gus Ishom ini, beliau pun menjadi pengajar (ustadz) di Pondok Lirboyo. Menurut penuturan murid sekaligus sahabatnya Gus Umar Shahib, saat mengajar, Gus Ishom jarang membawa kitab, beliau seakan hafal pelajaran yang diajarkannya, seperti fiqh, ushul fiqh, balaghoh, dll. Keterangannya enak dicerna, mudah dipahami, bisa mempermudah hal-hal sulit dan mempunyai muatan sastra yang tinggi. Selain itu, beliau juga dipercaya sebagai mustahiq, bahkan termuda. Mustahiq adalah jabatan yang mengharuskan seseorang bertanggung jawab penuh kondisi satu kelas, sehingga harus menguasai semua mata pelajaran yang diajarkan di kelas tersebut.
Prestasi demi prestasi mengantarkan Gus Ishom menduduki posisi RAIS AM M3HM (Majlis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi’in), sebuah lembaga yang membawahi seluruh kegiatan bahtsul masail di pondok pesantren Lirboyo. Jabatan sebagai Rais Am ini sebagai lambang supremasi dan otoritas bidang kitab kuning, disamping menunjukkan kemampuan di bidang kepemimpinan dan management. Waktu itu, Gus Ishom sering menjadi moderator acara bahtsul masa’il. Dengan cerdas, tangkas dan efektif, Gus Ishom mampu memimpin jalannya bahtsul masail dengan enak dan segar. Setelah lama menjadi moderator, posisinya naik sebagai tim perumus yang menyimpulkan permasalahan yang ada dan merumuskan jawaban peserta.

Kuliah
Seakan tidak puas dengan ilmu yang didapatkannya, di sela padatnya aktivitas yang harus dijalaninya, Gus Ishom menyempatkan diri menimba dan mencari wacana baru di Perguruan Tinggi. Gus Ishom melanjutkan studi di Universitas Islam Kediri (UNIK) yang sekarang berubah menjadi UNIKA (singkatannya sama). Uniknya lagi, ketika kuliah di UNIK ini, Gus Ishom juga mendaftarkan diri di Universitas Tribakti (Perguruan Tinggi yang berada dinaungan Pondok Pesantren Lirboyo) dan di IKAHA (Institut Keislaman Hasyim Asy’ari). Namun karena padatnya kegiatan, Gus Ishom hanya mampu menamatkan studinya di UNIK saja.

Saat kuliah, Gus Ishom selalu mendapat nilai A. Menurut dosennya, refrensi yang digunakan Gus Ishom tergolong unik. Buku-bukunya rata-rata kuno (ejaan lama, sehingga sulit dibaca) yang luput dari perhatian orang. Menurut adiknya Gus Zakki, hal ini karena Gus Ishom rajin datang di pasar Loak untuk mencari buku-buku lama yang tidak ada di pasaran. Buku-buku langka yang ditemukannya sangat membantu untuk menemukan ide dan inspirasi baru, seperti dalam penyusunan skripsi. Inilah yang menjadi salah satu alasan Gus Ishom mendapat tempat sendiri di kalangan para dosen. Setelah selesai kuliah, Gus Ishom mendapat tawaran menjadi dosen dari pihak universitas, namun Gus Ishom tidak berminat. Saat lulus dari UNIK ini secara bersamaan Gus Ishom juga selesai menjalankan tugasnya sebagai seorang mustahiq selama kurang lebih 6 tahun.
Kepribadian
Kepribadian yang terpancar dari Gus Ishom sangat beragam dan penuh pesona. Beliau adalah orang yang tidak elitis, selalu akrab dengan murid-muridnya. Beliau tidak merasa ada jarak dengan murid-muridnya. Bahkan, ketika berbicara dengan murid-muridnya, Gus Ishom menggunakan bahasa kromo inggil (bahasa jawa yang sangat halus) atau memakai bahasa Indonesia. Beliau senang menolong murid-muridnya yang menghadapi kesulitan. Ketika ada muridnya yang kurang jelas pelajaran di kelas, beliau menerangkan lagi di kamar, tidak ada kesan ‘jual mahal’.
Gus Ishom adalah seorang low profile. Penampilannya apa adanya, tidak terlalu mencolok, sangat sederhana. Walaupun mampu membeli barang-barang mahal, namun beliau lebih menyukai kesederhanaan. Beliau terbiasa memakai sepeda mini jelek, pespa buntut, dan hal-hal yang menurut kebanyakan orang sangat remeh dan tidak pantas dipakai oleh seorang kiai atau gus. Gus Ishom cuek, tidak pusing dengan guncingan orang. Beliau selalu percaya diri dan sangat yakin dengan apa yang dilakukannya.
Seringkali ketika diundang pada acara pengajian, sandal yang dibawa tidak pas, sisihan istilah orang Jawa, satu merah satu hijau. Bahkan pernah ketika memberikan pengajian, sandalnya diambil orang. Akhirnya beliau pulang sambil nyeker (tanpa alas kaki).
Kedalaman ilmu dan kematangan dirinya membuat Gus Ishom menjadi sosok yang enak dan menawan, tidak senang menjadi beban orang lain dan sebisa mungkin membantu dan membahagiakannya. Dalam keluarga, ketika Gus Ishom marah, tidak pernah berbuntut panjang sehingga cepat selesai. Ketika ada masalah dan beliau tidak setuju, lebih memilih tidak berkomentar dan tidak ikut cawe-cawe.
Beliau fleksibel, tidak terlalu fanatic, moderat dan terbuka. Namun, dalam memegang prinsip hidup pada sesuatu yang diyakini kebenarannya beliau perjuangkan semaksimal mungkin, seperti tidak ada yang mampu menahannya. Misalnya ketika beliau sedang sakit, ada undangan pengajian di Cilacap, Pak Yusuf Hasyim melarangnya untuk menghadiri acara pengajian atau diskusi, namun karena sudah janji, beliau tetap pergi walau dalam keadaan sakit. Ini tidak lepas dari tanggung jawab besarnya pada umat. Gus Ishom lebih mementingkan kepentingan umat dari pada kepentingannya sendiri.
Dalam menyampaikan ilmu, beliau menghindari kesan menggurui. Obyektivitas, kerendahdirian, dan kejujuran ilmiah sangat dijunjung tinggi. Beliau bukan sosok yang obsesif, ambisius, dan meledak-ledak. Penyampaiannya datar, suaranya enak dan mudah dicerna, dan joke-jokenya mengalir dengan segar.
Hal lain yang menarik digarisbawahi dari Gus Ishom adalah beliau jarang menggunjingkan aib orang lain. Kalau ada orang yang menggunjing aib orang lain, beliau lebih memilih diam atau menghindar. Kalau beliau ikut, hanya dalam batas yang sangat proporsional, tidak berlebih-lebihan dan disana ada unsur ta’dib (mendidik).
Dalam melangkah, Gus Ishom tidak tergesa-gesa, santai. Beliau mempunyai perhitungan dan pertimbangan yang matang dan tepat. Kesabaran, kedewasaan, kearifan dan kebijaksanaan Gus Ishom selalu terpancar dalam sikap perilakunya.
Penghormatannya kepada guru sangat besar. Ketika salah satu gurunya KH. Idris Marzuki menyuruhnya tidak ada kata tidak, pasti dilaksanakan. Hal ini tidak hanya ketika menjadi santri, ketika menjadi orang terkenal, penghormatan terhadap gurunya tidak berubah.
Setelah lama menempa diri di Lirboyo, akhirnya Gus Ishom boyong, kembali ke daerah asalnya, Tebuireng Jombang pada tahun 1991 dengan segenap ekspektasi yang tinggi dari masyarakat dan dengan segenap tanggung jawab besar yang menunggunya di Tebuireng.
Karir
Status darah biru yang diimbangi dengan kecermelangan dan kematangan menempatkan Gus Ishom sebagai the rising star bak roket yang meluncur cepat ke angkasa. Tidak lama setelah kembali ke Tebuireng, berbagai aktivitas internal dan eksternal dijalani dengan intensitas yang tinggi. Mobilitas Gus Ishom semakin padat, selain harus mengajar di pesantren dan madrasah, ceramah diberbagai tempat, mengisi acara diskusi, seminar dan sejenisnya diberbagai forum ilmiah, juga aktivitasnya dibidang keorganisasian yang menyita banyak waktu.
Akhirnya, dalam usia yang relatif muda, jabatan-jabatan strategis disandangnya, antara lain :
1. Salah satu pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, peninggalan kakeknya
Hadratussyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari
2. Pengasuh Pondok Pesantren al-Masruriyah (khusus putri) Tebuireng Jombang,
depannya Pondok Tebuireng
3. Rais Syuriyah PWNU Jatim
4. Wakil Ketua RMI Pusat (Rabithah Ma’ahid Islamiyah, asosiasi pondok pesantren
seluruh Indonesia)
5. Politisi PPP meneruskan karir ibunya, bahkan pernah menjadi anggota DPRD Jombang
6. Dan lain-lain
Karya
Tidak seperti seorang kiai di Indonesia yang miskin karya, Gus Ishom sangat kelihatan dan menonjol dibidang ini. Beliau adalah seorang penulis andal di berbagai media masa, Nasional maupun local. Tulisan dalam bentuk opini, essai, cerpen, dan lain sebagainya tidak terhitung. Khusus dalam bidang sastra, Gus Ishom mempunyai keunikan sendiri. Bahasanya yang khas, dan sentuhan spiritualitasnya yang tinggi membuat sastra Gus Ishom bernilai tinggi. Kemampuan sastra Gus Ishom ini dilatarbelakangi oleh kesenangannya dalam bidang balaghoh, terutama bab badi’ yang bermuatan sastra tinggi.
Penulis ketika menghadiri bedah buku “Kun Fayakun” di Aula Pondok pesantren Tebuireng, dimana Gus Ishom menjadi salah satu nara sumbernya, beliau tampil memukai dengan data-data yang segar dan ilmiah. Waktu diskusi itu, Gus Ishom menceritakan Kiai Hasyim ketika menjenguk istrinya, Hj. Khodijah, ibu Gus Ishom di rumah sakit Sumobito Jombang. Saat Kiai Hasyim melilhat ada sebuah gereja di sebelah rumah sakit yang ada kentongannya. Selepas istrinya pulang dari rumah sakit, Kiai Hasyim memberikan fatwa haramnya menggunakan kentongan di Masjid atau tempat ibadah lainnya, seperti Musholla. Yang dibolehkan hanya geduk. Namun, Kiai Anwar Pasulgowang tidak sepakat dengan pendapat Kiai Hasyim. Mereka kemudian berdiskusi, beradu argumentasi dan berpolemik lewat lisan maupun tulisan. Kiai Hasyim mengarang kitab “al-Jasus fi Ahkamin Nuqush”, yang membahas haramnya kentongan karena ada unsure tasyabbuh (menyerupai) orang Kristen, sedangkan Kiai Anwar konsisten dengan pandangan bolehnya kentongan karena sudah menjadi tradisi (adat) dan tidak ada pengaruhnya terhadap agama dan kepercayaan seseorang. Ia murni ikhbar (pemberitahuan) kepada masyarakat. Cerita-cerita unik semacam inilah yang mengasah kemampuan Gus Ishom membuat karya sastra semacam cerpen dan sejenisnya.
Ketika diundang dalam forum diskusi, beliau juga membuat makalah ilmiah yang argumentatif. Sayang, tulisan Gus Ishom diberbagai media masa dan makalah di berbagai forum tidak terdokumentasi dengan baik. Hanya naskah buku dan kitab yang dapat dinikmati hingga sekarang.
Diantara karya-karya Gus Ishom adalah :
1. Irsyadul Mukmimin
2. Audlohul Bayan fima Yata’allaqu bi Wadloifi Ramadhan
3. Miftahul Falah fi Ahaditsi al-Nikah
4. Biografi Kiai Hasyim Asy’ari
5. Tulisan di berbagai media masa dan makalah di berbagai forum diskusi
Menemukan Karya Hadlaratussyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari
Salah satu prestasi penting yang ditelurkan Gus Ishom adalah keberhasilannya menemukan karya-karya orisinil kakeknya, guru besar umat Islam Indonesia HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari.
Bahkan sejak di Lirboyo menurut Gus Umar Shohib, Gus Ishom sudah rajin mencari, mengumpulkan, dan mensistematisir karya-karya HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari untuk dijadikan dokumen yang bisa disebarluaskan. Cuman ketika di Lirboyo Gus Ishom belum sempat menerbitkannya. Baru ketika kembali ke Tebuireng, karya-karya HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari yang sangat berharga bagi komunitas NU khususnya dan umat Islam umumnya dapat diterbitkan untuk umum.
Gus Ishom mendapatkan karya HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari dengan perjuangan berat yang berliku-liku. Adakalanya beliau mencari kepada murid-murid HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari atau diberi naskah seseorang. Gus Ishom tidak menerima begitu naskah yang ada. Terlebih dahulu beliau memohon kepada ulama yang alim dan mempunyai kedekatan dengan HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari untuk mentashih dan mentahqiq (meneliti secara mendalam). Setelah itu, baru kitab tersebut diterbitkan.
Banyak karya Kiai Hasyim yang diterbitkan Gus Ishom. Antara lain :
1. Adabul Alim wa al-Muta’llim, menjelaskan apa yang dibutuhkan pelajar ditengah
proses studinya dan hal-hal yang berhubungan dengan pengajar dalam proses
pengajarannya
2. Ziyadah al-Ta’liqat, buku untuk mematahkan argumentasi Syekh Abdullah bin Yasin
al-Fasuruwani dalam kitab nadhomnya yang tidak sepakat dengan pengikut
organisasi Nahdlatul Ulama
3. al-Tanbihat al-Wajibat, liman Yashna’u al-Maulida bi al-Munkarat
4. al-Risalah al-Jami’ah, menjelaskan tentang keadaan-keadaan orang-orang yang meninggal,
tanda-tanda kiamat, dan menjelaskan tentang Sunnah dan bid’ah
5. al-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin, menjelaskan pengertian cinta kepada
Rasulullah Saw. dan hal-hal yang berhubungan dengan para pengikut dan
menghidupkan tradisinya
6. Hasyiyah Ala Fathirrahman bi Syarhi Risalah al-Wali Ruslam li Syaikh Islam
Zakariyya al-Anshari
7. Dal-Durar al-Muntasirah fi al-Masail al-Tis’a ‘Asyarah, menjelaskan tentang masalah thoriqot,
kewaliyan, dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah penting bagi ahli thoriqot
8. al-Tibyan fi al-Nahyi an Muqotho’ati al-Ikhwan, menjelaskan tentang pentingnya shilaturrahim
dan bahaya memutusnya
9. al-Risalah al-Tauhidiyyah, ini adalah kitab kecil yang menjelaskan akidah
Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah
10. al-Qolaid fi Bayani ma yajibu min al-Aqoid
11. Dan masih banyak lainnya yang menunjukkan keluasan pemikiran Kiai Hasyim.
Secara global semua karya Kiai Hasyim Asy’ari sekarang dijadikan satu dengan nama “Irsyadus Sari” oleh adik Gus Ishom, Gus Zakki. Kitab ini sudah beredar luas diberbagai tempat di Indonesia. Sehingga sangat penting dibaca dan dipahami, khususnya kalangan NU.
Keluarga
Gus Ishom menikah dengan seorang santri dari Pondok Pesantren Seblak asal Pacitan Jawa Timur, namanya Nia Daniati binti KH. Muhammad Anwar. Dari pernikahan ini lahirlah satu orang putra bernama Muhammad Hasyim Anta Maulana dan satu orang putri bernama La Tahzani Innallaha Ma’ana.
Menurut pengakuan mertuanya KH. Muhammad Anwar, alumnus Pondok Pesantren Tebuireng, Gus Ishom adalah orang yang mampu membina mahligai rumah tangga secara harmonis. Ketika sedang di rumah mertua di Pacitan, Gus Ishom tidak makan kalau tidak bersama istri. Beliau siap menunggu kadatangan Sang istri walau harus menunggu lama.
Walaupun menantunya, KH. Muhammad Anwar menganggap Gus Ishom sebagai gurunya. Karena sejak di Tebuireng, ia selalu melihat Kiai Idris mencium kening Gus Ishom selepas sholat. Dan tidak sembarang orang keningnya bisa dicium Kiai Idris.
Wafatnya
Ditengah padatnya kegiatan yang dijalaninya, tidak terasa Gus Ishom kurang perhatian terhadap kondisi kesehatan tubuhnya. Akhirnya beliau jatuh sakit. Salah satu penyakitnya adalah asam urat. Ketika sudah kelihatan sembuh, beliau kembali beraktivitas lagi yang memerlukan kesehatan fisik prima.

Kemudian beliau jatuh sakit lagi, akhirnya dengan takdir Allah setelah berobat lama, Allah mengambil ruh suci dari raga kiai muda, sang penerus estafet keilmuan sang kakek pada hari sabtu 26 Juli 2003 sekitar pukul 06.30 WIB. di Rumah Sakit William Bunk Surabaya pada usia yang masih sangat muda 37 tahun.
Masya Allah, wafatnya Gus Ishom menggemparkan Jawa Timur. Halaman Pondok Pesantren Tebuireng sesak dengan zairin-zirat dari berbagai penjuru Jatim, mulai para kiai, santri, murid, birokrasi, politisi dan masyarakat umum.
Penulis yang berkesempatan mengikuti prosesi pemakamannya sangat terharu, tidak kuat menahan air mata, ada perasaan kehilangan besar atas meninggalkan Putra Mahkota Tebuireng yang sangat istimewa ini.
Saat pemakaman ini, Allah menurunkan hujan sebagai tanda bahwa Gus Ishom adalah hamba-Nya yang dicintai dan disayangi-Nya.
Semoga ruh Gus Ishom diterima disisi Allah, ditinggikan derajatnya, diampuni dosanya, dan mendapatkan balasan yang berlipat-lipat dari amal perbuatan yang dilakukannya di dunia, berupa benih-benih kebaikan di masyarakat.
K.H. Abdul Rozaq Shofawi, Solo
Penerus Tradisi Penghafalan Al-Quran
Ia anak saudagar batik, tapi gaya hidupnya sederhana dan dermawan. Tarekatnya pun sederhana: sangat peduli pada masalah halal-haram.
Solo, 1985. Sudah lebih dari seminggu isu penjualan daging ayam – yang disembelih tidak Islami – merebak di tengah masyarakat, dan meresahkan umat Islam. Apalagi ketika itu hampir semua ayam potong yang dijual di pasar hanya berasal dari satu atau dua agen. Kegelisahan yang sama juga mengusik seorang kiai pengasuh sebuah pesantren di Kota Bengawan itu. Tak tinggal diam, ia segera bertindak. Setiap pukul dua dinihari, mengenakan pakaian seperti orang kebanyakan, ia melamar bekerja di agen pemotongan ayam. Dua jam kemudian ia kembali ke pesantren menjadi imam shalat Subuh.
Demikianlah, selama dua minggu sang kiai telah menyembelih ribuan ekor ayam untuk dikonsumsi masyarakat. Kesempatan itu juga ia manfaatkan untuk menularkan ilmu menyembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Setelah yakin penyembelihan ayam yang dilakukan karyawan lain sudah benar, ia pun mengundurkan diri sebagai tukang potong ayam.
Meski tampak sederhana, apa yang dilakukan sang kiai sesungguhnya luar biasa. Dalam pandangannya sebagai ulama, halal-haramnya suatu makanan bukan hal sepele. Sebab, di samping merupakan masalah hukum, hal itu juga sangat berpengaruh pada upaya pembangunan mental seseorang. Hingga kini, kepeduliannya terhadap persoalan halal-haram tetap kuat, bahkan menjadi salah satu thariqah-nya.

Siapa si tukang potong ayam itu? Dialah K.H. Abdul Rozaq Shofawi, kini 60 tahun, pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo.
Karena kepedulian itu pula Kiai Rozaq pernah menghukum sejumlah santrinya gara-gara mereka mengambil telur di dapur asrama. Bukan kerugian atas sejumlah telur yang dipersoalkannya, tapi status keharaman telur sebagai hasil curian itulah yang membuatnya marah.
Ia putra pertama K.H. Ahmad Shofawi, seorang ulama yang juga saudagar batik terkenal di Solo, sementara ibundanya adalah Siti Musyarofah, putri K.H. Abdul Mannan, perintis Pondok Pesantren Al-Muayyad. Ibundanya wafat ketika melahirkan anak ketiga – yang kemudian meninggal sebulan setelah sang ibu wafat. Sejak itu saudara kandung Kiai Rozaq tinggal adik perempuannya, Siti Mariah, istri K.H. Ma’mun Muhammad Mura’i, yang kini tinggal di Yogyakarta.
Perihal wafatnya sang ibu tak lepas dari cerita unik ala pesantren. Pernikahan kedua orangtuanya adalah atas perintah K.H. Ma’shum, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ketika itu usia Musyarofah baru belasan, sementara Shofawi – sahabat sang mertua semasa sama-sama nyantri – sudah sangat uzur. Kakak sulung Musyarofah, K.H. Ahmad Umar Abdul Manan, sangat gundah, karena ia berpikir adik perempuannya akan segera menjadi janda.
Maka Kiai Umar pun menemui gurunya, K.H. Manshur, mursyid Thariqah Naqsybandiyah di Popongan, Klaten, Jawa Tengah. Baru saja ia masuk, sang guru sudah lebih dulu berkata, “Berikan saja adikmu kepada Kiai Shofawi dengan ikhlas. Insya Allah adikmu tidak akan jadi janda.” Ramalan itu ternyata terbukti: justru Musyarofah yang wafat lebih dulu.
Tukang Cat
Meski putra saudagar, sejak kecil Abdul Rozaq memilih hidup prihatin. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia mencari bekal dengan bekerja serabutan. Di sela-sela waktu belajarnya, ia pernah menjadi tukang tambal ban di pinggiran jalan Kota Gudeg. Ia juga pernah bekerja di sebuah bengkel mobil sebagai tukang cat dan mekanik.
Tak mengherankan, pengetahuannya tentang dunia otomotif sangat dalam, bahkan di kalangan para kiai ia dikenal sebagai ahli mesin. Karena itu, di sela-sela mengasuh pesantren, suami Hj. Hindun Susilowati itu mempunyai hobi mengutak-atik mesin mobil. Itu sebabnya beberapa kiai sepuh ada yang minta tolong untuk memperbaiki mobil mereka. Selama di Yogya, Kiai Rozaq sempat belajar kepada K.H. Ali Ma’shum, pengasuh Ponpes Al-Munawwir (Krapyak), K.H. Dr. Tholhah Manshur, pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada, dan K.H. Masturi Barmawi, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Ketika baru menikah, ayah lima anak itu menghidupi keluarganya dengan berdagang es keliling, yang belakangan berkembang menjadi home industry. Setelah mengasuh Al-Muayyad, Kiai Rozaq sekeluarga hijrah ke kompleks Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Dipercaya meneruskan mengasuh pesantren Al-Quran membuat Kiai Rozaq merasa perlu meneruskan tradisi penghafalan kitab suci itu kepada putra-putrinya. Maka sejak kecil, putra-putrinya, yaitu Hj. Ari Hikmawati, H. Faishol Arif, H. Kholid, Hj. Himmatul Aliyah, dan Hj. Nailil Muna, dibiasakan menghafal Al-Quran. Bahkan, sebagai motivator, Kiai Rozaq selalu menyediakan hadiah setiap kali mereka berhasil menambah hafalan satu juz. Jangan heran, di usia muda mereka telah menjadi hufazhul Quran, penghafal Al-Quran.
Sejak masih muda, Kiai Rozaq sering diajak pamannya, Kiai Umar, mendiskusikan masalah kepengurusan pesantren. Satu hal yang ia kenang: sang paman selalu mendorongnya untuk melakukan inovasi, sementara sang paman hanya mengawasi sambil sesekali mengingatkan jika langkah yang ditempuh kemenakannya kurang sesuai dengan pikirannya.
Kepemimpinan yang bijak itu sangat membekas di hati Kiai Rozaq, sehingga di belakang hari ia juga selalu memberi kebebasan kepada stafnya untuk melakukan inovasi, sepanjang tidak bertentangan dengan garis-garis besar kebijakan pesantren. Ia begitu sabar membiarkan pengurus pesantren, yang rata-rata masih muda, mengutak-atik sistem kepengurusan dan membuat forum untuk mengkritisi sistem yang sedang berjalan.
Guru lain yang juga sempat menanamkan kearifan dalam diri Kiai Rozaq ialah ulama kharismatik yang tinggal di Mangli, sebuah desa kecil di lereng Gunung Merbabu, Kiai Hasan Asykari, yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Mangli. Sekitar tahun 1977-1980, ia mengaji sekaligus berkhidmah kepada tokoh yang pengajian mingguannya selalu dihadiri ribuan orang itu.
Selama tiga tahun, setiap minggu, Kiai Rozaq mengendarai sepeda motor menempuh perjalanan Solo-Mangli. Cukup jauh, karena Mangli terletak di wilayah Ngablak, Magelang. Jadwal pertemuan mingguan itu bertambah jika tiba-tiba Mbah Mangli memanggilnya untuk suatu keperluan. Sering Kiai Rozaq, yang kemudian dipercaya sebagai sopir pribadi sang guru, diperintahkan mengantar Mbah Mangli keliling Jawa selama seminggu penuh.
Ketika berkhidmah kepada ulama kharismatik tersebut, banyak pelajaran berharga yang didapatnya. “Ternyata Mbah Mangli benar-benar ulama yang dianugerahi kasyaf oleh Allah. Beliau weruh sak durunge winarah,” katanya.
Maksudnya, sudah tahu sebelum suatu peristiwa terjadi. Pernah suatu ketika Kiai Rozaq diminta mengikuti sang guru ke suatu tempat. Sebelum berangkat, Mbah Mangli minta muridnya itu menempuh rute memutar jalan – rute yang tidak biasa. Menganggap jarak yang akan ditempuh semakin jauh, Kiai Rozaq memberanikan diri mengusulkan rute yang biasa. Karena Mbah Mangli diam saja, ia pun menempuh jalur biasa yang lebih singkat. Namun, di suatu tempat, perjalanan terpaksa terhenti karena jembatan yang harus mereka lewati baru saja ambrol.
Menurut penduduk setempat, diperkirakan waktu ambrolnya jembatan bersamaan dengan perintah Mbah Mangli kepada Kiai Rozaq untuk menempuh jalur memutar. Maka sang murid pun segera menyadari kesalahannya, dan minta maaf.
Santri Kesayangan
Setelah genap tiga tahun, Kiai Rozaq menyelesaikan pengajian – sesuai perintah sang guru. Hal ini pun sepertinya merupakan isyarat sang guru, karena tak lama kemudian K.H. Ahmad Umar, pendiri dan pengasuh pertama Ponpes Al-Muayyad, wafat. Karena almarhum tidak berputra, para kiai sepuh memerintahkan Abdul Rozaq – kemenakan tertua almarhum, yang memang sudah lama dibimbing oleh Kiai Umar – untuk mengasuh Ponpes Al-Muayyad. Padahal ketika itu usianya baru 36 tahun, terbilang masih cukup muda untuk memikul amanat kepengasuhan yang cukup berat.
Dalam tradisi pesantren, kedekatan seorang santri dengan ulama kharismatik, apalagi menjadi santri kesayangan, merupakan sebuah keistimewaan. Dalam beberapa hal, posisi seperti itu sering kali juga menjadi semacam pengakuan atas kapasitas dan integritas si santri.
Dari Mbah Mangli, selain mengaji ilmu agama, Kiai Rozaq juga belajar ilmu kedermawanan. Menurutnya, dalam hal yang satu ini sang guru terbilang sangat luar biasa. Ia tidak pernah menolak pengemis yang datang meminta-minta. Dan, sebagaimana ajaran agama, sang guru selalu menasihati bahwa sedekah tidak pernah membuat seseorang menjadi miskin. Bahkan sebaliknya, dengan bersedekah, harta seseorang malah berlipat ganda karena berkah.
Namun, Kiai Rozaq sendiri mengakui, menjadi seorang dermawan bukan hal yang mudah. “Persoalan terbesar yang selalu menghadang orang yang ingin menjadi dermawan ialah penyakit hubbud dun-ya, terlalu cinta materi. Penyakit ini sangat berbahaya, karena bisa mematikan hati seseorang,” katanya. “Kerusakan moral yang melanda banyak pemimpin negeri ini berawal dari hubbud dun-ya itu. Ini bertolak belakang dengan contoh-contoh yang diajarkan oleh tokoh-tokoh Islam generasi awal,” tambahnya.
Jauh sebelumnya, pengalaman paling berharga mengenai kedermawanan itu didapatnya dari sang ayah, Kiai Shofawi. Saudagar batik yang kaya di Tegalsari, Solo, itu selalu menasihati putra-putrinya bahwa orang kaya harus menjadi semacam keran, yang selalu mengucurkan air bagi setiap orang yang membutuhkan.
Lagi-lagi pelajaran itu tidak hanya disampaikan dalam bentuk teori. Sepanjang hidupnya, sang ayah dikenal sebagai dermawan. Sering orangtua yang ingin memondokkan anaknya ke pesantren, tapi tak punya biaya, sowan kepada sang ayah. Maka bisa dipastikan, orang tersebut tidak akan pulang dengan tangan hampa. Hingga kini jejak kedermawanannya masih terlihat, berupa Pondok Pesantren Al-Muayyad dan Masjid Takmirul Islam, Tegalsari, yang merupakan amal jariyah almarhum. Bahkan Masjid Tegalsari, yang dibangun sekitar seabad silam, dan merupakan masjid swadaya masyarakat yang pertama di Solo itu, dibangun dengan sisa ongkos naik haji tiga orang ulama yang diberangkatkan dengan biaya Kiai Shofawi.
Konsisten sebagai pengasuh pondok pesantren, Kiai Rozaq sangat prihatin ketika akhir tahun lalu mendengar kabar adanya rencana untuk mendata sidik jari kaum santri. Maka dengan tegas mantan rais syuriah Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang Solo itu menolak. “Seharusnya pemerintah membaca sejarah. Sejak negeri ini belum berdiri, pesantren selalu berdiri di barisan terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dan setelah merdeka, kaum santri senantiasa mencintai dan membela tanah air dengan istiqamah,” kata Kiai Rozaq, yang sehari-hari biasa dipanggil Pak Dul.
Dalam sejarahnya, pesantren telah membuktikan diri sebagai lembaga pendidikan yang tangguh dan berhasil mendidik karakter para santri. Menurut Kiai Rozaq, kunci utamanya ialah keikhlasan para pengasuh dan pengajarnya. Sebab, kalangan pesantren menganggap bahwa ilmu – terutama ilmu agama – adalah amanah Allah yang muslim secara suka rela harus menyampaikan kepada setiap orang yang membutuhkannya.
Itulah sebabnya khittah pesantren Al-Muayyad ialah mendidik para santri – siapa pun orangnya. Maka tidak boleh ada kebijakan yang membuat seseorang terpaksa tidak jadi nyantri hanya gara-gara tidak mampu membayar biaya pendidikan. (AIS-Febuari 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar