Kisah
Lailatul Qadar
Kiai
Ahmad Qusyairi sebenarnya datang dari jauh. Beliau lahir di Lasem (Sumbergirang)
Sabtu Pon 11 Sya’ban 1311 H atau 17 Pebruari 1894 M. Beliau adalah putra
keempat dari 23 orang bersaudara. Ayahanda beliau, KH. Muhammad Shiddiq,
dikaruniai 23 anak dari tiga orang istri: Nyai Maimunah (Masmunah?), Nyai
Zaqiyah (Siti Maryam?) dan Nyai Siti Mardhiyah. Dengan Nyai Maimunah beliau
dianugerahi tujuh anak, dengan Nyai Zaqiyah dikaruniai sembilan anak dan
dengan Nyai Siti Mardhiyah tujuh anak. Kiai Achmad Qusyairi adalah putra
beliau dari istri pertama.
|
Mengingat keterbatasan sumber, tak banyak yang bisa
diungkap dari masa kecil Kiai Achmad. Tetapi yang pasti, sejak usia dini beliau
sudah dikirim ke pesantren oleh ayahandanya. Beliau berpindah dari satu pondok
ke pondok lainnya. Antara lain, pernah menimba ilmu di Langitan (Tuban), di
Kajen (Pati) semasih diasuh Kiai Khozin, dan Semarang (Kiai Umar). Tetapi yang
paling fenomenal adalah belajar beliau di Bangkalan, yakni di pondok Syaikhuna
KH. Kholil.
Kiai Kholil adalah ulama besar. Seorang waliyullah.
Ada yang menyebut, beliau adalah wali kutub. Banyak santri beliau yang menjadi
wali dan kiai besar. Kepada beliaulah ayahanda KH. Muhammad Shiddiq menimba
ilmu dan amaliyah. Kemudian, setelah berkeluarga, beliau mengirimkan
putra-putranya di sana, termasuk Kiai Achmad Qusyairi. Kelak, Kiai Achmad
Qusyairi juga menitipkan putra sulung beliau, KH. Ridlwan, untuk mengais ilmu
dari barokah dari sang wali kutub.
Menurut KH. Hasan Abdillah Glenmore, Kiai Achmad
Qusyairi nyantri kepada Kiai Kholil saat masih remaja (pasca baligh). Suatu
kali, di bulan Ramadhan, Kiai Kholil menyuruh para santri supaya tidak tidur di
malam hari. Katanya, “Ayo cari Lailatul Qadar”. Maksudnya, mereka disuruh
beribadah malam supaya mendapat barokah dari malam yang sangat mulia itu.
Kiai Achmad Qusyairi termasuk di antara santri yang
juga mencari Lailatul Qadar. Tetapi beliau salah sangka. Beliau mengira,
Lailatul Qadar itu benda kongkret. Malam itu beliau mencarinya ke sana kemari
namun hasilnya, tentu saja, nihil. Pulang ke pesantren beliau dilanda
kecapekan, lantas tertidur pulas.
Pada dini hari, Kiai Kholil berkeliling pesantren.
Tujuanya, untuk mengawasi para santri. Tiba-tiba beliau melihat seberkas cahaya
pada tubuh kecil seorang santri. Beliau mendekati sosok kecil itu lantas
mengikat ujung sarungnya (dibikin simpul mati), sebagai tanda. Paginya, seusai
salat subuh, beliau membuat pengumuman. “Ayo, siapa yang di sarungnya ada tali
simpul?” Tak ada santri yang menjawab. Si empunya simpul pun tak menjawab
karena takut. Dia merasa bersalah karena tidur pulas tadi malam, padahal
disuruh begadang. “Kalau tak ada yang mau mengaku, ya sudah!” kata Kiai Kholil
dengan nada keras.
Dengan takut-takut seorang santri yang masih kecil
mengacungkan jarinya. “Saya,” katanya. Ternyata dia santri bernama Achmad
Qusyairi. Marahkah Kiai Kholil, yang dikenal berperangai keras itu? Tidak.
Beliau justru berkata, “Mulai sekarang para santri tak usah mengaji padaku.
Cukup kepada Achmad Qusyairi.” Kita tidak tahu persis (para sumber kita juga
tidak tahu) apakah setelah kejadian itu beliau langsung pulang. Tetapi kami
menduga beliau tidak langsung pulang. Beliau masih terus menimba ilmu hingga
beberapa tahun.
Menikah
Ketika Kiai Achmad masih kecil, ayahanda beliau
berpindah ke Jember. Konon, kepindahan itu dikarenakan isyarat dari Rasulullah
s.a.w. melalui mimpi. Mimpi itu mengisyaratkan supaya beliau berpindah ke timur
untuk berdakwah. Jember pun menjadi pilihan karena itulah yang diperintahkan
oleh KH. Kholil Bangkalan, guru beliau. “Kiai Shiddiq jembar,” katanya saat
santrinya itu singgah dalam perjalanan ke timur.
Kebetulan Jember saat itu merupakan daerah gersang
dari sisi dakwah. Penduduknya masih banyak yang tidak beragama atau beragama
Hindu-Budha. (baca: “Biografi Mbah Shiddiq” oleh Afton Ilman) Di kota ini ada
seorang saudagar kaya bernama H. Alwi. Dia memiliki lima buah pabrik selep
beras dan 35 rumah besar. Dia sangat akrab dengan Kiai Shiddiq. Bahkan, tanah
tempat berdirinya pesantren serta rumah Kiai Shiddiq di Talangsari adalah hasil
waqaf dari H. Alwi.
H. Alwi rupanya menyimpan kesan mendalam kepada
pemuda Achmad Qusyairi, putra kiai yang dikaguminya itu. Begitu terkesannya
sehingga dia menuruti apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Misalnya, seperti
dituturkan Kiai Hasan Abdillah, pemuda Achmad Qusyairi menyarankan kepada H. Alwi
supaya mengeluarkan zakat mal untuk hartanya yang berlimpah itu. “Ini harus
dizakati” katanya. “Baik” jawab si saudagar.
H. Alwi tidak hanya mengamini, tapi juga menyerahkan
soal perhitungan zakatnya kepada Kiai Achmad, dan Kiai Achmad menjalankan tugas
itu dengan baik setiap tahunnya.
Alhasil, keduanya sudah seperti anggota keluarga.
Seperti bapak dan anak. Guna lebih melanggengkan hubungan keluarga tersebut, H.
Alwi meminang pemuda Achmad Qusyairi untuk menjadi menantunya. Tetapi manusia
hanya bisa berencana, dan Allah yang menentukan. Pemuda Achmad Qusyairi urung
jadi menantu H. Alwi karena dijodohkan ayahandanya dengan putri KH. Yasin bin
Rois Pasuruan. Bagaimana ceritanya?
Begini. Kiai Shiddiq, abah beliau, telah menjalin
hubungan pertemanan dengan Habib Alwi bin Segaf As-Segaf Pasuruan melalui
hubungan dagang. Keduanya memang sama-sama pedagang, tapi juga sama-sama wali.
Dari Habib Alwi, Kiai Shiddiq mengenal Kiai Yasin bin Rois, seorang kiai besar
pengasuh Pesantren Salafiyah yang terletak di desa Kebonsari, Pasuruan. Suatu
kali, ketika Kiai Shiddiq bersama pemuda Achmad Qusyairi mengunjungi Habib
Alwi, sang Habib menawarkan untuk menjodohkan putra Kiai Shiddiq itu dengan
putri Kiai Yasin. Kiai Shiddiq menyatakan setuju. Kiai Yasin juga sepakat. Singkat
cerita, pemuda Achmad Qusyairi dinikahkan dengan Fatmah binti Kiai Yasin bin
Rais.
Akan halnya H. Alwi, tentu saja dia merasa kaget.
Dia lalu menuntut kepada Kiai Achmad supaya mencarikan ganti beliau. Kiai
Achmad menawarkan iparnya, Kiai Muhammad bin Yasin. H. Alwi merasa cocok,
begitu pula di pihak pria. Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Kiai
Muhammad dan putri H. Alwi.
Malu
Kiai Achmad menikah dalam usia 19-20 tahun. Beliau
merasa malu karena istri beliau, yang usianya lebih tua satu tahun, sudah hafal
seluruh Al-Quran. Selama ini Kiai Achmad memang tidak pernah menghafalkan
Al-Quran. Waktunya habis untuk menimba dan menimba ilmu.
Rasa malu tadi melecut beliau. Setahun setelah
pernikahan, beliau berangkat ke kota suci Mekah guna menghafalkan Al-Quran di
sana. Alhamdulillah, dalam waktu tiga bulan beliau berhasil menghafalkan 30 juz
al-Quran. Pulang ke Indonesia, beberapa kali beliau kembali ke Mekah untuk
beribadah haji dan menimba ilmu. Suatu kali, beliau sedang berada di Mekah.
Tiba-tiba Perang Dunia I meletus. Beliau tidak bisa pulang. Apa boleh buat.
Beliau pun bermukim di tanah suci itu selama lima tahun. Di sana beliau
menjalin hubungan dengan Syekh. Lima tahun kemudian, sepulang dari sana, beliau
menjadi badal (wakil atau agen) dari syekh tersebut.
Syekh adalah julukan bagi orang-orang yang bertindak
sebagai host atau rumah bagi para jamaah haji. Mereka mengorganisasikan
perjalanan ibadah haji para jamaah selama di tanah suci, sejak kedatangan
hingga kepulangan mereka serta menyediakan akomodasi dan berbagai fasilitas
yang diperlukan. Para syekh itu memiliki wakil atau agen di Indonesia, yang
disebut Badal Syekh. Peran Badal Syekh ini mirip dengan yang dijalankan KBIH
(Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) sekarang: dari mencari jamaah, mendaftarkan mereka
di Jakarta (segala dokumen haji kala itu harus diurus di kantor pusat di
ibukota), dan mengurus keberangkatan mereka.
Lebih kurang, itulah pula yang dilakukan oleh Kiai
Achmad. Para calon jamaah haji mendaftar kepada beliau, lalu beliau mengurus
segala keperluan mereka dan mengantar mereka hingga ke kapal. Para calon jamaah
haji itu, yang datang dari berbagai desa di kota dan kabupaten Pasuruan,
berkumpul di Pesantren Salafiyah. Dari sana mereka naik dokar ke Pelabuhan
Pasuruan. Karena kapal yang mengangkut mereka tidak bisa sandar di tepian, maka
dari pelabuhan mereka diangkut dengan perahu kecil ke tengah laut.
Kiai Achmad biasanya ikut naik pula ke perahu kecil
itu, guna memastikan tiada masalah pada para calon jamaah tersebut: entah itu
soal tiket ataupun soal berbagai dokumen perjalanan. Terkadang, menurut Kiai
Hasan Abdillah, beliau tidak hanya mengantar sampai ke kapal, tapi juga sampai
ke Mekah. Pasalnya, kapten kapal yang terkesan oleh penampilan dan bahasa
Belanda beliau, lalu mengajak beliau untuk ikut ke Jeddah, tanpa paspor.
Di samping menjadi Badal Syekh, beliau juga membuka
usaha di bidang peralatan dokar. Tepatnya, beliau menjual suku cadang dan
peralatan dokar. Adapun tokonya terletak di selatan Masjid Agung Pasuruan, dan
diberi nama “Pasoeroeansche Dokar Handel”.
Beliau juga mengajar. Cukup banyak pengajian yang
beliau gelar, baik di lingkungan pondok Pesantren Salafiyah maupun di luarnya.
Entah itu di kota Pasuruan maupun di luar kota, seperti di desa Winongan
(Kabupaten Pasuruan) dan kota Gresik.
Selama di Pasuruan beliau tinggal di lingkungan
pondok pesantren Salafiyah. Tepatnya di sayap kiri rumah mertua beliau, Kiai
Yasin. Adalah Kiai Yasin yang menyuruh beliau supaya membangun “sayap”
tersebut, yang menempel di rumah sang mertua. Kemudian pada dasawarsa 1930-an,
beliau membangun rumah di sebelah kanan rumah Kiai Yasin, yakni rumah yang
kelak ditempati oleh menantu beliau, KH. Hamid.
Menurut KH. Hasan Abdillah, Kiai Achmad merupakan
menantu yang disayang oleh Kiai Yasin. Maklum, antara keduanya ada kesamaan
prinsip. Beliau tidak hanya disuruh membangun rumah yang menempel pada rumah
Kiai Yasin, tapi juga dipercaya untuk mengajar di pondok. Peran sebagai
pengajar dan pengurus pondok terus beliau pegang sepeninggal mertua beliau dan
tongkat estafeta kepengasuhan pondok berpindah ke KH. Muhammad bin Yasin, putra
Kiai Yasin.
Tetapi beliau tidak hanya mengajar di lingkungan
pesantren. Beliau juga mengajar di tempat-tempat lain, seperti di Winongan
(Kabupaten Pasuruan), Gresik, Madura dan lain-lain. Belakangan, seperti
dituturkan KH. Abdur Rohman Ahmad, beliau tidak mengajar lagi di Gresik, tetapi
orang-orang Gresik yang datang ke Pesantren Salafiyah Pasuruan untuk mengikuti
pengajian beliau.
Dicalonkan
Jadi Bupati
Sekitar tahun 1945-1946 beliau berpindah tempat
tinggal: dari Pasuruan ke Kabupaten Jember. Tepatnya di Jatian, sebuah desa
pedalaman, sekitar 15 km, sebelah timur kota Jember. Mengapa berhijrah?
Ada dua versi. Versi pertama diungkapkan oleh Kiai
Hasan Abdillah. Katanya, Kiai Achmad berhijrah karena enggan dicalonkan menjadi
bupati Pasuruan. Kala itu para kiai se-Pasuruan yang berkumpul di Masjid Agung
Pasuruan sepakat menunjuk Kiai Achmad sebagai calon bupati.
Versi kedua diungkapkan oleh Ibu Nyai Hajjah Zainab,
istri Kiai Achmad. Kepada al-faqir Nyai Zainab mengutip kata-kata Kiai Achmad
bahwa beliau berpindah ke Jatian karena dikejar-kejar oleh Belanda. “Jatian itu
kan desa pelosok, jadi cocok untuk tempat sembunyi,” ujar Nyai Zainab.
Tentang pencalonan Kiai Achmad sebagai bupati, ada
pula kesaksian dari KH. Abdur Rahman Ahmad. “Aku juga mendengar waktu itu Abah
dicalonkan di masjid karena Abah masih keturunan Mbah Surga Surgi,” ucapnya.
Kiai Abdur Rahman saat itu masih menjadi seorang
pemuda tanggung berusia sekitar 14-15 tahun. Kalau Kiai Abdur Rahman yang masih
muda mendengar kabar tersebut, berarti kabar itu sudah menjadi pembicaraan
umum. Dan karena sudah menjadi konsumsi umum, sangat wajar bila ada tambahan
bumbu-bumbu, seperti bumbu bahwa Kiai Achmad adalah keturunan Mbah Surga Surgi
(trah ningrat yang menurunkan para bupati Pasuruan), padahal tidak.
Sayang, alfaqir tidak mendapatkan data tertulis
mengenai pencalonan tadi. Pertama, karena pencalonan itu merupakan keputusan
ulama, bukan sesuatu yang diputuskan instansi formal. Kami menduga, para ulama
kala itu belum memiliki tradisi mengarsipkan hasil-hasil rapat mereka. Kedua,
kondisi saat itu begitu kacau, sehingga kalaupun ada, dokumen itu bisa jadi
hilang.
Toh sejarawan Pasuruan dari P3GI, yang juga penulis
buku “Hari Jadi Kota Pasuruan”, Untung Sutjahjo, tidak menepis kemungkinan
adanya rapat demikian. Berikut ini kutipan kata-katanya kepada alfaqir:
“Adanya rapat untuk mengajukan seorang calon adipati
sangat mungkin terjadi. Lebih-lebih, hubungan umaro-ulama sangat erat kala itu.
Masjidnya adalah masjid Kiai Kanjeng. Masjid Agung adalah tempat membahas pula
persoalan pemerintahan tertentu. Tetapi saya menduga, rapat itu diadakan secara
sembunyi-sembunyi. Sebab, kondisi Pasuruan (dan di kota-kota lain) pada 1945
kacau sekali. Tidak aman. Belanda, pasca-terusirnya Jepang, sangat ketat
mengawasi setiap gerakan atau perkumpulan. Karena itu, rapat mungkin diadakan
sembunyi-sembunyi. Dan karena diadakan secara sembunyi-sembunyi, sangat boleh
jadi dokumennya tidak ada. Pencalonan itu mungkin saja membuat marah Belanda.
Jadi, sangat pantas kalau KH. Ahmad Qusyairi dicari oleh Belanda.” (Dalam
catatan sejarah, Adipati R. Rumenggung Ario memerintah mulai 1936 hingga 1945.
Selanjutnya, tampuk kepemimpinan berpindah kepada
Adipati R. Soedjono. Berarti pada 1945 memang terjadi suksesi kepemimpinan,
entah karena desakan rakyat ataukah karena masa baktinya telah berakhir. Tetapi
kalau kita perhatikan, masa bakti para adipati tidak sama. Kepemimpinan R.
Tumenggun, misalnya, berlangsung selama 9 tahun, sedang adipati sebelumnya,
R.A.A. Harsono, hanya memerintah selama tiga tahun.) Mengenai seberapa kacaunya
Pasuruan (dan kota-kota lain) pada saat itu, hal itu bisa kita simak pada
penuturan Soetjipto, seorang veteran perang yang tinggal di Jalan Mawar
Pasuruan. Dia lahir tanggal 2 Pebruari 1925:
“Saya dulu sekolah di HIS Bangilan, dekat alun-alun
kota Pasuruan. Lalu meneruskan di MILO Probolinggo. Karena di Pasuruan tidak
ada MILO. Baru lima bulan sekolah, pecah perang.
Pada saat proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus
1945, kita tidak tahu menahu. Baru setelah itu ada pemberitahuan. Lalu
pemerintah membentuk tentara. Saya ikut. Saya menjadi kepala. Pada saat itu,
khususnya ketika Belanda hendak mendarat di Surabaya, orang-orang tergerak
untuk menjadi tentara. Terbentuklah pasukan-pasukan. Ada tentara reguler (TNI).
Ada pula tentara nonreguler. Tentara kedua ini terbentuk begitu saja. Tidak
teratur. Saya pernah mendengar (mungkin salah mungkin benar), KH. Ahmad
Qusyairi memimpin pasukan. Namun, jangan bayangkan pasukan itu ada barisannya.
Itu tidak teratur. Kalau ada serangan, pemimpin itulah yang mengkomando. Tetapi
saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Wong saya golongannya lain. (Beliau
golongan santri, Soetjipto bukan santri, sehingga bukan satu komunitas.)
Orang-orang berangkat sendiri-sendiri ke Surabaya.
Tanpa komando, tanpa koordinasi. Dari Pasuruan,
Jember, Probolinggo, Malang, Mojokerto dan lain-lain. Banyak dari mereka yang
mati. Mereka adalah orang-orang yang berani mati. Dalam pasukan itu ada dua
macam. Orang bodoh tapi berani nyerang dengan segala risiko. Ada yang pintar,
tidak berani nyerang. Mereka memakai perhitungan. Pada saat Jepang datang,
orang Belanda sudah habis di pasuruan. Gemente dikuasai. Pabrik-pabrik gula
dikuasai semua oleh orang Jawa. Tapi mereka tidak tahu caranya memenej yang
benar.
Pada pascaproklamasi, orang-orang berangkat ke
Surabaya. Yakni untuk membendung Belanda yang hendak kembali. Terus terang,
kita kalah terus. Kita terus mundur. Kita terdesak ke Sidoarjo. Lalu terdesak
lagi ke Porong. Lalu ke Pandaan. Terjadi pertempuran hebat. Kita terus mundur,
hingga Belanda berhasil masuk ke Malang. Kami pernah ke Purwodadi untuk
menyerang Belanda, dan dengan tujuan memutus kabel telpon Malang-Surabaya. Tapi
keburu diserang lewat udara. Dibombardir pesawat. Rupanya ada mata-mata.
Pada akhirnya Pasuruan juga dikuasai Belanda. Banyak
Belanda di sini. Pasuruan dikuasai oleh KNIL. Sebenarnya juga banyak
cecunguk-cecunguk Belanda. Mereka orang Jawa tapi hatinya Belanda. Mereka
merasa enak di bawah Belanda.
Nah, kalau pada siang hari Pasuruan dikuasai KNIL,
malam hari dikuasai pribumi. Tentara gerilya. Hampir semua orang bergerilya.
Ada Belanda lewat diserang, dibunuh. Ada cecunguk Belanda, dibunuh. Pernah ada
Pak Carik, hendak membeli kambing. Ketemu teman-teman, dia digeledah, ditemukan
korek api dengan bendera merah-putih-hijau, langsung dia dibunuh. Ada Pak
Lurah, punya kambing 12 ekor. Tiga ekor diambil, disembelih, kepalanya
dikasihkan ke saya. Kondisinya memang kacau.
Nah, pada malam hari itu kita bergerilya. Kita
serang kantor polisi. Sebab, banyak polisi yang hatinya Belanda, meski orang
Jawa. Kita serang kantor-kantor lain. Bahkan juga kepala desa atau aparat lain
yang dianggap antek Belanda. Terkadang kita membakar.
Kalau Kiai Ahmad Qusyairi dicalonkan menjadi bupati,
itu bisa saja terjadi. Sebab, waktu itu kita memang hendak menguasai semua.
Kita tidak bisa berperang. Senjata kita juga apa adanya. Ada pula senjata api,
tapi tidak banyak. Kita bikin pasukan maling untuk mencuri senjata milik
Belanda.”
Yang hendak dikatakan ialah, pada saat itu terjadi
kekacauan yang luar biasa. Di samping itu, ketika orang-orang mengetahui adanya
proklamasi kemerdekaan, dan mereka melihat orang-orang Jepang berkemas, bukan
mustahil Pasuruan juga mengalami eforia sebagaimana yang meluas di berbagai
daerah. Yakni eforia yang, sebagaimana kita saksikan pada saat munculnya fajar
reformasi dulu, memicu suatu semangat untuk menjebol segala yang ada dan
menggantinya dengan yang baru sama sekali. Seperti dilaporkan di sejumlah
daerah (seperti di Tegal), orang-orang beramai-ramai mendongkel penguasa lama
yang dianggap berbau penjajah (meski dia sendiri orang pribumi) dan
menggantinya dengan orang baru. Pasuruan mungkin saja mengalami hal serupa.
Pertanyaannya, mengapa Kiai Achmad Qusyairi?
Tampaknya beliau dipandang memiliki dua macam kompetensi sekaligus: ahli ilmu
agama dan sekaligus mumpuni di bidang umum. Paling tidak, mereka menilainya
dari kemampuan beliau berkomunikasi dengan bahasa Belanda dan Jepang. Beliau
juga cukup fasih berbahasa Indonesia. Beliau sudah akrab dengan cara-cara yang
cukup modern dipandang dari ukuran saat itu. Misalnya, berkomunikasi lisan dan
tulis (lewat surat) dengan kapten kapal (yang semuanya orang Belanda tulen), para
pejabat pemerintahan kolonial dan lain-lain. Beliau juga piawai menyusun
untaian kata-kata indah dalam bentuk buku, risalah (karangan singkat) dan surat
undangan -- termasuk dalam bahasa Indonesia. Bahkan, di zaman “sedini” itu,
beliau sudah memiliki kartu pos khusus dengan kop usaha atau toko peralatan
dokar beliau. Tak kalah pentingnya ialah, beliau sudah biasa mengurus
pemberangkatan haji, yang tidak hanya memerlukan keahlian khusus di bidang
manajemen dan administrasi, tetapi juga juga mobilitas yang tinggi serta
kemampuan lobi serta kedekatan dengan pejabat-pejabat pusat. Makanya, tidak
heran jika beliau pernah diminta oleh Jepang untuk menjadi penghulu, tetapi
beliau menolak. Bisa saja pencalonan itu membuat marah orang-orang Belanda.
Itulah sebabnya, beliau termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda.
Dengan demikian, kedua faktor tadi sama benarnya
untuk menjelaskan kepindahan beliau dari Pasuruan ke Jatian. Walaupun demikian,
seperti dikatakan oleh Kiai Hasan Abdillah, beliau menolak menjadi bupati
karena beliau adalah orang yang tidak mengagulkan jabatan, bukan karena takut
Belanda.
Dan itu, kami kira, benar. Sebab, sebelumnya beliau
telah menolak tawaran jabatan penghulu dari Jepang. Beliau juga menolak tawaran
duduk di jajajaran pengurus NU karena merasa diri tidak pantas.
Hijrah
Lagi
Selama tinggal di Jatian, beliau menggelar
pengajian. Pengajian ini diikuti baik oleh orang-orang Jatian maupun dari luar.
Di antara orang luar Jatian yang rajin mengikuti pengajian beliau ialah H.
Abdul Azhim dan H. Sholeh, keduanya berasal dari Glenmore, Banyuwangi.
Mereka di Glenmore terbilang saudagar kaya. Waktu
itu Glenmore adalah daerah yang gersang dari segi siraman rohani. Daerah yang
keras karena di sana banyak preman. Kemaksiatan merajalela, termasuk yang biasa
disebut sebagai Mo Limo (5-M): madat (mabuk-mabukan), madon (zina), main
(judi), maling (mencuri), mateni (membunuh). Sementara itu, jumlah guru
agamanya tidak banyak. Ada seorang guru agama di sana yang konon masih suka
bermain sabung ayam.
Itulah, maka H. Abdul Azhim dan H. Sholeh
berinisiatif untuk menawari Kiai Achmad pindah ke Glenmore. Ternyata gayung
bersambut. Beliau mengiyakan tawaran tersebut. Satu setengah tahun setelah
bermukim di Jatian, beliau melakukan hijrah lagi, yaitu ke Glenmore.
Mula-mula beliau tinggal di rumah H. Abdul Azhim
yang terletak di sebelah barat pasar. Lalu beliau membeli rumah di timur pasar.
Tak lama kemudian rumah itu dijual, dan hasil penjualannya dipakai membeli
rumah di Kalibaru.
Beliau sendiri menempati rumah pemberian H.
Mustahal, yang terletak sekitar 200 meter sebelah selatan rumah yang dijual
tadi. Rumah ini menjadi tempat tinggal permanen beliau hingga akhir hayat
beliau.
Akan halnya keberadaan beliau di Glenmore, sungguh
tak mudah. Setelah melewati masa “bulan madu”, mulailah beliau menapak jalan
menanjak. Beliau difitnah. Seperti dituturkan oleh Abdusy Syakur (70 tahun),
warga Magelenan, Glenmore, suatu kali Pak Syarqowi datang, mengatakan bahwa
beliau jadi omongan orang. “Sudah biar saja, orang kalau dibicarakan itu,
dosanya habis,” kata beliau. Lalu beliau masuk ke dalam rumah, dan kembali
membawa uang. “Ini berikan pada orang-orang yang membicarakan aku. Terima
kasih, karena telah menghabiskan dosaku.”
Memang beliau menjadi bahan omongan orang banyak.
Dan itu ada provokatornya, kata Kiai Abdillah. Provokator ini menghasut orang.
“Jangan ke Kiai Achmad Qusyairi,” katanya di hadapan orang banyak dalam acara
tahlilan. Fitnah itu begitu menghebat hingga Kiai Hasan, yang masih muda kala
itu, tidak tahan. Dia sudah mau marah. Dia melaporkan hal itu pada Kiai Hamid,
kakak iparnya. “Anu Lah, wong Glenmore iku gak nyucuk karo ilmune Abah
(Orang-orang Glenmore tidak dapat menjangkau ilmu KH. Achmad),” kata Kiai Hamid
kepada Kiai Abdillah. Beliau juga menyarankan supaya Kiai Achmad kembali ke
Pasuruan.
Kiai Abdillah juga membatin, “Biar Abah ke Pasuruan
saja, orang-orang aku yang hadapi.” Tetapi beliau bersikukup tetap tinggal di
Glenmore. “Biar saja aku difitnah. Aku lebih suka dicela orang daripada
dipuji,” ujar beliau.
Di tengah terpaan badai yang hebat itu, beliau tetap
bertahan. Beliau mengemong masyarakat. Sedikit demi sedikit beliau memperbaiki
keadaan. Beliau mendirikan musalla di utara rumah beliau (1948). Di musalla ini
dan di rumah beliau, beliau menggelar pengajian. Para ustaz dan kiai di
Glenmore mengaji pada beliau. Orang-orang awam juga. Ada yang dari Glenmore,
ada pula dari luar Glenmore.
Tetapi, tentu saja, tidak hanya lewat pengajian
beliau mengemong dan mendidik masyarakat, tapi juga lewat keteladanan dan
nasihat-nasihat. Terkadang beliau marah. Seperti marah beliau kepada Cak Arik
kala pemuda ini masih bermain layang-layang padahal waktu salat Jumat tinggal
beberapa menit lagi.
Glenmore pun, pelan tapi pasti, beringsut. Citranya
berubah. Dari desa Mo Limo, desa yang tidak aman dan penuh kerawanan, menjadi
desa santri yang damai dan aman. Orang-orang yang dulunya dikenal sebagai
perampok, pembunuh, ahli menggoda istri orang – pendeknya para jagoan dan
preman – berubah penampilan menjadi santri setia beliau yang alim.
Dan dengan sendirinya pula, fitnah yang pernah
merebak hebat, lambat laun mereda. Omongan-omongan miring mengenai beliau
menghilang, dan orang-orang yang dulunya menjadi pemfitnah dan penghasut
berubah menjadi para santri yang taat beragama dan bersikap takzhim pada
beliau. Ternyata, segala fitnah dan hasutan itu dikarenakan kesalah-pahaman
belaka. Sekarang, orang telah mengerti. Berkat kesabaran dan konsistensi beliau
dalam menjaga syariat, lambat laun mereka menjadi semakin tahu. Coba, seandainya
beliau mundur sebelum berjuang, mungkin Glenmore tidak banyak berubah. Jadi,
alangkah besarnya manfaat kesabaran dalam perjuangan. Dan benarlah firman
Allah:
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan
dibiarkan berkata, “Kami beriman,” sedang mereka tidak diuji?"
Wafat
Dalam usia senja beliau, sekitar tahun 1970,
berkali-kali beliau mengatakan ingin wafat di tanah suci Mekah. Hal itu beliau
ucapkan dalam banyak kesempatan di hadapan orang banyak. Kebetulan ketika
hendak berangkat menunaikan ibadah haji pada 1971 beliau dilanda sakit.
Maka dari itulah, ketika beliau berangkat ke tanah
suci dengan menumpang kapal laut, banyak orang yang waswas. Walaupun beliau
sempat dinyatakan sehat oleh dokter pada hari-hari menjelang keberangkatan,
sesampai di Mekah beliau menderita sakit keras. Begitu parahnya sehingga beliau
hanya tergolek di tempat tidur. Ibu Nyai Zainab, yang menyertai beliau, dengan
teladen meladeni segala kebutuhan beliau. Termasuk, maaf, menceboki beliau
karena beliau benar-benar tidak bisa bangun dari pembaringan. Tak heran jika
sempat terbetik perasaan khawatir di hati Ibu Nyai tersebut, “Bagaimana kalau
aku ditinggal sendirian di sini?” Betapa beratnya bagi Bu Nyai yang tak pernah
keluar dari rumah itu berada dan pulang sendirian dari negeri orang.
Alhamdulillah, beberapa hari menjelang pulang, Kiai
Achmad berangsur sehat. Allah Maha berkehendak. Beliau pun pulang ke tanah air
menyertai istri beliau dalam keadaan sehat wal afiat. Para anggota keluarga,
handai tolan dan para santri yang sempat khawatir merasa lega.
Tetapi beliau tidak lama menyertai beliau. Pada
tahun berikutnya di bulan Syawal, saat berada di Gresik, beliau jatuh di kamar
mandi. Ternyata kejatuhan itu membawa pengaruh yang besar pada kesehatan
beliau. Beliau langsung jatuh sakit dan tidak bisa bangun dari pembaringan.
Beliau kemudian dibawa ke Pasuruan, dan menempati
rumah Kiai Hamid, yakni rumah yang dulu beliau tinggali. Seminggu berada di
sana, beliau dilanda koma. Dan pada tanggal 22 Syawal 1392 H. bertepatan dengan
28 November 1972 M beliau menghembuskan nafas terakhir dalam usia 81 tahun,
meninggalkan 15 putra dan putrid, sejumlah cucu dan dua orang istri: Ibu Nyai
Hajjah Halimah dan Ibu Nyai Hajjah Zainab.
Dengan diantar ribuan pelayat, beliau dikebumikan di
kompleks pemakaman di belakang Masjid Agung Al-Anwar Pasuruan.
Beliau pun menjadi yang terakhir dari tiga serangkai
yang wafat dalam waktu tiga bulan berturut-turut. Yang pertama adalah KH.
Achmad Sahal Pasuruan pada bulan Sya’ban, lalu KH. Ma’shum Lasem pada bulan
Ramadhan, dan beliau sendiri wafat pada bulan Syawal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar