Ahmad
Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat,
pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah
bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib
terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa
tersebut, tradisi merantau (nomaden) memang masih menjadi bagian cara hidup
masyarakat di Kalimantan Barat.
|
Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan
masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib
Sambas diasuh oleh pamannya
yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad khatib Sambas
menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari
satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang
terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’
Kesultanan Sambas.
Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan
ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya
untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah. Maka pada
tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan
dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab
keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas
memutuskan menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.
Guru-gurunya
:
1.
H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.
2.
Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari
3.
Syeh Daud Bin Abdullah Al Fatani (ulama asal Patani Thailand Selatan yang
bermukim di Mekkah)
4.
Syeh Abdusshomad Al Palimbani (ulama asal Palembang yang bermukim di Mekkah)
5.
Syeikh Abdul hafidzz al-Ajami
6.
Syeh Ahmad al-Marzuqi
7.
Syeh Syamsudin, mursyid tarekat Qadiriyah yang tinggal dan mengajar di Jabal
Qubays Mekkah.
Ketika kemudian Ahmad Khatib telah menjadi seorang
ulama, ia pun memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan
keagamaan di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah
pernah kembali lagi ke tanah air.
Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu
Syeikh Sambas, demikian para ulama menyebutnya kemudian, melalui
ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari Makkah. Syeikh Sambas merupakan
ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka
dalam bidang fiqh dan tafsir, termasuk Syeikh Nawawi al-Bantani adalah salah
seorang di antara murid-murid Beliau yang berhasil menjadi ulama termasyhur.
Salah satunya adalah Syeikh Abdul Karim Banten yang
terkenal sebagai Sulthanus Syeikh. Ulama ini terkenal keras dalam imperialisme
Belanda pada tahun 1888 dan mengobarkan pemberontakan yang terkenal sebagai
pemberontakan Petani Banten. Namun sayang, perjuangan fisiknya ini gagal,
kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syeikh Ahmad
Khatib Sambas.
Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan
disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan para Syeikh besar lainnya yang bukan
pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad
Hasbullah bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di Makkah.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah,
ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan
pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas
adalah sebagai seorang Ulama (dalam asti intelektual), yan g juga sebagai
seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang
memiliki banyak sekali murid di Nusantara.
Hal ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah
wa Naqsabhandiyyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian
masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon,
dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei
Darussalam.
Peranan
dan Karyanya
Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut
Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru Bangkol
juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa
perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka
pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.
Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah mempunyai
peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu
membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad
Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para
pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa
mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui
gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini
dapat dikenali dari karyanya berupa kitab FATHUL ARIFIN nang merupakah
notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya,
Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tanggal
tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir,
muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah.
Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan
pegangan oleh para mursyid dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah
untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian
maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di
panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.
Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur
sebagai seorang tokoh sufi, namun Beliau juga menghasilkan karya dalam bidang
ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini
dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi,
Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama
penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah
seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.
Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula
suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid
Beliau selain amalan Tariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.
Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan
tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di
Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6
Syawal 1422 H/20 Disember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya
terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis,
11 Muharam 1281 H. oleh Haji Ahmad bin Penggawa Nashir.
Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya
terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab,
menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh
Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul
Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya
Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan
Ahmad Ali.
Murid-Muridnya
antara lain :
1.
Syeh Nawawi Al Bantani
2.
Syeh Muhammad Kholil Bangkalan Madura
3.
Syeh Abdul Karim Banten
4.
Syeh Tolhah Cirebon
Syeh Nawawi Al Bantani dan Syeh Muhammad Kholil
selain berguru kepada Syeh Ahmad Khatib Sambas juga berguru kepada Syeh Ahmad
Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafii di Masjidil Haram Mekkah.
Sepeninggal Syeh Ahmad Khatib Sambas, Imam Nawawi Al
Bantani ditunjuk meneruskan mengajar di Madrasah beliau di Mekkah tapi tidak
diberi hak membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Sedangkan
Syeh Muhammad Kholil, Syeh Abdul Karim dan Syeh Tolhah diperintahkan pulang ke
tanah Jawa dan ditunjuk sebagai Khalifah yang berhak menyebarkan dan membaiat
murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Murid murid Syeh Ahmad Khatib Sambas diatas adalah
guru para Ulama-Ulama Nusantara generasi berikutnya yang dikemudian hari
menjadi ulama yang mendirikan pondok pesantren dan biasa dipanggil dan digelari
sebagai KYAI, Tuan Guru, Ajengan, dsb.
Sebagai contoh, Syeh Muhammad Kholil Bangkalan
Madura mempunyai murid-murid antara lain :
1.
KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU)
Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2.
KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah,
Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu
orang santri.
3.
KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang.
Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
4.
KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5.
KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6.
KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga
dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai
sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7.
KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8.
KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan,
Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
9.
KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton,
Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan
sebuah Universitas yang cukup megah.
10.
KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung
pengobatan para morphinis.
11.
KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari
Bondowoso.
12.
KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung,
Sumenep.
13.
KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren
ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu
dan sharaf.
14.
KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15.
KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16.
KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17.
KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18.
KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19.
KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20.
KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21.
KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren
ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga
sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau
patut diduga terdapat subhat.
22.
KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23.
KH. Zainudin : Nganjuk
24.
KH. Maksum : Lasem
25.
KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26.
KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27.
KH. Munajad : Kertosono
28.
KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29.
KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30.
KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31.
KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
32.
KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33.
KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34.
KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35.
KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36.
KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara,
Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar