Ada
beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut
misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh
Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri,
Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini
termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di
Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa
tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh
utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten,
Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi
rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri.
|
Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad
Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah
diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik
langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan
Tanara
menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari
Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai
Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah
Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak
langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan
di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran
Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib
Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad
Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid
Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah.
Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu
mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak
menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat
tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi
pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu
berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan
ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di
Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil
Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam
Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam
Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi
murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck
Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885
menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan
tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya
yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H.
Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari
Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah
air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam
menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia
termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai
persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary
of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya
malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai
disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan
lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red)
seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh
Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid,
Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz
Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya
tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya
ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal
sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas,
Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam.
Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia
memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan
reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif
dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial
dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan
para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama
Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan
pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga
ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab
Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah
satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli
ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat
ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid
kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak
berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka
lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat
ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut
bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi
Al-Bantani.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak
dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an
berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci
Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain
(diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai
yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai
masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang
berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya
Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah
satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab
Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah
Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh
Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan
disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari
kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah
kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam,
padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun
tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila
kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada
Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki
beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah
itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat
Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau
tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun
setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan
tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana
lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah
Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun
dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan
makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang
mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak
hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati
(the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis
dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia
turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya.
Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim
Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang
mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau
terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia
sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian
para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan
keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan
Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan
dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU
dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam
sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya,
dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan
dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika
menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang
sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU
juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan
begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir
tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi
Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran
demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan
klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan
secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola
pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di
Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan
pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini
dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik
pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup
Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd
al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal
dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara,
Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M.
Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di
Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh
kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara,
Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu
diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu
yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan
yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu
keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama
Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam
Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina
Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk
pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk
belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama
ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun
1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu
ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan
kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat
pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari
berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat
lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya
yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas
(Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani
Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada
Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di
Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan
pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut
penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut
ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf
Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah
dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah
selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan
Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman
pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870
kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis
banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan
beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal
dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan
itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan
sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab
komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi
juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami
perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi
dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu
dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya
mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa
karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir
dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori
salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat
gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam
al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin
Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan
dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia
sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak
ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana
santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu
sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak
mengalami kesulitan.
Bidang
Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran
pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh
kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi,
bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali
bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang
ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang
penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan
Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi
pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku
dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy).
Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath
ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar
al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya,
dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari
dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi
banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai
bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act),
karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian
: wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada
Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak
melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang
boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang
membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai
orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang
kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy,
menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi
pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban
seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap
keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga
sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan
untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang
Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya,
Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah
antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut
oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya
ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua
perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya
manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks
Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan
kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir
kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan
konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur
menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah
perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah
melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat
melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks
Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat
menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.
Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak
ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan
kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi
Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul
dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa
bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan
seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena
memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika
Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks
Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh
Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala
Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i
secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya
untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan.
Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai
daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para
ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah
singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya
karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak
tersebar di Mesir.
Sufi
Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan
aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin
ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan
tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia
banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan
standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat
ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu
Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak
sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan
rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada
gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin
sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia
memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan
hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi
mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat
merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di
laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal
dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari
syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak
menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan
hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada
konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf.
Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model
paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi
Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi
tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel
dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih
banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru
menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi
pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf.
Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya
Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era
modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai
contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam
batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan
tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat
diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai
derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak
mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia
spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab).
Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat
terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin
semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi
keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap
moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid
Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia,
tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang
durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari
Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda
sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi
menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman.
Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi
yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung
dalam persoalan politik. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana
keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam
laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap
kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti
dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di
bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang
bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang
di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat
berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan
bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan
bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai
Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya
karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh
pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di
Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah
agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T.
Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada
sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum
tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam,
Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode
1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan
Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum
kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia
mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren.
Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul
tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang
dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren
terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya
Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi
termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam
pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH.
Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul
Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean,
yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung
Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah
bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan,
Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang ,
Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH.
Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah
pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh
ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia
dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran
modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya
gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama
tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan
Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada
maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang
sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh
Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz Termas,
Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim
Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi
yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim
Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar
kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di
Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap
pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih
pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan
karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya
seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya
Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya pada
santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi
lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan dengan pesantrennya
di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi.
Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan
Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah
wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah
Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga
turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan
referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai
kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di
dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin pondok
pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di
berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional
Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam
mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.
Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi
wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana
penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran
ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana
sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks
di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi
lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai
dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali,
telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik
beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.
Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari
generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah
politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung
pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para
ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang
terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari
Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas
melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan
penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu
berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti
isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis
secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul
Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi
keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan
representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah
gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi
tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid
terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi
banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis
perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya.
Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut
institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten.
Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati
puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani
wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota
Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar