Kiai
Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem,
Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah
pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi
itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum
berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul
Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini
diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
|
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah,
extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore,
adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang
sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah
kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang
kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya
adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania
alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena
banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan
sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kini
Sulit Dicari Padanannya
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan
dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh
Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota
kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama
kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi,
seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah,
extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore,
adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang
sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah
kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang
kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya
adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania
alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena
banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan
sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar
belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga
mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi
jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan
tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak
kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan
Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim
ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud
ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu
atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok
pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir
banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais
am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi,
dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih
berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang
sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi
thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12
tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak
Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas,
tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan
dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari
ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu
mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara
lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang,
sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang
Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah
akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359
H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar)
Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan
sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung
muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya,
yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren
Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu.
Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari,
setelah acara walimah
rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam
(para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa
boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya
disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah
mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah
ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus
berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga
yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha
apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa
sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh
keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi
kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang)
masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak
kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan
Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup
prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di
sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di
berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin
yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru
besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir.
Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi
segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu,
masih belajar di Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol
dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri
sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri
mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya
memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak
dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan
harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang,
memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena
terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh
perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah
klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau.
Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan
masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak.
Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu
itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan
membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian,
sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas,
hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih”
(disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah
mengakui kewalian seseorang).
Lurus
Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak
sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian
di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang
menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai
Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala
ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa
atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata.
Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran
beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada
beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau
menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”,
yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan
diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang
miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua
dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu,
beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu
sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid
adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada
ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali,
yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di
depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila
mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid
Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja
wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya
bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia
“keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai
kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi,
bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang
tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di
mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap
tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau
halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan
temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil
meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa.
Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika
disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu
telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam.
Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang
santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh
berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di
kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes
dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil
(makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok
Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu
punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah
orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi
perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud
mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit
Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa
nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari
berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit
lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering
mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu.
“Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada
seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu
yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung
mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur
Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya
yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit.
Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak
kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan
para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini.
Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut
pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang
hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum
berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing
(ngrasani) orang lain.”
Manusia
Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang
penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat
lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin
(untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan.
Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang
(walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan
beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun
manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H,
bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi
msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum
berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren
Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di
Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau
menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu,
oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun
membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun
kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya.
Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah
yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan
rahmatilah dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar