Ulama
Panutan Umat
Salah
satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku
yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus
pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi
Suatu
waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia
mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling.
Ketiganya adalah santri yang dibencinya.
|
Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati
(Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya
Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah
satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak
perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala
milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar
kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu
menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu.
Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para
santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid
milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat
Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro,
Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat
dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari
silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan
pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari
Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit
Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman
bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah
menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan
keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola
terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai
belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6
tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa
Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian
melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh
KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain
mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir
Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng,
pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara
bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren.
Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena
ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu
kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan
studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi
yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab,
Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke
Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain
belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di
Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar
kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja,
namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan
berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh
pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes
Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia
termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja
kepada masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya
menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan
hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan
dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa
reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara
memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan
tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis
keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah
perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia
seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang
sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi
menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit
Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit,
terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari
orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan
musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar
kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan
malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai
Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa
pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam
bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia
diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan
melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput
dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan
terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia
Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama
7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon).
Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati,
Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan
Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan
penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung
dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin
Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda,
tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam.
Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang
dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak
lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok
teladan sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan
pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada
huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai
pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika
makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi
sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan
pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal
gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu
dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya.
Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah
barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan
ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan
para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh
kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia
tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai
merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya.
Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun
hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi
dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai
Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel
di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan
ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya
habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh
salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah
kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak
kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas
mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang
tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain
dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i (
menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh
salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok).
Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk
mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil
berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya
orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H.
Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH.
Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia
pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya
adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991
(17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari
perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari
perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah
duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek
makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam,
Blokagung, Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar