Sang
Penerus Estafet KH. Moh. Hasyim Asy’ari
KH.
Moh. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama terkemuka yang sukses melahirkan kader-kader
ulama andal di seluruh Nusantara. Kedalaman ilmu, keluasan wawasan, dan
keikhlasan dalam berjuang mengantarkannya pada posisi pemimpin yang
kharismatik dan visioner. Maka, wajar kalau kehebatan dan darah biru Kiai
Hasyim menetes kepada anak cucunya. Selain Gus Dur, cucu Kiai Hasyim yang
mewarisi tetesan ilmu ‘salaf’ adalah Ishomuddin Hadziq yang akrab dipanggil
Gus Ishom.
|
Gus Ishom lahir pada 18 Juli 1965 dari pasangan Hj.
Khodijah binti KH. Moh. Hasyim Asy’ari dan Kiai Hadziq. Beliau merupakan putra
pertama dari tiga bersaudara tunggal ayah-ibu (Fahmi Amrullah dan Zakki).
Beliau dilahirkan di Kediri Jatim. Pada saat kelahirannya, Ibunya Hj. Khodijah
mengalami kesulitan. Secepatnya Kiai Hadziq sowan KH. Mahrus Ali meminta
minuman dan do’a. Kiai Mahrus Ali langsung datang sendiri saat proses
kelahirannya dan berdo’a agar Allah memberikan kemudahan dan kelancaran.
Alhamdulillah bayi lahir dengan selamat dan lancar. Kiai Mahrus Ali langsung
berkata “bayi ini akan menjadi anak yang shalih” seraya memberi nama bayi itu
dengan “Ishomuddin” artinya orang yang mampu menjaga agama. Kiai Mahrus Ali
yakin bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang besar yang mampu menyebarkan
dakwah Islam dan mampu meneruskan estafet kepemimpinan kakeknya,
Hadlratusysyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari.
Pada waktu kecilnya, kelebihan Gus Ishom sudah
kelihatan. Rajin, disiplin, sopan santun dan menunjukkan minat yang besar pada
ilmu pengetahuan. Pada usia sekitar 4 tahun, Gus Ishom sudah membaca berita di
Koran Duta Masyarakat, sebuah tradisi yang tidak lazim bagi anak seusia 4
tahun. Sejak kecil, Gus Ishom disayang Kiai Idris Kamali (menantu Hadlratus
Syekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari) yang terkenal alim dan wara’. Gus Ishom selalu
mengerjakan shalat maghrib tepat waktu dan persis dibelakang Kiai Idris.
Menurut banyak orang, itulah salah satu factor yang membuat Gus Ishom
dikaruniai otak cerdas dan daya ingat yang luar biasa. Gus Ishom mampu
menangkap pelajaran dengan cepat dan mengingatnya dengan baik. Konon cerita,
Kiai Ihsan Jampes (seorang kiai terkenal pengarang kitab Sirojut Tholibin,
Syarah Kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghozali) selalu datang ke
Tebuireng untuk menemuai Gus Ishom dan memberinya uang seratus rupiah.
Cerita menarik lainnya, sejak berusia sekitar 7
tahun, ketika duduk di kelas 2 SD, pada waktu Ramadlan Gus Ishom selalu
mengerjakan sholat tarawih dengan tuntas dari awal sampai selesai. Uniknya,
beliau selalu berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain. Ternyata hal
ini mempunyai tujuan, yakni mencari orang yang paling fasih bacaan qur’annya.
Setelah Ramadlan selesai, Gus Ishom minta izin kepada ibunya “Bu, aku ingin
ngaji al-Qur’an sama kiai ini” pinta Gus Ishom, ‘kenapa harus ke kiai ini’?
tanya ibunya, “Saya sudah mendengarkan semua bacaan imam shalat saat tarawih,
dan yang paling fasih bacaannya adalah kiai ini”. Jawab Gus Ishom. Mendengar
jawaban anaknya ini, Hj. Khodijah kaget, dan dengan legowo memberikan ijin.
Jadi sejak kecil, Gus Ishom sudah lihai dan cerdas
memilih guru yang betul-betul mendalam pengetahuan dan tinggi moralitasnya,
tidak sembarangan memilih guru. Karena pengaruh guru sangat besar dalam
menyukseskan pendidikan murid-muridnya.
Pendidikan
Pendidikan Gus Ishom mulai tingkat Ibtidaiyah,
Tsanawiyah sampai Aliyah diselesaikan di Tebuireng. Beliau selalu naik kelas
dengan nilai yang tinggi. Setelah selesai pada tahun 1981, beliau melanjutkan
studi di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur sampai tahun 1991 (sekitar
10 tahun). Lirboyo adalah pesantren yang sangat terkenal sebagai ‘gudang kitab
kuning’, dimana kedalaman dan ketajaman memahami kitab kuning dikaji dan
dikembangkan secara serius di pesantren ini.
Di Lirboyo inilah, cerita besar tentang Gus Ishom
terukir indah. Sejak bersinar di Pondok ini, figur Gus Ishom digadang-gadang
mampu menjadi pemimpin masa depan NU dan mampu mengembalikan kejayaan Pondok
Pesantren Tebuireng seperti masa kakeknya dulu yang mampu menelurkan kiai-kiai
alim hampir di seluruh pelosok Nusantara. Ekspose media terhadap figur Gus
Ishom sangat besar. Ekspektasi besar media dan masyarakat bukan berakhir dengan
kekecewaan. Gus Ishom benar-benar menempa diri dengan sungguh-sungguh di Pondok
ini.
Gus Ishom mendapat perhatian khusus dari KH. Mahrus
Ali. Beliau digembleng sendirian. Ada jadwal khusus mengaji antara Gus Ishom
dan KH. Mahrus Ali. Hal ini didorong agar salah satu ‘putra mahkota Tebuireng’
ini mampu meneruskan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yang sarat
dengan prestasi besar sebagai salah satu cikal bakal pondok pesantren di
Indonesia.
Gaung bersambut. Harapan besar KH. Mahrus Ali tidak
disia-siakan Gus Ishom. Beliau serius belajar untuk menguasai semua pelajaran
dari guru-gurunya. Beliau menunjukkan minat yang besar pada seluruh bidang,
fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, balaghoh, nahwu, dan lain-lain. Gus Ishom
mengaji hampir ke semua kiai di Lirboyo.
Ketika di Lirboyo ini, Gus Ishom langsung masuk
kelas 1 Aliyah karena lulus tes seleksi, sebuah prestasi awal yang sangat
membanggakan, karena sangat jarang orang bisa masuk langsung di kelas 1 Aliyah,
biasanya hanya bisa masuk di tingkat Ibdiyaiyah atau Tsanawiyah.
Pada saat awal-awal di Lirboyo ini, kelebihan Gus
Ishom belum kelihatan. Namun, menjelang tamat kelas III Aliyah, hampir semua
orang angkat topi padanya. Kecerdasan yang digabungkan dengan kekuatan daya
ingat yang luar biasa menjadikannya sebagai sosok yang unik, prestisius, dan
sulit tertandingi. Dari prestasi inilah, Gus Ishom sering menjadi delegasi
Pondok Pesantren Lirboyo di berbagai acara bahtsul masa’il diniyah di berbagai
pondok pesantren sebagai wahana ‘uji kemampuan dalam mengkaji dan mengasah
analisa dalam menjawab masalah’.
Di Lirboyo ini, Gus Ishom mendapat julukan “Mbah
Wali”, karena beliau tidak pernah hadats, selalu dalam keadaan suci, selalu
menjaga wudlu’ kapanpun dan dimanapun, sehingga kalau sholat tidak perlu
berwudlu’ lagi. Hebatnya lagi, Gus Ishom selalu membaca sholawat, bahkan saat
mengaji sekalipun. Dus, saat mengaji, tangan menulis makna yang diberikan Kiai
sebagaimana tradisi di pesantren, pikiran mencerna dan memahami keterangan dan
ulasan kiai, sedangkan mulutnya membaca sholawat.
Ketika musim Ramadlan tiba, Gus Ishom pergi ke
pondok-pondok lain untuk ‘pasanan’ seperti di Kewagean Kediri Jatim, Pesantren
Kaliwungu Kendal Jateng. Suatu waktu beliau pasanan bersama Gus Kafabih (putra
KH. Mahrus Ali) pasanan mengaji kitab Fathul Wahhab.
Melihat kelebihan dan kecermelangan Gus Ishom ini,
beliau pun menjadi pengajar (ustadz) di Pondok Lirboyo. Menurut penuturan murid
sekaligus sahabatnya Gus Umar Shahib, saat mengajar, Gus Ishom jarang membawa
kitab, beliau seakan hafal pelajaran yang diajarkannya, seperti fiqh, ushul
fiqh, balaghoh, dll. Keterangannya enak dicerna, mudah dipahami, bisa
mempermudah hal-hal sulit dan mempunyai muatan sastra yang tinggi. Selain itu,
beliau juga dipercaya sebagai mustahiq, bahkan termuda. Mustahiq adalah jabatan
yang mengharuskan seseorang bertanggung jawab penuh kondisi satu kelas,
sehingga harus menguasai semua mata pelajaran yang diajarkan di kelas tersebut.
Prestasi demi prestasi mengantarkan Gus Ishom
menduduki posisi RAIS AM M3HM (Majlis Musyawarah Madrasah Hidayatul
Mubtadi’in), sebuah lembaga yang membawahi seluruh kegiatan bahtsul masail di
pondok pesantren Lirboyo. Jabatan sebagai Rais Am ini sebagai lambang supremasi
dan otoritas bidang kitab kuning, disamping menunjukkan kemampuan di bidang
kepemimpinan dan management. Waktu itu, Gus Ishom sering menjadi moderator
acara bahtsul masa’il. Dengan cerdas, tangkas dan efektif, Gus Ishom mampu
memimpin jalannya bahtsul masail dengan enak dan segar. Setelah lama menjadi
moderator, posisinya naik sebagai tim perumus yang menyimpulkan permasalahan
yang ada dan merumuskan jawaban peserta.
Kuliah
Seakan tidak puas dengan ilmu yang didapatkannya, di
sela padatnya aktivitas yang harus dijalaninya, Gus Ishom menyempatkan diri
menimba dan mencari wacana baru di Perguruan Tinggi. Gus Ishom melanjutkan
studi di Universitas Islam Kediri (UNIK) yang sekarang berubah menjadi UNIKA
(singkatannya sama). Uniknya lagi, ketika kuliah di UNIK ini, Gus Ishom juga
mendaftarkan diri di Universitas Tribakti (Perguruan Tinggi yang berada
dinaungan Pondok Pesantren Lirboyo) dan di IKAHA (Institut Keislaman Hasyim
Asy’ari). Namun karena padatnya kegiatan, Gus Ishom hanya mampu menamatkan
studinya di UNIK saja.
Saat kuliah, Gus Ishom selalu mendapat nilai A.
Menurut dosennya, refrensi yang digunakan Gus Ishom tergolong unik.
Buku-bukunya rata-rata kuno (ejaan lama, sehingga sulit dibaca) yang luput dari
perhatian orang. Menurut adiknya Gus Zakki, hal ini karena Gus Ishom rajin
datang di pasar Loak untuk mencari buku-buku lama yang tidak ada di pasaran.
Buku-buku langka yang ditemukannya sangat membantu untuk menemukan ide dan
inspirasi baru, seperti dalam penyusunan skripsi. Inilah yang menjadi salah
satu alasan Gus Ishom mendapat tempat sendiri di kalangan para dosen. Setelah
selesai kuliah, Gus Ishom mendapat tawaran menjadi dosen dari pihak
universitas, namun Gus Ishom tidak berminat. Saat lulus dari UNIK ini secara
bersamaan Gus Ishom juga selesai menjalankan tugasnya sebagai seorang mustahiq
selama kurang lebih 6 tahun.
Kepribadian
Kepribadian yang terpancar dari Gus Ishom sangat
beragam dan penuh pesona. Beliau adalah orang yang tidak elitis, selalu akrab
dengan murid-muridnya. Beliau tidak merasa ada jarak dengan murid-muridnya.
Bahkan, ketika berbicara dengan murid-muridnya, Gus Ishom menggunakan bahasa
kromo inggil (bahasa jawa yang sangat halus) atau memakai bahasa Indonesia.
Beliau senang menolong murid-muridnya yang menghadapi kesulitan. Ketika ada
muridnya yang kurang jelas pelajaran di kelas, beliau menerangkan lagi di
kamar, tidak ada kesan ‘jual mahal’.
Gus Ishom adalah seorang low profile. Penampilannya
apa adanya, tidak terlalu mencolok, sangat sederhana. Walaupun mampu membeli
barang-barang mahal, namun beliau lebih menyukai kesederhanaan. Beliau terbiasa
memakai sepeda mini jelek, pespa buntut, dan hal-hal yang menurut kebanyakan
orang sangat remeh dan tidak pantas dipakai oleh seorang kiai atau gus. Gus
Ishom cuek, tidak pusing dengan guncingan orang. Beliau selalu percaya diri dan
sangat yakin dengan apa yang dilakukannya.
Seringkali ketika diundang pada acara pengajian,
sandal yang dibawa tidak pas, sisihan istilah orang Jawa, satu merah satu
hijau. Bahkan pernah ketika memberikan pengajian, sandalnya diambil orang.
Akhirnya beliau pulang sambil nyeker (tanpa alas kaki).
Kedalaman ilmu dan kematangan dirinya membuat Gus
Ishom menjadi sosok yang enak dan menawan, tidak senang menjadi beban orang
lain dan sebisa mungkin membantu dan membahagiakannya. Dalam keluarga, ketika
Gus Ishom marah, tidak pernah berbuntut panjang sehingga cepat selesai. Ketika
ada masalah dan beliau tidak setuju, lebih memilih tidak berkomentar dan tidak
ikut cawe-cawe.
Beliau fleksibel, tidak terlalu fanatic, moderat dan
terbuka. Namun, dalam memegang prinsip hidup pada sesuatu yang diyakini
kebenarannya beliau perjuangkan semaksimal mungkin, seperti tidak ada yang
mampu menahannya. Misalnya ketika beliau sedang sakit, ada undangan pengajian
di Cilacap, Pak Yusuf Hasyim melarangnya untuk menghadiri acara pengajian atau
diskusi, namun karena sudah janji, beliau tetap pergi walau dalam keadaan
sakit. Ini tidak lepas dari tanggung jawab besarnya pada umat. Gus Ishom lebih
mementingkan kepentingan umat dari pada kepentingannya sendiri.
Dalam menyampaikan ilmu, beliau menghindari kesan
menggurui. Obyektivitas, kerendahdirian, dan kejujuran ilmiah sangat dijunjung
tinggi. Beliau bukan sosok yang obsesif, ambisius, dan meledak-ledak.
Penyampaiannya datar, suaranya enak dan mudah dicerna, dan joke-jokenya
mengalir dengan segar.
Hal lain yang menarik digarisbawahi dari Gus Ishom
adalah beliau jarang menggunjingkan aib orang lain. Kalau ada orang yang
menggunjing aib orang lain, beliau lebih memilih diam atau menghindar. Kalau
beliau ikut, hanya dalam batas yang sangat proporsional, tidak berlebih-lebihan
dan disana ada unsur ta’dib (mendidik).
Dalam melangkah, Gus Ishom tidak tergesa-gesa,
santai. Beliau mempunyai perhitungan dan pertimbangan yang matang dan tepat.
Kesabaran, kedewasaan, kearifan dan kebijaksanaan Gus Ishom selalu terpancar
dalam sikap perilakunya.
Penghormatannya kepada guru sangat besar. Ketika
salah satu gurunya KH. Idris Marzuki menyuruhnya tidak ada kata tidak, pasti
dilaksanakan. Hal ini tidak hanya ketika menjadi santri, ketika menjadi orang
terkenal, penghormatan terhadap gurunya tidak berubah.
Setelah lama menempa diri di Lirboyo, akhirnya Gus
Ishom boyong, kembali ke daerah asalnya, Tebuireng Jombang pada tahun 1991
dengan segenap ekspektasi yang tinggi dari masyarakat dan dengan segenap
tanggung jawab besar yang menunggunya di Tebuireng.
Karir
Status darah biru yang diimbangi dengan
kecermelangan dan kematangan menempatkan Gus Ishom sebagai the rising star bak
roket yang meluncur cepat ke angkasa. Tidak lama setelah kembali ke Tebuireng,
berbagai aktivitas internal dan eksternal dijalani dengan intensitas yang
tinggi. Mobilitas Gus Ishom semakin padat, selain harus mengajar di pesantren
dan madrasah, ceramah diberbagai tempat, mengisi acara diskusi, seminar dan sejenisnya
diberbagai forum ilmiah, juga aktivitasnya dibidang keorganisasian yang menyita
banyak waktu.
Akhirnya, dalam usia yang relatif muda,
jabatan-jabatan strategis disandangnya, antara lain :
1. Salah satu pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng
Jombang, peninggalan kakeknya
Hadratussyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari
2. Pengasuh Pondok Pesantren al-Masruriyah (khusus
putri) Tebuireng Jombang,
depannya Pondok Tebuireng
3. Rais Syuriyah PWNU Jatim
4. Wakil Ketua RMI Pusat (Rabithah Ma’ahid
Islamiyah, asosiasi pondok pesantren
seluruh Indonesia)
5. Politisi PPP meneruskan karir ibunya, bahkan
pernah menjadi anggota DPRD Jombang
6. Dan lain-lain
Karya
Tidak seperti seorang kiai di Indonesia yang miskin
karya, Gus Ishom sangat kelihatan dan menonjol dibidang ini. Beliau adalah
seorang penulis andal di berbagai media masa, Nasional maupun local. Tulisan
dalam bentuk opini, essai, cerpen, dan lain sebagainya tidak terhitung. Khusus
dalam bidang sastra, Gus Ishom mempunyai keunikan sendiri. Bahasanya yang khas,
dan sentuhan spiritualitasnya yang tinggi membuat sastra Gus Ishom bernilai
tinggi. Kemampuan sastra Gus Ishom ini dilatarbelakangi oleh kesenangannya
dalam bidang balaghoh, terutama bab badi’ yang bermuatan sastra tinggi.
Penulis ketika menghadiri bedah buku “Kun Fayakun”
di Aula Pondok pesantren Tebuireng, dimana Gus Ishom menjadi salah satu nara
sumbernya, beliau tampil memukai dengan data-data yang segar dan ilmiah. Waktu
diskusi itu, Gus Ishom menceritakan Kiai Hasyim ketika menjenguk istrinya, Hj.
Khodijah, ibu Gus Ishom di rumah sakit Sumobito Jombang. Saat Kiai Hasyim
melilhat ada sebuah gereja di sebelah rumah sakit yang ada kentongannya.
Selepas istrinya pulang dari rumah sakit, Kiai Hasyim memberikan fatwa haramnya
menggunakan kentongan di Masjid atau tempat ibadah lainnya, seperti Musholla.
Yang dibolehkan hanya geduk. Namun, Kiai Anwar Pasulgowang tidak sepakat dengan
pendapat Kiai Hasyim. Mereka kemudian berdiskusi, beradu argumentasi dan
berpolemik lewat lisan maupun tulisan. Kiai Hasyim mengarang kitab “al-Jasus fi
Ahkamin Nuqush”, yang membahas haramnya kentongan karena ada unsure tasyabbuh
(menyerupai) orang Kristen, sedangkan Kiai Anwar konsisten dengan pandangan
bolehnya kentongan karena sudah menjadi tradisi (adat) dan tidak ada
pengaruhnya terhadap agama dan kepercayaan seseorang. Ia murni ikhbar
(pemberitahuan) kepada masyarakat. Cerita-cerita unik semacam inilah yang
mengasah kemampuan Gus Ishom membuat karya sastra semacam cerpen dan
sejenisnya.
Ketika diundang dalam forum diskusi, beliau juga
membuat makalah ilmiah yang argumentatif. Sayang, tulisan Gus Ishom diberbagai
media masa dan makalah di berbagai forum tidak terdokumentasi dengan baik.
Hanya naskah buku dan kitab yang dapat dinikmati hingga sekarang.
Diantara karya-karya Gus Ishom adalah :
1. Irsyadul Mukmimin
2. Audlohul Bayan fima Yata’allaqu bi Wadloifi
Ramadhan
3. Miftahul Falah fi Ahaditsi al-Nikah
4. Biografi Kiai Hasyim Asy’ari
5. Tulisan di berbagai media masa dan makalah di
berbagai forum diskusi
Menemukan Karya Hadlaratussyekh KH. Moh. Hasyim
Asy’ari
Salah satu prestasi penting yang ditelurkan Gus
Ishom adalah keberhasilannya menemukan karya-karya orisinil kakeknya, guru
besar umat Islam Indonesia HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari.
Bahkan sejak di Lirboyo menurut Gus Umar Shohib, Gus
Ishom sudah rajin mencari, mengumpulkan, dan mensistematisir karya-karya
HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari untuk dijadikan dokumen yang bisa
disebarluaskan. Cuman ketika di Lirboyo Gus Ishom belum sempat menerbitkannya.
Baru ketika kembali ke Tebuireng, karya-karya HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim
Asy’ari yang sangat berharga bagi komunitas NU khususnya dan umat Islam umumnya
dapat diterbitkan untuk umum.
Gus Ishom mendapatkan karya HadlaratusSyekh KH. Moh.
Hasyim Asy’ari dengan perjuangan berat yang berliku-liku. Adakalanya beliau
mencari kepada murid-murid HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari atau diberi
naskah seseorang. Gus Ishom tidak menerima begitu naskah yang ada. Terlebih
dahulu beliau memohon kepada ulama yang alim dan mempunyai kedekatan dengan
HadlaratusSyekh KH. Moh. Hasyim Asy’ari untuk mentashih dan mentahqiq (meneliti
secara mendalam). Setelah itu, baru kitab tersebut diterbitkan.
Banyak karya Kiai Hasyim yang diterbitkan Gus Ishom.
Antara lain :
1. Adabul Alim wa al-Muta’llim, menjelaskan apa yang
dibutuhkan pelajar ditengah
proses studinya dan hal-hal yang berhubungan dengan
pengajar dalam proses
pengajarannya
2. Ziyadah al-Ta’liqat, buku untuk mematahkan
argumentasi Syekh Abdullah bin Yasin
al-Fasuruwani dalam kitab nadhomnya yang tidak
sepakat dengan pengikut
organisasi Nahdlatul Ulama
3. al-Tanbihat al-Wajibat, liman Yashna’u al-Maulida
bi al-Munkarat
4. al-Risalah al-Jami’ah, menjelaskan tentang
keadaan-keadaan orang-orang yang meninggal,
tanda-tanda kiamat, dan menjelaskan tentang Sunnah
dan bid’ah
5. al-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin,
menjelaskan pengertian cinta kepada
Rasulullah Saw. dan hal-hal yang berhubungan dengan
para pengikut dan
menghidupkan tradisinya
6. Hasyiyah Ala Fathirrahman bi Syarhi Risalah al-Wali
Ruslam li Syaikh Islam
Zakariyya al-Anshari
7. Dal-Durar al-Muntasirah fi al-Masail al-Tis’a
‘Asyarah, menjelaskan tentang masalah thoriqot,
kewaliyan, dan hal-hal yang berhubungan dengan
masalah-masalah penting bagi ahli thoriqot
8. al-Tibyan fi al-Nahyi an Muqotho’ati al-Ikhwan,
menjelaskan tentang pentingnya shilaturrahim
dan bahaya memutusnya
9. al-Risalah al-Tauhidiyyah, ini adalah kitab kecil
yang menjelaskan akidah
Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah
10. al-Qolaid fi Bayani ma yajibu min al-Aqoid
11. Dan masih banyak lainnya yang menunjukkan
keluasan pemikiran Kiai Hasyim.
Secara global semua karya Kiai Hasyim Asy’ari
sekarang dijadikan satu dengan nama “Irsyadus Sari” oleh adik Gus Ishom, Gus
Zakki. Kitab ini sudah beredar luas diberbagai tempat di Indonesia. Sehingga
sangat penting dibaca dan dipahami, khususnya kalangan NU.
Keluarga
Gus Ishom menikah dengan seorang santri dari Pondok
Pesantren Seblak asal Pacitan Jawa Timur, namanya Nia Daniati binti KH.
Muhammad Anwar. Dari pernikahan ini lahirlah satu orang putra bernama Muhammad
Hasyim Anta Maulana dan satu orang putri bernama La Tahzani Innallaha Ma’ana.
Menurut pengakuan mertuanya KH. Muhammad Anwar,
alumnus Pondok Pesantren Tebuireng, Gus Ishom adalah orang yang mampu membina
mahligai rumah tangga secara harmonis. Ketika sedang di rumah mertua di
Pacitan, Gus Ishom tidak makan kalau tidak bersama istri. Beliau siap menunggu
kadatangan Sang istri walau harus menunggu lama.
Walaupun menantunya, KH. Muhammad Anwar menganggap
Gus Ishom sebagai gurunya. Karena sejak di Tebuireng, ia selalu melihat Kiai
Idris mencium kening Gus Ishom selepas sholat. Dan tidak sembarang orang
keningnya bisa dicium Kiai Idris.
Wafatnya
Ditengah padatnya kegiatan yang dijalaninya, tidak
terasa Gus Ishom kurang perhatian terhadap kondisi kesehatan tubuhnya. Akhirnya
beliau jatuh sakit. Salah satu penyakitnya adalah asam urat. Ketika sudah
kelihatan sembuh, beliau kembali beraktivitas lagi yang memerlukan kesehatan
fisik prima.
Kemudian beliau jatuh sakit lagi, akhirnya dengan
takdir Allah setelah berobat lama, Allah mengambil ruh suci dari raga kiai
muda, sang penerus estafet keilmuan sang kakek pada hari sabtu 26 Juli 2003
sekitar pukul 06.30 WIB. di Rumah Sakit William Bunk Surabaya pada usia yang
masih sangat muda 37 tahun.
Masya Allah, wafatnya Gus Ishom menggemparkan Jawa
Timur. Halaman Pondok Pesantren Tebuireng sesak dengan zairin-zirat dari
berbagai penjuru Jatim, mulai para kiai, santri, murid, birokrasi, politisi dan
masyarakat umum.
Penulis yang berkesempatan mengikuti prosesi
pemakamannya sangat terharu, tidak kuat menahan air mata, ada perasaan
kehilangan besar atas meninggalkan Putra Mahkota Tebuireng yang sangat istimewa
ini.
Saat pemakaman ini, Allah menurunkan hujan sebagai
tanda bahwa Gus Ishom adalah hamba-Nya yang dicintai dan disayangi-Nya.
Semoga ruh Gus Ishom diterima disisi Allah,
ditinggikan derajatnya, diampuni dosanya, dan mendapatkan balasan yang
berlipat-lipat dari amal perbuatan yang dilakukannya di dunia, berupa
benih-benih kebaikan di masyarakat.
K.H. Abdul Rozaq Shofawi, Solo
Penerus Tradisi Penghafalan Al-Quran
Ia anak saudagar batik, tapi gaya hidupnya sederhana
dan dermawan. Tarekatnya pun sederhana: sangat peduli pada masalah halal-haram.
Solo, 1985. Sudah lebih dari seminggu isu penjualan
daging ayam – yang disembelih tidak Islami – merebak di tengah masyarakat, dan
meresahkan umat Islam. Apalagi ketika itu hampir semua ayam potong yang dijual
di pasar hanya berasal dari satu atau dua agen. Kegelisahan yang sama juga
mengusik seorang kiai pengasuh sebuah pesantren di Kota Bengawan itu. Tak
tinggal diam, ia segera bertindak. Setiap pukul dua dinihari, mengenakan
pakaian seperti orang kebanyakan, ia melamar bekerja di agen pemotongan ayam.
Dua jam kemudian ia kembali ke pesantren menjadi imam shalat Subuh.
Demikianlah, selama dua minggu sang kiai telah
menyembelih ribuan ekor ayam untuk dikonsumsi masyarakat. Kesempatan itu juga
ia manfaatkan untuk menularkan ilmu menyembelih sesuai dengan tuntunan syariat
Islam. Setelah yakin penyembelihan ayam yang dilakukan karyawan lain sudah
benar, ia pun mengundurkan diri sebagai tukang potong ayam.
Meski tampak sederhana, apa yang dilakukan sang kiai
sesungguhnya luar biasa. Dalam pandangannya sebagai ulama, halal-haramnya suatu
makanan bukan hal sepele. Sebab, di samping merupakan masalah hukum, hal itu
juga sangat berpengaruh pada upaya pembangunan mental seseorang. Hingga kini,
kepeduliannya terhadap persoalan halal-haram tetap kuat, bahkan menjadi salah
satu thariqah-nya.
Siapa si tukang potong ayam itu? Dialah K.H. Abdul
Rozaq Shofawi, kini 60 tahun, pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad,
Mangkuyudan, Solo.
Karena kepedulian itu pula Kiai Rozaq pernah
menghukum sejumlah santrinya gara-gara mereka mengambil telur di dapur asrama.
Bukan kerugian atas sejumlah telur yang dipersoalkannya, tapi status keharaman
telur sebagai hasil curian itulah yang membuatnya marah.
Ia putra pertama K.H. Ahmad Shofawi, seorang ulama
yang juga saudagar batik terkenal di Solo, sementara ibundanya adalah Siti
Musyarofah, putri K.H. Abdul Mannan, perintis Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Ibundanya wafat ketika melahirkan anak ketiga – yang kemudian meninggal sebulan
setelah sang ibu wafat. Sejak itu saudara kandung Kiai Rozaq tinggal adik
perempuannya, Siti Mariah, istri K.H. Ma’mun Muhammad Mura’i, yang kini tinggal
di Yogyakarta.
Perihal wafatnya sang ibu tak lepas dari cerita unik
ala pesantren. Pernikahan kedua orangtuanya adalah atas perintah K.H. Ma’shum,
Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ketika itu usia Musyarofah baru belasan, sementara
Shofawi – sahabat sang mertua semasa sama-sama nyantri – sudah sangat uzur.
Kakak sulung Musyarofah, K.H. Ahmad Umar Abdul Manan, sangat gundah, karena ia
berpikir adik perempuannya akan segera menjadi janda.
Maka Kiai Umar pun menemui gurunya, K.H. Manshur,
mursyid Thariqah Naqsybandiyah di Popongan, Klaten, Jawa Tengah. Baru saja ia
masuk, sang guru sudah lebih dulu berkata, “Berikan saja adikmu kepada Kiai
Shofawi dengan ikhlas. Insya Allah adikmu tidak akan jadi janda.” Ramalan itu
ternyata terbukti: justru Musyarofah yang wafat lebih dulu.
Tukang
Cat
Meski putra saudagar, sejak kecil Abdul Rozaq
memilih hidup prihatin. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia mencari bekal
dengan bekerja serabutan. Di sela-sela waktu belajarnya, ia pernah menjadi
tukang tambal ban di pinggiran jalan Kota Gudeg. Ia juga pernah bekerja di
sebuah bengkel mobil sebagai tukang cat dan mekanik.
Tak mengherankan, pengetahuannya tentang dunia
otomotif sangat dalam, bahkan di kalangan para kiai ia dikenal sebagai ahli
mesin. Karena itu, di sela-sela mengasuh pesantren, suami Hj. Hindun Susilowati
itu mempunyai hobi mengutak-atik mesin mobil. Itu sebabnya beberapa kiai sepuh
ada yang minta tolong untuk memperbaiki mobil mereka. Selama di Yogya, Kiai
Rozaq sempat belajar kepada K.H. Ali Ma’shum, pengasuh Ponpes Al-Munawwir
(Krapyak), K.H. Dr. Tholhah Manshur, pakar hukum tata negara Universitas Gajah
Mada, dan K.H. Masturi Barmawi, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
Ketika baru menikah, ayah lima anak itu menghidupi
keluarganya dengan berdagang es keliling, yang belakangan berkembang menjadi
home industry. Setelah mengasuh Al-Muayyad, Kiai Rozaq sekeluarga hijrah ke
kompleks Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Dipercaya meneruskan mengasuh pesantren Al-Quran
membuat Kiai Rozaq merasa perlu meneruskan tradisi penghafalan kitab suci itu
kepada putra-putrinya. Maka sejak kecil, putra-putrinya, yaitu Hj. Ari
Hikmawati, H. Faishol Arif, H. Kholid, Hj. Himmatul Aliyah, dan Hj. Nailil
Muna, dibiasakan menghafal Al-Quran. Bahkan, sebagai motivator, Kiai Rozaq
selalu menyediakan hadiah setiap kali mereka berhasil menambah hafalan satu
juz. Jangan heran, di usia muda mereka telah menjadi hufazhul Quran, penghafal
Al-Quran.
Sejak masih muda, Kiai Rozaq sering diajak pamannya,
Kiai Umar, mendiskusikan masalah kepengurusan pesantren. Satu hal yang ia
kenang: sang paman selalu mendorongnya untuk melakukan inovasi, sementara sang
paman hanya mengawasi sambil sesekali mengingatkan jika langkah yang ditempuh
kemenakannya kurang sesuai dengan pikirannya.
Kepemimpinan yang bijak itu sangat membekas di hati
Kiai Rozaq, sehingga di belakang hari ia juga selalu memberi kebebasan kepada
stafnya untuk melakukan inovasi, sepanjang tidak bertentangan dengan
garis-garis besar kebijakan pesantren. Ia begitu sabar membiarkan pengurus
pesantren, yang rata-rata masih muda, mengutak-atik sistem kepengurusan dan
membuat forum untuk mengkritisi sistem yang sedang berjalan.
Guru lain yang juga sempat menanamkan kearifan dalam
diri Kiai Rozaq ialah ulama kharismatik yang tinggal di Mangli, sebuah desa
kecil di lereng Gunung Merbabu, Kiai Hasan Asykari, yang lebih dikenal dengan
panggilan Mbah Mangli. Sekitar tahun 1977-1980, ia mengaji sekaligus berkhidmah
kepada tokoh yang pengajian mingguannya selalu dihadiri ribuan orang itu.
Selama tiga tahun, setiap minggu, Kiai Rozaq
mengendarai sepeda motor menempuh perjalanan Solo-Mangli. Cukup jauh, karena
Mangli terletak di wilayah Ngablak, Magelang. Jadwal pertemuan mingguan itu
bertambah jika tiba-tiba Mbah Mangli memanggilnya untuk suatu keperluan. Sering
Kiai Rozaq, yang kemudian dipercaya sebagai sopir pribadi sang guru,
diperintahkan mengantar Mbah Mangli keliling Jawa selama seminggu penuh.
Ketika berkhidmah kepada ulama kharismatik tersebut,
banyak pelajaran berharga yang didapatnya. “Ternyata Mbah Mangli benar-benar
ulama yang dianugerahi kasyaf oleh Allah. Beliau weruh sak durunge winarah,”
katanya.
Maksudnya, sudah tahu sebelum suatu peristiwa
terjadi. Pernah suatu ketika Kiai Rozaq diminta mengikuti sang guru ke suatu
tempat. Sebelum berangkat, Mbah Mangli minta muridnya itu menempuh rute memutar
jalan – rute yang tidak biasa. Menganggap jarak yang akan ditempuh semakin
jauh, Kiai Rozaq memberanikan diri mengusulkan rute yang biasa. Karena Mbah
Mangli diam saja, ia pun menempuh jalur biasa yang lebih singkat. Namun, di
suatu tempat, perjalanan terpaksa terhenti karena jembatan yang harus mereka
lewati baru saja ambrol.
Menurut penduduk setempat, diperkirakan waktu
ambrolnya jembatan bersamaan dengan perintah Mbah Mangli kepada Kiai Rozaq
untuk menempuh jalur memutar. Maka sang murid pun segera menyadari
kesalahannya, dan minta maaf.
Santri
Kesayangan
Setelah genap tiga tahun, Kiai Rozaq menyelesaikan
pengajian – sesuai perintah sang guru. Hal ini pun sepertinya merupakan isyarat
sang guru, karena tak lama kemudian K.H. Ahmad Umar, pendiri dan pengasuh
pertama Ponpes Al-Muayyad, wafat. Karena almarhum tidak berputra, para kiai
sepuh memerintahkan Abdul Rozaq – kemenakan tertua almarhum, yang memang sudah
lama dibimbing oleh Kiai Umar – untuk mengasuh Ponpes Al-Muayyad. Padahal
ketika itu usianya baru 36 tahun, terbilang masih cukup muda untuk memikul
amanat kepengasuhan yang cukup berat.
Dalam tradisi pesantren, kedekatan seorang santri
dengan ulama kharismatik, apalagi menjadi santri kesayangan, merupakan sebuah
keistimewaan. Dalam beberapa hal, posisi seperti itu sering kali juga menjadi
semacam pengakuan atas kapasitas dan integritas si santri.
Dari Mbah Mangli, selain mengaji ilmu agama, Kiai
Rozaq juga belajar ilmu kedermawanan. Menurutnya, dalam hal yang satu ini sang
guru terbilang sangat luar biasa. Ia tidak pernah menolak pengemis yang datang
meminta-minta. Dan, sebagaimana ajaran agama, sang guru selalu menasihati bahwa
sedekah tidak pernah membuat seseorang menjadi miskin. Bahkan sebaliknya,
dengan bersedekah, harta seseorang malah berlipat ganda karena berkah.
Namun, Kiai Rozaq sendiri mengakui, menjadi seorang
dermawan bukan hal yang mudah. “Persoalan terbesar yang selalu menghadang orang
yang ingin menjadi dermawan ialah penyakit hubbud dun-ya, terlalu cinta materi.
Penyakit ini sangat berbahaya, karena bisa mematikan hati seseorang,” katanya.
“Kerusakan moral yang melanda banyak pemimpin negeri ini berawal dari hubbud
dun-ya itu. Ini bertolak belakang dengan contoh-contoh yang diajarkan oleh
tokoh-tokoh Islam generasi awal,” tambahnya.
Jauh sebelumnya, pengalaman paling berharga mengenai
kedermawanan itu didapatnya dari sang ayah, Kiai Shofawi. Saudagar batik yang
kaya di Tegalsari, Solo, itu selalu menasihati putra-putrinya bahwa orang kaya
harus menjadi semacam keran, yang selalu mengucurkan air bagi setiap orang yang
membutuhkan.
Lagi-lagi pelajaran itu tidak hanya disampaikan
dalam bentuk teori. Sepanjang hidupnya, sang ayah dikenal sebagai dermawan.
Sering orangtua yang ingin memondokkan anaknya ke pesantren, tapi tak punya
biaya, sowan kepada sang ayah. Maka bisa dipastikan, orang tersebut tidak akan
pulang dengan tangan hampa. Hingga kini jejak kedermawanannya masih terlihat,
berupa Pondok Pesantren Al-Muayyad dan Masjid Takmirul Islam, Tegalsari, yang
merupakan amal jariyah almarhum. Bahkan Masjid Tegalsari, yang dibangun sekitar
seabad silam, dan merupakan masjid swadaya masyarakat yang pertama di Solo itu,
dibangun dengan sisa ongkos naik haji tiga orang ulama yang diberangkatkan
dengan biaya Kiai Shofawi.
Konsisten sebagai pengasuh pondok pesantren, Kiai
Rozaq sangat prihatin ketika akhir tahun lalu mendengar kabar adanya rencana
untuk mendata sidik jari kaum santri. Maka dengan tegas mantan rais syuriah
Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang Solo itu menolak. “Seharusnya pemerintah
membaca sejarah. Sejak negeri ini belum berdiri, pesantren selalu berdiri di
barisan terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dan setelah merdeka, kaum
santri senantiasa mencintai dan membela tanah air dengan istiqamah,” kata Kiai
Rozaq, yang sehari-hari biasa dipanggil Pak Dul.
Dalam sejarahnya, pesantren telah membuktikan diri
sebagai lembaga pendidikan yang tangguh dan berhasil mendidik karakter para
santri. Menurut Kiai Rozaq, kunci utamanya ialah keikhlasan para pengasuh dan
pengajarnya. Sebab, kalangan pesantren menganggap bahwa ilmu – terutama ilmu
agama – adalah amanah Allah yang muslim secara suka rela harus menyampaikan
kepada setiap orang yang membutuhkannya.
Itulah sebabnya khittah pesantren Al-Muayyad ialah
mendidik para santri – siapa pun orangnya. Maka tidak boleh ada kebijakan yang
membuat seseorang terpaksa tidak jadi nyantri hanya gara-gara tidak mampu
membayar biaya pendidikan. (AIS-Febuari 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar