KH.
Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau
mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding
Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih
3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori,
putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq,
ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
Jika
dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman
Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena
Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.
|
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati –
Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki
Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri –
Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam –
Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul
Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad –
Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An
Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal
Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal
sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas;
cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di
belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai
Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori
meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid
kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur.
Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai
Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977),
beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas
thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang.
Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada
putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas
ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori
inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah
itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor
yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara
perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik
warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih.
Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya
bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai
Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan
menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”,
ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai
Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri
dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan
beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar,
penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta
bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi
karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan
tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi
terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi
telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis
ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak
awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan
thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak
asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu
dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu
dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu.
Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar,
bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa
mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok
pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang
badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama
“orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya
rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri
kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah
tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan
sipil maupun militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda
ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui
Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para
penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju
Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti
bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa
Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor,
sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya
menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas
Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang
inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat
negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam
suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori
seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang
ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit
luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini
diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di
Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya
yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia
dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia
bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan
agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur
katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati
pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah
menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu
tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak
aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan
pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan
akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat
mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din
karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang
diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering
disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai
Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam.
Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman
pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.”
Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan
kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif
muda, 30 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar