Gerakan
kebangkitan kembali (revival) yang dipimpin Syekh Abdul Karim alias Kiai
Ageng memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan
bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal.
Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama,
dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah,
agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang
pokok pula.
Senin,
13 Februari 1876. Haji Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia terpaksa
meninggalkan Banten menuju tanah airnya yang kedua, Makkah, menyusul
pengangkatannya sebagai Pemimpin Tarekat Qadiriah, menggantikan Syekh Ahmad
Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang pengawal, dan
30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia.
|
Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara
besar-besaran ke jalan, Residen Banten meminta Kiai Abdul Karim mengubah rute
perjalanannya. Rencananya singgah di beberapa tempat di Tangerang
dibatalkan;
diputuskan ia akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji
dari Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci. Selain itu, satu
pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, janda Tumenggung Karawaci
dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota
keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah kolonial
sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan para pengikut
Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai, seperti Pasilian dan
Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan salam perpisahan—dan
semoga Kiai kembali.
Tak syak lagi, Haji Abdul Karim adalah salah satu
ulama yang sangat dihormati dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung
abad ke-19. Ia digelari Kiai Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai
Wali Allah, yang telah dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang
disebut-sebut sebagai petunjuk kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika
seluruh daerah dilanda banjir air Sungai Cidurian; kedua, setelah ia dikenai
hukuman denda, residen diganti dan bupati dipensiun.
Besarnya pengaruh Kiai Abdul Karim, juga tampak
ketika ia melangsungkan pernikahan putrinya. Seluruh desa Lampuyang, tempat
tinggalnya, dihias dengan megah. Kiai-kiai terkemuka – termasuk dari Batavia
dan Priangan – datang di pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik
dari Batavia dan berlangsung sepekan itu.
Sejak muda Abdul Karim berguru kepada Syekh Ahmad
Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua cabang ilmu
keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan bermukim di Makkah
sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul ‘Arifin ini – kitab pedoman
praktis untuk para pengamal tarekat di Asia Tenggara – mengajar di Masjidil
Haram sampai wafatnya pada 1875. Ulama terkemuka ini punya banyak pengikut,
sehingga ajaran Qadiriah menyebar di berbagai daerah di Nusantara, seperti
Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura, dan Banten. Kecuali di Madura,
semua pengikut tersebut berada di bawah bimbingan Haji Abdul Karim. Boleh
dikatakan, Abdul Karim adalah murid Syekh Sambas yang paling terkemuka. Tak
heran, jika dia mendapat kepercayaan gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat
Qadiriyah.
Tugas pertama yang diemban Haji Abdul Karim adalah
menjadi guru tarekat di Singapura. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa
asalnya, Lampuyang, Tanara, pada tahun 1872. Ia mendirikan pesantren, dan
karena sudah amat terkenal, dalam waktu singkat ia sudah banyak memperoleh
murid dan pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti,
dialah yang paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala itu.
Kurang lebih tiga tahun Kiai Abdul Karim tinggal di
Banten. Ditunjang kekayaan yang dimiliknya, ia mengunjungi berbagai daerah di
negeri ulama dan jawara itu, sambil menyebarkan ajaran tarekatnya. Selain
kalangan rakyat, ia juga berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk
mendukung dakwahnya. Tidak kurang dari Bupati Serang sendiri yang menjadi
pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A
Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya, dan mereka amat
terkesan dengan dakwahnya. Alhasil, Kiai Abdul Karim sangat populer dan sangat
dihormati oleh rakyat; sedangkan para pejabat kolonial takut kepadanya.
Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan tentu saja
kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin naik. Tidak
berlebihan jika dikatakan, Kiai Abdul Karim benar-benar orang yang paling
dihormati di Banten.
Sebelum kedatangan Kiai Agung dengan tarekat
Qadiriahnya, para kiai bekerja tanpa ikatan satu sama lainnya. Tiap kiai
menyelenggarakan pesantrennnya sendiri dengan caranya sendiri dan bersaing satu
sama lainnya. Maka, setelah kedatangan Kiai Abdul Karim, tarekat Qadiriah bukan
saja semakin mengakar di kalangan rakyat, tapi mampu mempersatukan para kiai di
Banten. Penyebaran tarekat ini diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid
Haji Abdul Karim yang paling setia, dari Makkah
Kiai Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu
memungkinkannya menjelajahi berbagai daerah di Banten. Dalam
kunjungan-kunjungan itu dia tak henti-henti berseru kepada rakyat supaya
memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan lebih taat beribadah.Ia
menjelaskan bahwa aqidah (keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus
dimurnikan. Abdul Karim memfokuskan zikir sebagai tema keangkitan kembali
kehidupan agama (revival). Maka zikir diselenggarakan di mana-mana,
menggelorakan semangat keagamaan rakyat. Dan Berkat kedudukannya yang luar
biasa, khotbah-khotbah Kiai Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penduduk.
Dalam waktu singkat, setelah Haji Abdul Karim
memulai kunjungannya dari satu tempat ketempat lain, daerah Banten diwarnai
kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya. Pengaruh dari meluasnya kegiatan
keagamaan ini adalah bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang
penguasa asing. Kebetulan pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan
rakyat kepada pemerintah kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi mereka
yang merugikan rakyat. Dalam situasi demikian, para ulama secara bertahap
membangunkansemangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial Belanda.
Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian rupa sehingga beberapa ulama
merencanakan waktu untuk memberontak terhadap Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri
menganggap bahwa pemberontakan belum tiba saatnya karena rakyat belum siap.
Haji-haji
Berjiwa Pemberontak
Seperti diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo,
gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Kiai Abdul Karim memang
memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan.
Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya
terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus
kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar
dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula. Setelah
Haji Abdul Karim meninggalkan Banten, menurut Sartono, gerakan itu berpaling
dari semata-semata sebagai gerakan kebangkitan kembali. Semangat yang sangat
anti asing mulai merembesi gerakan tarekat yang telah ditumbuhsuburkan Kiai
Abdul Karim. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru tarekat yang berjiwa
pemberontak menempatkan ajaran tarekat sepenuhnya di bawah tujuan politik.
Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di
antara tiga kiai utama yang memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat
Banten di Cilegon pada tahun 1888. Dua tokoh kunci lainnya adalah KH Wasid dan
KH Tubagus Ismail. Sebelum bertolak ke Makkah, sekali lagi ia berkeliling
Banten. Di tempat-tempat yang dikunjunginya, ia berseru kepada rakyat agar
berpegang teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar.
Ia memilih beberapa ulama terkemuka untuk memperhatikan kesejahteraan tarekat
qadiriah. Ia juga pamit kepada para pamong praja terkemuka, dan berpesan kepada
mereka untuk menyokong perjuangan para ulama dalam membangun kembali kehidupan
keagamaan, dan agar selalu minta nasihat kepada mereka mengenai soal-soal
keagamaan.
Menjelang keberangkatannya, kepada murid-murid
dekatnya Syekh Abdul Karim mengatakan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke
Banten selama daerah ini masih dalam genggaman kekuasaan asing. Dia memang
tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah
keberangkatannya ke Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi
murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara
murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam
pemberontakan Banten, antara lain Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari
Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari
Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai
pribadi-pribadi yang punya karisma.
Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak
menyurutkan pengaruhnya di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat
selah dilanda rindu dan ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya
sendiri sudah tidak sabar menantikan seruannya untuk berontak.
Snouck Hurgronje, yang menghadiri pengajiannya di
Makkah pada 1884-1885, menceritakan:
“Setiap malam beratus-ratus orang yang mencari
pahala berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar zikir dari dia, untuk
mencium tangannya, dan untuk menayakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan
berapa tahun lagi pemerintahan kafir masih akan berkuasa.”
Tetapi Syekh Abdul Karim tidak memberikan jawaban
pasti. Dia selalu memberikan jawaban-jawaban yang samar tentang soal-soal yang
sangat penting seperti mengenai pemulihan kesultanan atau saat dimulainya
jihad. Dia hanya mengisyaratkan bahwa waktunya belum tiba untuk melancarkan
perang sabil.***
Dilema
Guru, Dilema Murid
Pada 1883 murid Syekh Abdul Karim, Kiai Haji Tubagus
Ismail, kembali dari Makkah, mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat
Qadiriah di kampung halamannya, Gulacir. Bangsawan yang ingin menghidupkan
kembali kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali – ia tidak mencukur
rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak pernah
makan apa-apa. Ditambah bahwa ia juga cucu Tubagus Urip, yang sudah dikenal
sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH Tubagus Ismail sudah punya banyak
pengikut , dan kepemimpinannya semakin diakui di Banten. Menyadari dirinya
mulai menarik perhatian umum, ia pun segera melancarkan propaganda untuk
melawan penguasa kafir. Banyak ulama yang mendukungnya seperti Haji Wasid dari
Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, selain kiai-kiai
seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk
mengkonkretkan rencana pemberontakan, rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di
kediaman Haji Wasid.
Pada Maret 1887 Haji Marjuki, yang sering pulang
pergi Banten-Makkah, tiba di Tanara. Murid kesayangan dan wakil Haji Abdul
Karim ini juga sahabat dekat Haji Tubagus Ismail. Menurut dugaan para
pendudukung pemberontakan, kedatangan Haji Marjuki itu adalah atas permintaan
sahabatnya itu. Haji Marjuki segera melakukan kunjungan-kunjungan ke
daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk mendakwahkan
gagasan tentang jihad. Propagandanya cepat diterima umum, karena ia bertindak
atas nama Haji Abdul Karim. Dilaporkan, setelah berbagai kunjungannya itu,
masjid-masjid dipenuhi orang-orang yang beribadah, jamaah pada hari-hari Jum’at
meningkat tajam. Dalam berdakwah di luar Banten, Haji Marjuki dibantu oleh Haji
Wasid, yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiai di daerah Jawa Barat.
Dikatakann, kedua haji ini sesungguhnya merupakan jiwa gerakan jihad di Banten.
Bahkan pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen, menganggap bahwa
Haji Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas pemberontakan itu.
Tetapi, menjelang pemberontakan meletus, Haji
Marjuki segera berangkat ke Makkah bersama istri dan anaknya. Sebelum berangkat
ia sempat memberkati pakaian putih yang akan dikenakan para pemberontak di
masjid kediamannya di Tanara. Rupanya ia tidak sependapat dengan kiai lainnya,
khususnya Haji Wasid, yang akan memulai pemberontakan pada bulan Juli. Kepada
mereka ia menjelaskan bahwa pemberontakan itu terlalu dini, dan ia meninggalkan
Banten sebelum pemberontakan pecah. Dan jika pemberontakan itu berhasil, ia
akan mengundang Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke Banten dan
ikut serta dalam perang sabil.
Di Makkah Haji Marjuki melanjutkan pekerjaan
lamanya, yatu mengajar nahwu, sharaf, dan fikih. Muridnya tergolong banyak. Ia
juga tidak pernah menyembunyikan sikap politiknya. Ia misalnya mengecam
pemberontakan yang dipimpin Haji Wasid yang dinilainya terlalu pagi dan
menimbulkan korban yang sia-sia. Menurutnya, agar berhasil, pemberontakan harus
pecah di seluruh Nusantara, selain bahwa pemberontak harus punya cukup uang dan
senjata. Karena pendapatnya itu, terjadilah perselisihan yang sulit didamaikan
dengan Haji Wasid dan kawan-kawan. Dan kepada mereka ia mengatakan bahwa tangan
kananya yang berpuru tidak memungkinnya aktif dalamperjuangan. Andaikan dia
tetap di Banten, ia pasti akan menghadapi dilema: dibunuh oleh seradu-serdadu
Belanda atau tidak berbuat apa-apa dan menghadapi risiko tindakan pembalasan
Haji Wasid. Maka hanya satu alternatif – pergi ke Makkah. Lagi pula istri dan
anak-anaknya masih ada di sana. Apakah alasana-alasan itu merupakan dalih yang
dibuat-buat untuk meninggalkan medan pertempuran menjelang saat meletusnya
pemberontakan, dan merupakan bukti bahwa pada saat-saat terakhir Haji Marjuki
hanya mementingkan keselamatannya sendiri? .
Kedudukan pribadi yang sulit seperti itu, sebenarnya
pernah dialami beberapa tahun sebelumnya oleh guru Haji Marjuki sendiri, Syekh
Abdul Karim. Hanya saja sang guru tampaknya lebih “beruntung” karena keburu
dipanggil untuk menggantikan kedudukan Syekh Sambas. Bukankah Haji Abdul Karim
dulu, ketika masih di Banten, berpendapat bahwa rakyat sebenarnya belum siap
untuk mengadakan pemberontakan? Bahkan, di tahun-tahun ketika murid-muridnya
tidak sabar menungu “fatwa” untuk mulai berjihad, dia tidak pernah memberikan
kepastian waktu. Sementara itu, sebagai kiai agung dan pengaruh, ia dituntut
untuk merestui dan secara tidak langsung memimpin pemberontakan. Jadi, apakah
sang murid kesayangan sebenarnya hanya mengikuti pendapat gurunya, Syekh Abdul
Karim? Wallahu a’lam.
Yang pasti, setelah pemberontakan dipadamkan,
pemerintah kolonial terus memburu orang-orang yang terlibat atau mereka yang
diduga terlibat dalam terlibat. Ada yang dihukum mati dengan cara digantung di
Alun-alun Cilegon, diasingkan, dipenjara, dan, yang laing ringan, dikenai
hukuman kerja paksa. Beberapa pemimpin pemberontak berhasil meloloskan diri,
dan di antaranya ada yang lari ke Makkah. Dan meskipun diburu sampai Tanah
Suci, pemerintah tidak bisa menjangkau mereka. Sementara itu, Kiai Abdul Karim
dan Haji Marjuki terus dimata-matai.
Sekarang, jejak Syekh Abdul Karim kita temukan dalam
pelbagai kumpulan tarekat. Organisasi-organisasi tarekat di Tanah Air, terutama
Jawa (di pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang, Pagentongan, Bogor, Suralaya,
Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan Tebuireng, keduanya di Jombang),
yang paling berpengruh dan memiliki puluhan ribu pengikut, menyambungkan
silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.***
Daftar
Silsilah dan Aspek Sosiologis
Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial
dalam melakukan peran-peran kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial.
Karenanya, nilai-nilai yang diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari
dalam kehidupan masyarakat. Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem
kekerabatan, perkawinan hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar
pesantren dan lembaga-lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai
dapat berperan secara maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.
a.
Kekerabatan
Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki
garis keturunan yang selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah
para kyai dan keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan
Imam Nawawi Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut
apabila dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama
tasawuf sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
K.H.
Asytari
Imam
Nawawi
Kyai
Umar
Kyai
Arabi
Kyai
Ali
Kyai
Jamad
Kyai
Janta
Kyai
Masbugil
Kyai
Masqun
Kyai
Masnun
Kyai
Maswi
Kyai
Tajul Arusy Tanara
Maulana
Hasanuddin Banten
Maulana
Syarif Hidayatullah
Raja
Atamuddin Abdullah
Ali
Nuruddin
Maulana
Jamaluddin Akhbar Husain
Imam
Sayyid Akhmad Syah Jalal
Abdullah
Adzmah Khan
Amir
Abdullah Malik
Sayyid
Alwi
Sayyid
Muhammad Mirbath
Sayyid
Ali Khali’ Qasim
Sayid
Alwi
Imam
Ubaidiilah
Imam
Ahmad Muhajir Ilallahi
Imam
Isa al-Naqib
Imam
Muhmmad Naqib
Imam
Ali Ardhi
Imam
Ja’far al-Shadiq
Imam
Muhammad al-Baqir
Imam
Ali Zainal Abidin
Sayyidina
Husain
Sayyidatuna
Fathimah Zahra
Nabi
Muhammad Saw.
Seorang kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh
masyarakat mendapat karamah dan berkah dari Allah. Karamah dan berkah ini
merupakan hal penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk mengembangkan dan
melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para kyai dan
keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap mempertahankan kedudukannya
sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial di masyarakatnya dengan segala
prestise sosial yang dimilikinya.
b.
Guru-Murid
Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari
terjalinannya ikatan jaringan intelektual antara para ulama di pusat-pusat intelektual
Islam, seperti Mekkah dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para
muridnya di Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga
setiap ada gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh
dalam kehidupan keagamaan di Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di
Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau syaikh-syaikh yang tinggal di
negeri-negeri Arab tersebut [35] .
Berikut ini contoh dari jaringan intelektual seorang
murid dengan para guru-gurunya. Kyai Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah
menjadi seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki
silsilah guru-guru tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang
seangkatan dengannya. Silsilah tersebut adalah sebagai berikut:
Nabi
Muhammad Saw.
Ali
bin Abi Thalib
Husein
bin Fatimah Al-Zahra
Imam
Zainal Abidin
Syeikh
Muhamad al-Baqir
Syeikh
Ja’far al-Shadiq
Syaikh
Musa al-Kadzim
Syeikh
Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha
Syeikh
Ma’ruf al-Karkhi
Syaikh
Sari al-Saqati
Syeikh
Abi al-Qasim Junayd
Syeikh
Abu Bakar al-Shibli
Syeikh
Abd al-Wahid al-Tamimi.
Syeikh
Abi al-Faraj al-Tartusi
Syeikh
Abi Hasan al-Hiraki
Syeikh
Abi Sa’id Mubarak al-Mahzum
Syeikh
Abd al-Qadir al-Jilani
Syeikh
Abd al-Aziz
Syeikh
Muhammad al-Hattaki
Syeikh
Syams al-Din
Syeikh
Syaraf al-Din
Syeikh
Zayn al-Din
Syaikh
Nur al-Din
Syeikh
Waliyu al-Din
Syeikh
Husham al-Din
Syeikh
Yahya
Syeikh
Abi Bakr
Syeikh
Abd al-Rahim
Syeikh
Ustman
Syeikh
Kamal al-Din
Syeikh
Abd al-Fattah
Syeikh
Murod
Syeikh
Syams al-Din
Syeikh
Ahmad Khatib Sambas
Syeikh
Abdul Karim Tanara
K.H.
Asnawi Caringin
K.H.
Ahmad Suhari
K.H.
Khodim
c.
Organisasi Massa
Para kyai di Banten dalam membangun jaringan
sosialnya tidak hanya terbatas pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga
pada organisasi-organisasi sosial yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan
yang ada di Banten adalah yang paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk
membangun jaringan sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional
seperti Nahdatul Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar
dan Masyarikul Anwar.
Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan
Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu
organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya
semata. [36] Pada tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi
lokal di daerah Banten, yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya
memiliki karateristik yang hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap
akan mewakili yang lain.
Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama
atau tokoh masyarakat, juga banyak yang mendirikan pesantren atau madrasah.
Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama Al-Khaeriyah.
Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga
induk dan antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah
tetap terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional
itu para alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama.
Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang
mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah:
K.H.
Amad dari Pulo Merak-Serang
K.H.
Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon.
K.H.
Mohammad Nur dari Kramat Watu, Serang.
K.H.
Muhamad dari Bojonegara Serang
K.H.
Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang
K.H.
Mohamad Syadeli Kejayaan dari Kramat Watu, Serang.
K.H.
Ismail dari Keragilan Serang.
K.H.
Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang
Kyai
Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang
Kyai
Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.
K.H.
Rafe’i dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,
K.H.
Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar