|
Judul: NU dan Pancasila
Penulis: Einar Martahan
Sitompul, MTh.
Penerbit: LKIS,
Yogyakarta
Cetakan: I, Juni 2010
Tebal: xxxiv+330 hal.
Peresensi: Ahmad
Shiddiq *
|
NU telah
menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas pada Muktamar ke-27 di Situbondo,
Jawa Timur, 1984. yang menarik bukanlah penerimaan terhadap Pancasila oleh
suatu organisasi, terlebih organisasi keagamaan seperti NU, melainkan
argumentasi keagamaan yang diketengahkan di dalam menerima Pancasila itu. Di
sinilah keunggulan NU. Kendati dijuluki tradisional, organisasi ini bukanlah
suatu organisasi keagamaan yang kaku dalam menanggapi perkembangan, justru di
dalam sifat yang tradisional, NU membuktikan bahwa dirinya memilki banyak
rujukan untuk mengahadapi berbagai perkembangan dan tantangan.
NU dan
Pancasila, Demikian Judul buku ini. mengkaji pemikiran keagamaan dalam NU sejak
berdirinya pada tahun 1926 sampai dengan diterimanya Pancasila sebagai asas.
Sejak terbentuk, NU telah terlibat dalam perkembangan politik, tetapi keputusan
menerima Pancasila berhubungan dengan pergumulan NU baik di dalam internal NU
maupun dalam perhimpunan organisasi politik Islam, menghadapi perkembangan yang
terjadi, serta bagaimana menyalurkan aspirasi-aspirasi yang diembannya sebagai
organisasi bernapaskan Islam. Penerimaan atas Pancasila juga berkait erat
dengan perkembangan yang terjadi dalam tubuh NU, yaitu, konflik antara yang
disebut ulama dan politisi.
Dengan
menerima Pancasila sekaligus NU juga menyatakan dirinya kembali menjadi
organisasi keagamaan, yang kemudian dikenal dengan semboyan “Kembali ke khittah
1926 ”. suatu langkah untuk mengukuhkan kembli peranan ulama sebagaimana
hakikat ketika didirikan pada 1926, agar ulama memegang kendali saepenuhnya
kiprah NU sebagai organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyah).
Buku ini
menyajikan diskursus tentang penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas
setiap organisasi kemasyarakatan, bentuk final NKRI, dan keluarnya dari
keanggotaan Partai Politik (PPP), yang ditetapkan pada Muktamar NU ke-27 di
Situbondo, suatu pergulatan yang kemudian dikenal dengan adagium “Kembali ke
khittah 1926”. Namun demikian, yang menarik untuk ditelaah (kembali) dalam buku
ini adalah proses historis penerimaan NU terhadap Pancasila, penggunaan
kaidah-kaidah agama (ushul fiqh) sebagai landasan, dan sekaligus
pengimplementasiannya dalam praksis ke-jam’iyah-an.
Penerimaan
NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang dan mendalam. NU
adalah organisasi kemasyarakatan yang pertama menuntaskan penerimaannya atas
Pancasila. Kendati demikian, hal itu bukanlah alasan untuk menuduh bahwa
penerimaan itu karena ia bersikap akomodatif, dan juga tidak benar bahwa
kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan atau meninggalkan politik praktis
sebagai sikap yang emosional. NU bukan saja yang pertama yang menerima,
melainkan juga yang paling mudah menerima Pancasila. Adapun argumentasi yang
melandasi NU menerima Pancasila yaitu Pertama, konsep Fitrah. Yang merupakan
sangat penting dalam Islam. Fitrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam
diri manusia untuk menemukan tuhannya. Dorongan tersebut yang menyebabkan manusia
menyerah diri (Islam) kepada Allah.
Kedua,
konsep ketuhanan. NU menilai rumusan yang Maha Esa menurut Pasal 29 Ayat (1)
UUD 1945, yang menjiwai sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan Islam. “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa”
disini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara adalah bersifat
rumit dan krusial. Ketiga, pemahaman sejarah. Maksudnya adalah penerimaan
Pancasila diperkuat oleh Mukatamar NU dengan peranan umat Islam menentang
penjajahan dan mempertahan kemerdekaan bangsa.
Fakta
sejarah dibentangkan dimana peranan umat Islam besar sekali, bukan sebagai
klaim status politis, melainkan untuk menegaskan bahwa umat Islam merupakan
bagian integral dari perjuangan bangsa. Nilai sejarah terletak dalam pemahaman
fakta-fakta yang ada. Dalam rangka nasionalisme, ia dapat menjadi pedang
bermata dua; dapat membangkitkan solidaritas dan sekaligus perpecahan, seperti
yang tarjadi di Dunia Arab modern yang mayoritas bergama Islam.(hal, 189)
Kemudian
penerimaan atas Pancasila berkait erat dengan semangat NU untuk kembali menjadi
organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyah). Sebab jika NU sebagai partai politik
menjadi tidak relevan lagi. Apalagi NU sudah menyadari selama menjadi partai
politik ia telah banyak menghabiskan tenaga untuk prestasi politis, sedangkan
usaha keagamaan terbengkalai. Jika segala aspirasi politis sekarang harus
berlandaskan Pancasila, maka jalan yang terbaik bagi kehidupan dan pengembangan
agama adalah dengan benar-benar menjadi organisasi keagamaan. Itu yang
ditegaskan dalam semboyan kembali ke khittah 1926 saat NU terbentuk sebagai
organisasi keagamaan.
Ada dua
pertanyaan almarhum Gus Dur yang ditempatkan di awal artikel Douglas Ramage,
yaitu “Tanpa Pancasila, negara tidak akan pernah ada”, Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip
yang bersifat lestari. Ia membuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang
mutlak diperjuangkan. Beliau (Gus Dur) akan tetap mempertahankan Pancasila yang
murni dengan jiwa raganya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang
dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh oleh segelintir tentara maupun kelompok
umat Islam. Pernyataan Gus Dur itu disampaikan pada juni 1992, beberapa bulan
setelah Rapat Akbar NU (Maret) yang digelar untuk menegaskan kembali komitmen
NU terhadap dasar negara Pancasila.
Dengan
demikian, Buku ini menjadi referensi wajib bagi siapa saja yang ingin tahu
tentang NU. Karena selain buku ini
ditulis oleh orang luar yang objekvitasnya dapat dipertanggung jawabkan juga
mampu menghadirkan perspektif berbeda perihal pertumbuhan dan perkembangannya.
Sehingga dapat membuka cakrawala baru tentang historis penerimaan NU terhadap
Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar