|
Judul: Gus Dur dan Negara Pancasila
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Penerbit: Tanah Air, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2010
Tebal: xvi + 168 halaman
ISBN: 979-8521-55-2
Peresensi: Abd. Basid
|
Masih
ingatkah kita ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat akhir tahun lalu?
Tidak sedikit masyarakat yang ikut berduka atas wafatnya mantan presiden
Republik Indonesia (RI) itu. Tidak hanya dari kalangan muslim, dari non muslim
pun merasa kehilangan dan tertampar ditinggalnya.
Banyak
warisan yang ditinggalkannya dan dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Coba kita lihat, ketika Gus Dur menjadi presiden RI, beliau berani mendobrak
diskriminasi pada warga Tionghoa, yang selama masa Orde Baru membelenggu
mereka. Selain itu, beliau juga berani mengambil risiko untuk memberikan
kebebasan beribadah kepada para pemeluk agama Konghucu. Lewat “pasukan”
Banser-nya (Barisan Serbaguna Nahdatul Ulama), beliau ikut menjaga kekhusyukan
dan keamanan umat Kristiani saat menjalankan ibadah Paskah dan Natal dari
ancaman teror.
Gus Dur
memang seorang (pemimpin) yang sangat menghargai keberagaman dalam berbagai
hal, terutama keberagaman suku, agama, dan ras. Gus Dur berani mengambil risiko
untuk mewujudkan keberagaman itu.
Untuk itu,
menyebut Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme sangatlah tidak berlebihan. Apalagi
jika kita menilik pandangan dan pembacaannya tentang Pancasila. Gus Dur
merupakan segelintir tokoh muslim yang dengan lantang menolak adanya negara
Islam dan mempertahankan ideologi Pancasila. Baginya, Pancasila tidak hanya
sebuah nama dan lambang, melainkan ia merupakan sistem tata nilai yang berlaku
bagi masyarakat Indonesia.
Dalam hal
ini, Nur Khalik Ridwan lewat buku terbarunya “Gus Dur dan Negara Pancasila”
berhasil membaca dan memetakan gagasan Pancasila ala Gus Dur. Di sana Nur
Khalik Ridwan dengan begitu lihainya mengolah data menjadikan buku ini begitu
sistematis, sehingga tidak harus mengernyitkan dahi bagi mereka yang
membacanya.
Pancasila
dalam perspektif Gus Dur setidaknya bisa didudukkan dalam beberapa hal.
Pertama, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara berstatus
sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti oleh undang-undang dan produk-produk
hukum yang lain. Tata pikir seluruh bangsa, menurutnya, ditentukan oleh
falsafah yang harus terus-menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh
negara.
Kedua,
sebagai falsafah dan ideologi negara, harus jelas dikatakan adanya tumpang
tindih antara Pancasila dan sebagian sisi kehidupan beragama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME).
Di sini, Gus
Dur berargumentasi: satu sisi, agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap
Tuhan YME mengandung unsur-unsur universal (meskipun semuanya juga mengandung
unsur-unsur eksklusif) sehingga sulit dibatasi hanya dalam konteks
keindonesiaan, dan pada sisi lain, Pancasila adalah keindonesiaan itu sendiri.
Gus Dur
menafsirkan bahwa hal ini langsung tampak dalam upaya Pancasila menekankan sisi
kelapangan dada dan toleransi dalam kehidupan antarumat beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Meski
begitu, wawasan tentang kebersamaan antar-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
YME tidak sepenuhnya sama dengan wawasan tentang itu dalam agama-agama dan kepercayaan.
Kegigihan
Gus Dur dalam membela dan mengajarkan arti penting Pancasila bagi bangsa
Indonesia dinyatakan dalam pernyataan tegasnya bahwa, “Tanpa Pancasila negara
akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas, dan ia akan ada selamanya. Ia
adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan
Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia
akan dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, atau
disalahgunakan keduanya” (hal. 43).
Sebagai
seorang tokoh yang sangat menjunjung tinggi Pancasila dalam hal bernegara, maka
sebagai efeknya Gus Dur menolak jika bangsa ini harus menjadi negara Islam.
Bagi Gus Dur negara Pancasila adalah sebuah pilihan. Islam tidak bisa dibuat
dasar dalam bernegara. Dalam bernegara, Islam tidak memiliki konsep bagaimana
harus dibuat dan dipertahankan. Menurut Gus Dur konsep negara Islam itu tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an dan Islam. Jika ada yang mengatakan ada, itu tidak
lebih dari hanya sekedar klaim (hal. 59).
Ada dua
alasan yang dipakai Gus Dur dalam mempertanggung jawabkan pernyataanya di atas,
yaitu alasan empirik (fakta) dan alasan teks. Alasan empiriknya seperti halnya
bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang tegas tentang pengertian kepemimpinan.
Buktinya Abu Bakar dipilih oleh dewan elit saat itu yang berbaiat kepadanya;
Umar dipilih dengan penunjukan oleh Abu Bakar sebelum yang digantikan wafat;
Usman dipilih oleh dewan elit saat itu yang dewan ini ditunjuk oleh Umar; dan
Ali juga dipilih oleh dewan elit muslim.
Sedangkan
alasan soal teks terdapat banyak ayat (baca: teks) yang dikomentari Gus Dur, di
antaranya, adigium penting yang sering digunakan argumentasi oleh mereka yang
mendukung adanya negara Islam. Adigium itu adalah; la islama illa bil jama’ah,
wala jama’ata illa bil imarah, wa la imarata illa bit-tha’ah.
Menurut Gus
Dur, adigium ini memang menyatakan adanya sebuah sistem dalam bernegara, akan
tetapi sistem itu tidaklah spesifik pada sistem islami. Dengan demikian, semua
sistem itu diakui oleh adigium tersebut, asalkan sistem tersebut digunakan
untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam sebuah masyarakat.
Akhir kata,
buku ini selain mengupas pandangan Gus Dur tentang Pancasila dan pentingnya
negara Pancasila bagi bangsa Indonesia, juga merupakan karya otoritatif yang
mengupas prisma pemikiran Gus Dur tentang ideologi bangsa. Dengan kedalaman
analisis dan data menempatkan buku ini sebagai buku yang patut menjadi bahan
refleksi bagi kita semua yang dewasa ini masih ada kelompok-kelompok tertentu
yang masih antipasti negara Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar