|
Judul Buku: NU, Politik dan Tradisi
Penulis: Abu Rokhmad
Cetakan: I, 2010
Penerbit: RaSAIL Media Grup Semarang
Tebal Buku: xvi + 252
Harga: Rp. 25.000
Peresensi: Nazar Nurdin*
|
Prof. Dr.
Martin van Bruinessen dalam bukunya NU, menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama’ (NU)
adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di negeri ini. Dalam kajian hukum
Islam, ia tunduk pada madzhab Syafi’i, akidah pada al-Asy’ari dan tasawuf pada
al-Maturidy.
NU sebagai
satu dari sekian ormas keagamaan tampak eksis berdiri paling depan dalam
organisasi yang moderat. Dalam sejarahnya, NU telah berhasil mempertontonkan
suatu ‘adegan peristiwa’ sejalan dengan revolusi kemerdekaan. Tatkala itu, NU
berhasil berkecimpung dan menunjukkan aksi-aksi yang rupawan. Sehingga, ia pun
dikenang menjadi ormas pertama yang menerima dasar negara (Pancasila) sebagai
basis ideologi negara tanpa disertai embel-embel apapun.
Hingga kini,
NU dan para kader-kadernya tersebar luas di seluruh pelosok Nusantara, bahkan
di seluruh dunia. Ia mempunyai basis kuat di pedesaan. Ia mempunyai ribuan
pondok pesantren yang terus mencetak kader-kader militan. Pondok Pesantren
dijadikan ajang menimba ilmu; baik ilmu keagamaan, ilmu kemasyarakatan, maupun
ilmu bertawadhu’ kepada seseorang. Bagi sebagian pihak, pondok pesantren adalah
representasi dari NU.
Bagi Abu
Rokhmad, NU bukan hanya dimaknai sekedar sebagai organisasi. Namun, ia menjadi
ruh bagi sebuah kultur (baca-tradisi) dalam relung kehidupan masyarakat
Indonesia yang umumnya bermazhab Syafi’i. NU berpedoman pada tradisi toleran
(tasamuh), keseimbangan (tawazun) dan
berlaku adil (tawasuth). NU pun terus memupuk seseorang menjadi pribadi
yang bermartabat, pribadi yang moderat.
Sayangnya,
teori itu tidak diimplementasikan dalam lapangan. Jamak dari kader-kader NU
yang mulai menanggalkan identitasnya. Umumnya, ketika disinggungkan dengan
politik praktis, kader mengalami pergeseran transformasi yang luar biasa.
Santri yang semula ta’dhim pada kiai, mulai berani berontak.
Untuk
menjaga tradisi agar tetap utuh, diperlukan suatu kajian yang komprehensif
dengan mengkaji kembali doktrin-doktrin yang dipegang NU yakni Aswaja. Sebab,
kajian itu memiliki akar historis yang cukup panjang dan merupakan langkah
terobosan yang strategis.
Selama ini,
masyarakat cenderung salah kaprah ketika memandang doktrin Aswaja. Bagi Abu
Rokhmad yang sependapat Said Aqil Siradj menuturkan bahwa ketika mereka
memahami Aswaja, selanjutnya mereka mengidentikkan Aswaja dengan ‘Islam’.
Kedua, sebagian lain melihat Aswaja hanya sebagai madzhab. Ketiga, ada tiga
pula yang mengartikan Aswaja sebagai karakteristik komunitas kaum Muslimin yang
mengamalkan aktivitas seperti tahlilan, manaqiban, selametan, berjanjian,
qunutan dan amalan sejenisnya. Keempat, bahkan ada juga yang memakai term
Aswaja sebagai langkah purifikasi ajaran Islam.
Buku setebal
252 halaman ini menyajikan ulasan yang cukup menarik. Buku dibagi menjadi 3
kategori. Kategori pertama pada aspek sejarah dan ideologi NU yakni tentang
Aswaja (The people of Tradition of community). Bagian kedua, tentang kedudukan
NU dalam Khittah dan Politik, dan ketiga tentang pergumulan NU dalam Islam dan
Tradisi.
Nah, tradisi
‘kaum sarungan’ ini butuh sekali penjagaan agar ia tetap eksis berjalan, agar
tidak digerus oleh faham-faham keagamaan yang ‘menyesatkan’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar