Lahir
di Tambakberas, Jombang, pada bulan Maret 1888 M. Ayahanda KH Abdul Wahab
Hasbullah adalah Kyai Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa
Timur, sedangkan Ibundanya bernama Fatimah. KH Abdul Wahab Hasbullah adalah
seorang ulama yang berpandangan modern, da’wah beliau dimulai dengan
mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul
Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.Beliau juga seorang pelopor
dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan NU,
|
Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di
Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari
Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan Madura, dan
Pesantren
Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh
KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Makkah untuk
berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil
nilai istimewa.
Kyai. Wahab merupakan bapak Pendiri NU setelah
Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Selain itu juga pernah menjadi Panglima
Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Beliau juga
tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan
kursus bernama “Tashwirul Afkar”.
Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam
bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz.
Pada perang melawan penjajah Jepang beliau berhasil membebaskan KH. M. Hasyim
Asy’ari dari penjara ketika ditahan Jepang. Kyai Wahab juga seorang pencetus
dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah
dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda. Akhirnya KH.
Abdul Wahab Hasbullah dipanggil menghadap ke haribaan-Nya pada Rabu 12 Dzul
Qa’dah 1391 H atau 29 Desember 1971 tepat pukul 10.00 WIB, empat hari setelah
MUKTAMAR NU ke-25.
KH Abdul wahab Hasbullah , Solo 1965.
Pelopor
Kebebasan Berpikir
KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan
berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin.
KH. A. Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau
merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan
terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab
Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di
Surabaya pada 1941.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan
peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat
yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat
populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari
berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan
permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama
pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi
antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda
dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan
progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga
menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan
dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten,
Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah
ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang
mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai
Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama
pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun
itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim,
(Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai
Cholil (Kasingan Rembang).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori
Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan
terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan
kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat
dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama
dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan
berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial
kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang
yang meminta fatwa tentang Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai
Bisri Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya
hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang
bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu
saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan
tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan
solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan
seekor kambing untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui
dengan jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu
memerlukan cakrawala
pemikiran yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa
laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan
semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa
sangat dominan dari Fiqih sendiri.
Kini, di tengah nuansa keberagamaan masyarakat yang
terjebak pada dogmatisme, kita merindukan hadirnya kembali sosok Kyai Wahab
Hasbullah dengan Tashwirul Afkar-nya yang telah mencerahkan dan mencerdaskan
umat dengan prinsip kebebasan berpikirnya.
Seorang
Inspirator GP Ansor
Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan
dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh
tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan,
organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan
mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan
KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang
berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi
kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang
mendukung KH. Abdul Wahab Hasbullah –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk
wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal
berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama
seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul
Oelama (ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab
Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil
dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah
yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan
demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap,
perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor
tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat
Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan,
menegakkan dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara
formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada
Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau
24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.
Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU
berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. A. Wahid
Hasyim, KH. Dachlan Kertosono, Thohir Bakri dan Abdullah Ubaid serta dukungan
dari ulama senior KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Sementara itu, peran KH. Mohammad Chusaini Tiway
terlihat pada masa pendudukan Jepang, dimana pada saat itu
organisasi-organisasi pemuda diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang
termasuk ANO. Setelah revolusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya,
Moh. Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini
mendapat sambutan positif dari KH. A. Wahid Hasyim – Menteri Agama RIS kala
itu, maka pada 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan
nama baru, yakni Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih
pupuler disingkat GP Ansor).
Kyai Wahab memang tokoh NU yang inspiring bagi siapa
saja yang mengenalnya. Ketokohannya sangat fenomenal dan membangkitkan semangat
terutama bagi kalangan kaum muda. Kita sebagai mahasiswa dalam konteks agen
perubahan sosial (agent social of change) dan generasi muda hanya bisa berharap
muncul Kyai Wahab-Kyai Wahab lainnya atau justru menggantikan peran Mbah Kyai
Wahab yang mampu mengawal kemajuan bangsa Indonesia untuk kepentingan Islam dan
kaum muslimin. Semoga amal ibadah dan perjuangan beliau diterima disisi-Nya.
Amien yaa rabb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar