Penerus Tradisi Penghafalan Al-Quran
Ia anak saudagar batik, tapi gaya hidupnya sederhana
dan dermawan. Tarekatnya pun sederhana: sangat peduli pada masalah halal-haram.
Solo, 1985. Sudah lebih dari seminggu isu penjualan daging
ayam – yang disembelih tidak Islami – merebak di tengah masyarakat, dan
meresahkan umat Islam. Apalagi ketika itu hampir semua ayam potong yang dijual
di pasar hanya berasal dari satu atau dua agen. Kegelisahan yang sama juga
mengusik seorang kiai pengasuh sebuah pesantren di Kota Bengawan itu. Tak
tinggal diam, ia segera bertindak. Setiap pukul dua dinihari, mengenakan
pakaian seperti orang kebanyakan, ia melamar bekerja di agen pemotongan ayam.
Dua jam kemudian ia kembali ke pesantren menjadi imam shalat Subuh.
Demikianlah, selama dua minggu sang kiai telah
menyembelih ribuan ekor ayam untuk dikonsumsi masyarakat. Kesempatan itu juga
ia manfaatkan untuk menularkan ilmu menyembelih sesuai dengan tuntunan syariat
Islam. Setelah yakin penyembelihan ayam yang dilakukan karyawan lain sudah
benar, ia pun mengundurkan diri sebagai tukang potong ayam.
Meski tampak sederhana, apa yang dilakukan sang kiai
sesungguhnya luar biasa. Dalam pandangannya sebagai ulama, halal-haramnya suatu
makanan bukan hal sepele. Sebab, di samping merupakan masalah hukum, hal itu
juga sangat berpengaruh pada upaya pembangunan mental seseorang. Hingga kini,
kepeduliannya terhadap persoalan halal-haram tetap kuat, bahkan menjadi salah
satu thariqah-nya.
Siapa si tukang potong ayam itu? Dialah K.H. Abdul
Rozaq Shofawi, kini 60 tahun, pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad,
Mangkuyudan, Solo.
Karena kepedulian itu pula Kiai Rozaq pernah
menghukum sejumlah santrinya gara-gara mereka mengambil telur di dapur asrama.
Bukan kerugian atas sejumlah telur yang dipersoalkannya, tapi status keharaman
telur sebagai hasil curian itulah yang membuatnya marah.
Ia putra pertama K.H. Ahmad Shofawi, seorang ulama
yang juga saudagar batik terkenal di Solo, sementara ibundanya adalah Siti
Musyarofah, putri K.H. Abdul Mannan, perintis Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Ibundanya wafat ketika melahirkan anak ketiga – yang kemudian meninggal sebulan
setelah sang ibu wafat. Sejak itu saudara kandung Kiai Rozaq tinggal adik
perempuannya, Siti Mariah, istri K.H. Ma’mun Muhammad Mura’i, yang kini tinggal
di Yogyakarta.
Perihal wafatnya sang ibu tak lepas dari cerita unik
ala pesantren. Pernikahan kedua orangtuanya adalah atas perintah K.H. Ma’shum,
Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ketika itu usia Musyarofah baru belasan, sementara
Shofawi – sahabat sang mertua semasa sama-sama nyantri – sudah sangat uzur.
Kakak sulung Musyarofah, K.H. Ahmad Umar Abdul Manan, sangat gundah, karena ia
berpikir adik perempuannya akan segera menjadi janda.
Maka Kiai Umar pun menemui gurunya, K.H. Manshur,
mursyid Thariqah Naqsybandiyah di Popongan, Klaten, Jawa Tengah. Baru saja ia
masuk, sang guru sudah lebih dulu berkata, “Berikan saja adikmu kepada Kiai
Shofawi dengan ikhlas. Insya Allah adikmu tidak akan jadi janda.” Ramalan itu
ternyata terbukti: justru Musyarofah yang wafat lebih dulu.
Tukang
Cat
Meski putra saudagar, sejak kecil Abdul Rozaq
memilih hidup prihatin. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia mencari bekal
dengan bekerja serabutan. Di sela-sela waktu belajarnya, ia pernah menjadi tukang
tambal ban di pinggiran jalan Kota Gudeg. Ia juga pernah bekerja di sebuah
bengkel mobil sebagai tukang cat dan mekanik.
Tak mengherankan, pengetahuannya tentang dunia
otomotif sangat dalam, bahkan di kalangan para kiai ia dikenal sebagai ahli
mesin. Karena itu, di sela-sela mengasuh pesantren, suami Hj. Hindun Susilowati
itu mempunyai hobi mengutak-atik mesin mobil. Itu sebabnya beberapa kiai sepuh
ada yang minta tolong untuk memperbaiki mobil mereka. Selama di Yogya, Kiai
Rozaq sempat belajar kepada K.H. Ali Ma’shum, pengasuh Ponpes Al-Munawwir
(Krapyak), K.H. Dr. Tholhah Manshur, pakar hukum tata negara Universitas Gajah
Mada, dan K.H. Masturi Barmawi, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
Ketika baru menikah, ayah lima anak itu menghidupi
keluarganya dengan berdagang es keliling, yang belakangan berkembang menjadi
home industry. Setelah mengasuh Al-Muayyad, Kiai Rozaq sekeluarga hijrah ke
kompleks Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Dipercaya meneruskan mengasuh pesantren Al-Quran
membuat Kiai Rozaq merasa perlu meneruskan tradisi penghafalan kitab suci itu
kepada putra-putrinya. Maka sejak kecil, putra-putrinya, yaitu Hj. Ari
Hikmawati, H. Faishol Arif, H. Kholid, Hj. Himmatul Aliyah, dan Hj. Nailil
Muna, dibiasakan menghafal Al-Quran. Bahkan, sebagai motivator, Kiai Rozaq
selalu menyediakan hadiah setiap kali mereka berhasil menambah hafalan satu
juz. Jangan heran, di usia muda mereka telah menjadi hufazhul Quran, penghafal
Al-Quran.
Sejak masih muda, Kiai Rozaq sering diajak pamannya,
Kiai Umar, mendiskusikan masalah kepengurusan pesantren. Satu hal yang ia
kenang: sang paman selalu mendorongnya untuk melakukan inovasi, sementara sang
paman hanya mengawasi sambil sesekali mengingatkan jika langkah yang ditempuh
kemenakannya kurang sesuai dengan pikirannya.
Kepemimpinan yang bijak itu sangat membekas di hati
Kiai Rozaq, sehingga di belakang hari ia juga selalu memberi kebebasan kepada
stafnya untuk melakukan inovasi, sepanjang tidak bertentangan dengan
garis-garis besar kebijakan pesantren. Ia begitu sabar membiarkan pengurus
pesantren, yang rata-rata masih muda, mengutak-atik sistem kepengurusan dan
membuat forum untuk mengkritisi sistem yang sedang berjalan.
Guru lain yang juga sempat menanamkan kearifan dalam
diri Kiai Rozaq ialah ulama kharismatik yang tinggal di Mangli, sebuah desa
kecil di lereng Gunung Merbabu, Kiai Hasan Asykari, yang lebih dikenal dengan
panggilan Mbah Mangli. Sekitar tahun 1977-1980, ia mengaji sekaligus berkhidmah
kepada tokoh yang pengajian mingguannya selalu dihadiri ribuan orang itu.
Selama tiga tahun, setiap minggu, Kiai Rozaq
mengendarai sepeda motor menempuh perjalanan Solo-Mangli. Cukup jauh, karena
Mangli terletak di wilayah Ngablak, Magelang. Jadwal pertemuan mingguan itu
bertambah jika tiba-tiba Mbah Mangli memanggilnya untuk suatu keperluan. Sering
Kiai Rozaq, yang kemudian dipercaya sebagai sopir pribadi sang guru,
diperintahkan mengantar Mbah Mangli keliling Jawa selama seminggu penuh.
Ketika berkhidmah kepada ulama kharismatik tersebut,
banyak pelajaran berharga yang didapatnya. “Ternyata Mbah Mangli benar-benar
ulama yang dianugerahi kasyaf oleh Allah. Beliau weruh sak durunge winarah,”
katanya.
Maksudnya, sudah tahu sebelum suatu peristiwa
terjadi. Pernah suatu ketika Kiai Rozaq diminta mengikuti sang guru ke suatu
tempat. Sebelum berangkat, Mbah Mangli minta muridnya itu menempuh rute memutar
jalan – rute yang tidak biasa. Menganggap jarak yang akan ditempuh semakin
jauh, Kiai Rozaq memberanikan diri mengusulkan rute yang biasa. Karena Mbah
Mangli diam saja, ia pun menempuh jalur biasa yang lebih singkat. Namun, di
suatu tempat, perjalanan terpaksa terhenti karena jembatan yang harus mereka
lewati baru saja ambrol.
Menurut penduduk setempat, diperkirakan waktu
ambrolnya jembatan bersamaan dengan perintah Mbah Mangli kepada Kiai Rozaq
untuk menempuh jalur memutar. Maka sang murid pun segera menyadari
kesalahannya, dan minta maaf.
Santri
Kesayangan
Setelah genap tiga tahun, Kiai Rozaq menyelesaikan
pengajian – sesuai perintah sang guru. Hal ini pun sepertinya merupakan isyarat
sang guru, karena tak lama kemudian K.H. Ahmad Umar, pendiri dan pengasuh
pertama Ponpes Al-Muayyad, wafat. Karena almarhum tidak berputra, para kiai
sepuh memerintahkan Abdul Rozaq – kemenakan tertua almarhum, yang memang sudah lama
dibimbing oleh Kiai Umar – untuk mengasuh Ponpes Al-Muayyad. Padahal ketika itu
usianya baru 36 tahun, terbilang masih cukup muda untuk memikul amanat
kepengasuhan yang cukup berat.
Dalam tradisi pesantren, kedekatan seorang santri
dengan ulama kharismatik, apalagi menjadi santri kesayangan, merupakan sebuah
keistimewaan. Dalam beberapa hal, posisi seperti itu sering kali juga menjadi
semacam pengakuan atas kapasitas dan integritas si santri.
Dari Mbah Mangli, selain mengaji ilmu agama, Kiai
Rozaq juga belajar ilmu kedermawanan. Menurutnya, dalam hal yang satu ini sang
guru terbilang sangat luar biasa. Ia tidak pernah menolak pengemis yang datang
meminta-minta. Dan, sebagaimana ajaran agama, sang guru selalu menasihati bahwa
sedekah tidak pernah membuat seseorang menjadi miskin. Bahkan sebaliknya,
dengan bersedekah, harta seseorang malah berlipat ganda karena berkah.
Namun, Kiai Rozaq sendiri mengakui, menjadi seorang
dermawan bukan hal yang mudah. “Persoalan terbesar yang selalu menghadang orang
yang ingin menjadi dermawan ialah penyakit hubbud dun-ya, terlalu cinta materi.
Penyakit ini sangat berbahaya, karena bisa mematikan hati seseorang,” katanya.
“Kerusakan moral yang melanda banyak pemimpin negeri ini berawal dari hubbud
dun-ya itu. Ini bertolak belakang dengan contoh-contoh yang diajarkan oleh
tokoh-tokoh Islam generasi awal,” tambahnya.
Jauh sebelumnya, pengalaman paling berharga mengenai
kedermawanan itu didapatnya dari sang ayah, Kiai Shofawi. Saudagar batik yang
kaya di Tegalsari, Solo, itu selalu menasihati putra-putrinya bahwa orang kaya
harus menjadi semacam keran, yang selalu mengucurkan air bagi setiap orang yang
membutuhkan.
Lagi-lagi pelajaran itu tidak hanya disampaikan
dalam bentuk teori. Sepanjang hidupnya, sang ayah dikenal sebagai dermawan.
Sering orangtua yang ingin memondokkan anaknya ke pesantren, tapi tak punya
biaya, sowan kepada sang ayah. Maka bisa dipastikan, orang tersebut tidak akan
pulang dengan tangan hampa. Hingga kini jejak kedermawanannya masih terlihat,
berupa Pondok Pesantren Al-Muayyad dan Masjid Takmirul Islam, Tegalsari, yang
merupakan amal jariyah almarhum. Bahkan Masjid Tegalsari, yang dibangun sekitar
seabad silam, dan merupakan masjid swadaya masyarakat yang pertama di Solo itu,
dibangun dengan sisa ongkos naik haji tiga orang ulama yang diberangkatkan
dengan biaya Kiai Shofawi.
Konsisten sebagai pengasuh pondok pesantren, Kiai
Rozaq sangat prihatin ketika akhir tahun lalu mendengar kabar adanya rencana
untuk mendata sidik jari kaum santri. Maka dengan tegas mantan rais syuriah
Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang Solo itu menolak. “Seharusnya pemerintah
membaca sejarah. Sejak negeri ini belum berdiri, pesantren selalu berdiri di
barisan terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dan setelah merdeka, kaum
santri senantiasa mencintai dan membela tanah air dengan istiqamah,” kata Kiai
Rozaq, yang sehari-hari biasa dipanggil Pak Dul.
Dalam sejarahnya, pesantren telah membuktikan diri
sebagai lembaga pendidikan yang tangguh dan berhasil mendidik karakter para
santri. Menurut Kiai Rozaq, kunci utamanya ialah keikhlasan para pengasuh dan
pengajarnya. Sebab, kalangan pesantren menganggap bahwa ilmu – terutama ilmu
agama – adalah amanah Allah yang muslim secara suka rela harus menyampaikan
kepada setiap orang yang membutuhkannya.
Itulah sebabnya khittah pesantren Al-Muayyad ialah
mendidik para santri – siapa pun orangnya. Maka tidak boleh ada kebijakan yang
membuat seseorang terpaksa tidak jadi nyantri hanya gara-gara tidak mampu
membayar biaya pendidikan. (AIS-Febuar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar