Penerus
Semangat Perjuangan Bambu Runcing
Ia
sangat peduli pada gonjang-ganjing bangsa. Maka ia pun berkeliling tanah air:
memimpin istigasah, menghibur umat, memberikan nasihat kepada pemerintah.
Jemaah
istigasah menyambut Muktamar Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyah yang memadati Masjid Jami’ Pekalongan baru saja menarik napas,
setelah sebelumnya melantunkan syair Simthud Durar. Tiba-tiba terdengar suara
menggelegar
|
. Di shaf terdepan, sesosok tegap berpakaian
putih-putih, lengkap dengan serban dan jubah, tampak khusyuk melantunkan
tawasul kepada para aulia pendiri tarekat. Menilik perawakan dan suaranya,
orang seakan tak percaya bahwa usianya telah melampaui 83 tahun.
Pembacaan doa-doa istighatsah yang baru selesai
sepertinya tak menyisakan keletihan di wajahnya yang selalu segar. Dialah
K.H.R. Muhaiminan Gunardo dari kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Tema
istighatsah malam itu, sebagaimana istighatsahnya yang lain, ialah memohon keselamatan
bangsa dari berbagai bencana yang belakangan menghantam bertubi-tubi. Semangat
kebangsaan pengasuh Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan,
Temanggung, Jawa Tengah, ini memang luar biasa.
Usianya memang sudah cukup senja. Tapi kiprahnya
semakin mengukuhkan profil ulama pejuang ini. Kepeduliannya akan
gonjang-ganjing perjalanan bangsa mengantarkan langkahnya ke berbagai pelosok
tanah air. Baik untuk memimpin istigasah, ngayemi-ayemi (menghibur) umat,
maupun memberikan nasihat langsung kepada pemerintah.
Almarhum Mbah Hinan, panggilan akrab KH Muhaiminan
Gunardo, dilahirkan di Parakan, .Beliau adalah keturunan Raden Santri salah
seorang wali yang masih keturunan Pangeran Diponegoro. Beliau adalah pimpinan
Pondok Pesantren Bambu Runcing Parakan, Suatu Pondok Pesantren yang dikenal
sebagai pusat pendekar di jaman perjuangan Indonesia.Di Pesantren yang
didirikan oleh kakek Beliau inilah nama senjata tradisional Bambu Runcing
menjadi sangat terkenal dan ditakuti oleh penjajah Belanda. Pada jaman
perjuangan para pendekar sering berkumpul di pesantren Parakan untuk mengatur
strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus diajarkan berbagai macam Ilmu
Hikmah. Setiap kali berangkat berjuang selain ilmu beladiri para pendekar juga
dibekali sebuah senjata yaitu Bambu Runcing, tetapi Bambu Runcing ini bukan
bambu runcing biasa karena senjata ini telah di beri Asma oleh kyai. Konon
setiap kali dilemparkan Bambu Runcing ini tidak saja dapat membunuh lawan
bahkan dapat meledak spt bom. Itulah salah satu Karomah kyai Parakan.Sehingga
Bambu Runcing Menjadi sangat terkenal di seluruh Indonesia dan ditakuti
penjajah Belanda.
Lasykar
Hizbullah
Di masa-masa awal revolusi fisik itu, setiap hari
ribuan pejuangan mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka dari ke front-front
pertempuran di Magelang, Ambarawa, Ungaran, dan Semarang. Beberapa di antaranya
bahkan datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Adalah Kiai
Subeki atau Mbah Subki, saat itu 90-an tahun, magnet yang menarik mereka ke
Parakan. Setelah wafat ia dijuluki Kiai Parak Awal.
Sebelum berangkat ke medan pertempuran, para pejuang
– rata-rata anak-anak anggota Lasykar Hizbullah – sowan kepada kiai sepuh yang
sangat tawaduk ini. Oleh Mbah Subeki mereka didoakan, dan satu per satu senjata
mereka dijamah sambil berdoa: Bismillahi bi ‘aunillah. Ya Hafidz, ya Hafidz, ya
Hafidz. Allahu akbar, Allahu akbar, Allah akbar (Dengan menyebut nama Allah,
dengan pertolongan Allah. Wahai Zat yang Maha Menjaga, Allah, yang Mahabesar).
Begitulah “ijazah doa” yang diberikan oleh Mbah
Subeki kepada para pejuang, yang kemudian terbukti menambah keberanian dan rasa
percaya diri di medan perang. Bahkan diyakini mendatangkan perlindungan Allah
dari hujan peluru dan bom lawan. Sejak itu, setiap hari ribuan orang memasuki
Parakan untuk nyuwuake (memohonkan doa) buat senjata mereka. Mulai dari bambu
runcing, pestol, bedil, karaben, bahkan kanon.
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren,
mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan
yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas
pimpinan Kolonel Soedirman – yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka
membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan
perang Ambarawa.
Parakan sendiri daerah unik, karena merupakan
pertemuan berbagai budaya, sebagaimana diceritakan oleh Saifudin Zuhri, “Sejak
tertangkapnya Pangeran Diponegoro, sisa-sisa prajurit Mataram dalam taktik
mengundurkan diri bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean,
Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah
persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang.
Daerah dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro itu
menjadi tempat bertemunya bermacam-macam sisa prajurit Diponegoro dari berbagai
daerah. Tidaklah mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan
yang bercampur antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu,
keberanian rakyat Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang.
Pencak
Silat
Itulah Parakan, kota kecil tempat lahirnya K.H.R.
Muhaiminan Gunardo. Ia adalah putra Raden Abu Hasan, yang lebih dikenal dengan
nama K.H. Sumomihardho – salah seorang keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Sementara ibundanya, Hj. Mahwiyah, adalah putri Kiai Badrun, sesepuh Parakan
yang berpengaruh karena kedalaman ilmu agamanya.
Sejak muda, Kiai Muhaiminan – yang termasuk dalam
forum Kiai Khos Langitan – gemar berolahraga, khususnya pencak silat, yang
digelutinya di sela-sela mengaji kepada beberapa ulama besar. Tamat Sekolah
Rakyat di Parakan, ia mengaji kepada K.H. Dalhar alias Mbah Dalhar (Pesantren
Watucongol, Magelang), ulama besar yang pernah selama delapan tahun berkhalwat
– mengasingkan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan
tafakur) kepada Allah SWT – di Gua Hira, tempat Rasulullah SAW melakukan hal
yang sama, beruzlah. Mbah Dalhar juga dikenal sebagai mursyid Tarekat
Syadziliyah yang termasyhur.
Selepas dari Watucongol, Muhaiminan muda melanjutkan
pengembaraannya dalam menuntut ilmu kepada K.H. Maksum (Lasem, Rembang), Kiai
Muhajir di Bendo (Pare, Kediri), lalu ke Pesantren Tebuireng, Jombang.
Selain mengaji ilmu agama, di setiap pesantren yang
disinggahinya Muhaiminan mendalami ilmu pencak silat. Pendekar tangguh yang
pernah menjadi gurunya, antara lain, K.H. Nahrowi atau Ki Martojoto. Ia juga
mendalami ilmu pencak silat di pesantren terakhir yang disinggahinya, yaitu
Ponpes Dresmo (Surabaya), yang memang terkenal dengan keampuhan olah
kanuragannya.
Sehari-hari, Mbah Minan selalu menyempatkan diri
mendidik ratusan santrinya, dan mendampingi kurang lebih 30 orang pengajar.
Terutama dalam mujahadah – zikir untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah
– dan istigasah setiap bakda magrib dan setiap malam Jumat dan Selasa Kliwon.
Sementara pengelolaan sehari-hari pesantren yang berdiri pada 1955 itu
diserahkan kepada sebuah kepengurusan yang dinamakan Idarah Ma’had Kiai Parak
Bambu Runcing.
Idarah tersebut juga membawahkan beberapa lembaga
yang mengurus kepentingan pesantren dan umat. Termasuk Lembaga Seni Bela Diri
Garuda Bambu Runcing (LGBR), perguruan pencak silat yang mengajarkan dua jenis
ilmu bela diri, yakni pencak silat sebagai bela diri fisik dan bela diri batin.
LGBR tidak hanya diikuti para santri, tapi juga warga masyarakat umum. Hingga
kini anggota aktifnya kurang lebih 45.000 orang, bahkan telah memiliki beberapa
cabang di Jawa dan Sumatra.
Kemasyhuran Kiai Muhaiminan Gunardo dan pesantrennya
dalam dunia spiritualitas memang telah membuah bibir di kalangan umat Islam,
khususnya di Jawa Tengah. Di luar aktivitas keilmuan dan kanuragan, pesantren
yang terletak di dataran tinggi eks Karesidenan Kedu ini memang selalu ramai
dikunjungi orang. Baik yang hendak berkonsultasi masalah kehidupan, berguru
ilmu hikmah, maupun untuk mengaji tasawuf kepada Mbah Nan.
Ketika terjadi heboh pembunuhan terhadap para kiai
dan santri pada 1999 – yang terkenal sebagai “kasus ninja”, karena pembunuhnya
bertopeng seperti ninja – pesantren ini menjadi tujuan utama warga nahdliyin
yang belajar membentengi diri.
Barangkali memang sudah menjadi ketentuan Allah SWT
bahwa ulama Parakan secara turun-temurun ditugasi menjadi benteng pertahanan
terakhir umat dalam menghadapi berbagai kesulitan. Bisa dimaklum jika langkah
Kiai Muhaiminan sepertinya masih harus panjang – selama keadaan Indonesia belum
memenuhi harapan yang dicita-citakan para ulama pendahulunya.
Ahli
Hikmah
Selama ini masyarakat lebih mengenal Mbah Hinan
selain sebagai alim ulama yang ahli di bidang agama juga ahli di bidang ilmu
hikmah. Tak sedikit yang berhubungan dengan almarhum berkaitan dengan ilmu
kekebalan untuk pertahanan diri bahkan tak sedikit yang berkaitan dengan
kedudukan dan jabatan. Salah satu Karomah Kiai khos ini Adalah ketika bermain
pencak silat orang disekitarnya merasakan tanah disekeliling beliau bergetar
seperti ada gempa bumi. Salah satu ilmu andalan Beliau adalah SASRA BIRAWA
yaitu ilmu tenaga dalam yang dapat memecahkan benda keras dari jarak jauh
seperti ilmu yang dimiliki Mahesa Jenar. Setiap Santri di Pesantren Parakan
diajarkan ilmu pencak silat Garuda Bambu Runcing. Salah satu murid beliau yang
dikenal sebagai pendekar di kota Solo adalah Almarhum KH. Hilal Adnan pimpinan
Thoriqoh Syadziliyah di Solo Jawa Tengah.
Mursyid Thoriqoh Syadziliyah dan Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah
Mengikuti jejak gurunya, Kiai Dalhar Watucongol, ia
juga menjadi mursyid Tarekat Sadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
bersanad sampai ke Rasulullah SAW. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua
Pengurus Pusat Jami'yyah Thariqoh Muqtabaroh An-Nahdliyyah serta pimpinan
thoriqoh Syadziliyah.
Di organisai PBNU, almarhum menjabat sebagai
Mustasyar. KH Muhaiminan Gunardo merupakan seorang tokoh panutan yang sangat
dikenal masyarakat luas. Selain itu, beliau juga banyak memberikan sumbangan
spiritual bagi kehidupan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar