Lahir
di Blega Bangkalan, Madura pada 23 Maret 1924. Wafat 7 Februari 1989. Dimakamkan
di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Madrasah Muallimin Jagalan,
Ponpes Darul Hadits Malang, Putra/Putri 11 Orang.
|
Perjuangan/Pengabdian
:
Ketua GP Ansor Cabang Malang, Komandan Laskar
Sabilillah di Malang, Bintal TNI Kodam V Brawijaya, dengan pangkat terakhir
Mayor, Kepala SMP Islam Jl. Kartini Malang, Merintis berdirinya Universitas NU
(UNU), yang merupakan cikal bakal berdirinya Unsuri (Universitas Sunan Giri,
dan dikembangkan menjadi Unisma), Rektor Unisma, Perintis Fakultas Tarbiyah PTAIN
Jogya di Malang yang kemudian berubah menjadi UIIS Malang-, Ketua MUI Kota
Malang, Ketua Takmir Masjid Agung Jami’ Malang.
Perintis
Unisma, Menguasai Empat Bahasa
Bila kita melihat kemegahan Gedung Universitas Islam
Malang (Unisma) di Jalan MT. Haryono 193 Malang, mengingatkan pada sosok nama
besar KH. Oesman Mansoer. Memang, Kiai kelahiran 23 Maret 1924 di Blega
(Bangkalan, Madura) ini merupakan salah satu perintis dan pendiri perguruan
tinggi, yang menjadi kebanggaan warga nahdliyin, khususnya masyarakat Malang.
Secara khusus, putra pertama dari tiga bersaudara,
masing-masing KH. Oesman Mansoer, KH. Prof. Dr. M. Tholhah Mansoer, dan
Mardiyah dari pasangan H. Raden Jalaluddin Krama Asmara dan Hj. Nur Chodijah,
(Madura), yang masih ada garis keturunan dengan Adikara IV ini, hanya mengeyam
pendidikan formal di Madrasah Muallimin Jagalan, yang dirintis KH Nachrowi
Thohir. Beliau hijrah ke Malang sekitar tahun 1930 dan menetap di Jl Prof Moh.
Yamin (belakang Masjid Noor Kidul Pasar).
Sedangkan pendalaman ilmu agama lebih banyak
diperoleh dari Habib Abdul Qodir bil Faqih, Pengasuh Ponpes Darul Hadits Jl
Aries Munandar Malang. Bahkan, Kiai Oesman termasuk santri khusus yang
mendalami ilmu fiqih dan Thoriqot Alawiyah. Selain itu, setiap bulan Ramadan
tabarrukan (nyantri) ke Hadratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH Wahab
Chasbullah, Jombang.
Meski hanya mengenyam pendidikan di Muallimin, namun
Kiai yang bercita-cita jadi seorang guru ini menguasai empat bahasa.
Diantaranya, Bahasa Arab, Belanda, Inggris, dan Bahasa Latin. Sekitar tahun
1940-1942, Kiai yang masih keponakan KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo ini
ditugaskan NU untuk mengajar di Madrasah NU di Pudakit, Kecamatan Sangkapura,
Bawean.
Sewaktu Jepang masuk Indonesia, dia pulang ke
Malang. Sejak itu, mulai aktif di organisasi kepemudaan Ansor. Bahkan, menjadi
Ketua GP Ansor Cabang Malang, menjadi Komandan Laskar Sabilillah di Malang pada
1949, dan sempat menjadi tangan kanan KH Masykur, Panglima Sabilillah.
Cita-citanya untuk mengabdi di dunia pendidikan
terus belanjut, sekitar tahun 1955, Kiai berputra 11 orang dari pasangan Hj.
Fathonah, cucu KH. A. Ghoni Surabaya ini menjadi Kepala SMP Islam Jl. Kartini
Malang. Kemudian bersama KH. Ghozali dan Prof. M. Khusnu merintis berdirinya
Universitas NU (UNU), yang merupakan cikal bakal berdirinya Unsuri (Universitas
Sunan Giri, yang pada 1981 berubah menjadi Unisma, dan beliau menjadi rektornya
hingga 1989). Selain itu, beliau juga mendirikan cabang Fakultas Tarbiyah PTAIN
Jogya di Malang, (yang kemudian dikembangkan menjadi STAIN Malang, dan kini
berubah menjadi UIIS) yang pada 1963-1972 menjabat sebagai dekan.
“Selain mengabdi di dunia pendidikan, pada 1972 ayah
juga berkeinginan mendirikan Pesantren Luhur atau Ma’had Ali, semacam pasca
sarjana pondok pesantren, yang sekarang dikembangkan di Pesantren Luhur
Sumbersari oleh H. Muhdor Ahmad,” kata M. Fatich, PR III Unisma, putra kelima
Kiai Oesman.
Setelah pensiun dari dinas Bimbingan Mental (Bintal)
TNI di Kodam V Brawijaya pada 1979, dengan pangkat terakhir Mayor, Kiai Oesman,
yang masih kerabat dekat dengan R. Hartono, mantan KSAD, dan R. Wardiman
Djojonegoro, mantan Mendikbud waktu itu, dipercaya menjadi Ketua MUI Kota
Malang dan Ketua Takmir Masjid Agung Jami’ Malang hingga akhir hayatnya.
Sebenarnya, beliau pernah dicalonkan menjadi Bupati Lumajang, tapi tidak mau.
Beliau lebih memilih mengabdi di dunia pendidikan.
Dalam mendidik putra-putrinya, kata Fatich, Kiai
pengagum Mahmud Salthut, Rektor Al Azhar Mesir ini sangat demokratis. “Asal
bekal pengetahuan agamanya dinilai cukup, putra-putrinya diberi kebebasan untuk
menentukan cita-cita dan profesi yang akan ditekuni,” ujarnya.Bahkan, dalam
masalah keagamaan, Kiai Oesman lebih moderat, namun sangat hati-hati. Sebelum
Gus Dur mengajar di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sukun, Kiai yang tekun
shalat Dhuha ini sudah mengajar masalah Islamologi dan Kristologi pada
calon-calon pendeta di GKJW sekitar tahun 1967-1974. Sekitar tahun 1958, beliau
diminta Markas Besar (Mabes) TNI AD untuk membuat rumusan penafsiran Pancasila
dari tinjauan Islam, yang dipaparkan dalam seminar AD pertama pada 1958.
“Jadi, sebelum orang-orang meramaikan masalah azas
tunggal, Kiai Oesman sudah mempunyai konsep tersebut, hingga kemudian muncul
pemikiran KH. Ahmad Shidiq tentang hubungan Islam dengan Pancasila. Sayangnya,
waktu itu tidak sempat dibukukan pemikiran beliau,” kata Drs. H. Nur Chozin
Iskandar, santri Kiai Oesman, yang juga salah satu Pengasuh Ponpes Kampus Ainul
Yaqin Unisma.
Beberapa santri beliau lainnya, diantaranya Drs. H.
Dahlan Tamrin M.Ag, H. Imam Chambali, SmHk, Ghaffar Rahman, dan Ketua Umum PBNU
KH Drs. A. Hasyim Muzadi, yang juga menjadi pembimbing sewaktu Pengasuh Ponpes
Al Hikam itu menyusun skripsi. Beliau wafat pada 7 Februari 1989 dan di
makamkan di pemakaman umum Kasin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar