|
Judul: Membuka Pintu Langit
Penulis: A. Mustofa Bisri
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
cetakan: Pertama, Agustus 2011
Tebal halaman: viii + 216
Peresensi: Yayan Rubiyanto
|
Moral dan
etika masyarakat tampaknya menjadi hal penting yang perlu mendapat perhatian.
Berbagai kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa
negara kita terjangkit penyakit degradasi moral. Banyak media mensoroti
kasus-kasus kekerasan yang terus saja terjadi, sebut saja kasus ‘Mesuji’, kasus
‘Bima’, kasus freepot, dan lain sebagainya.
Terlepas
dari sudut pandang hukum, ternyata ‘masyarakat atas’ seakan dengan seenaknya
menerapkan kebijakan yang menimbulkan keresahan dikalangan ‘masyarakat bawah’
sehingga muncul protes dari pihak yang merasa dirugikan. Namun bukan hati
nurani yang dikedepankan sebaliknya kekuatan ditunjukan disana, akibatnya
bentrok tidak dapat dihindarkan. Masyarakat bawah mudah sekali marah. Begitu
pula masyarakat atas telah mengabaikan peran mereka yang seharusnya mengayomi
masyarkat yang dibawahnya.
Bukan hanya
hal-hal tersebut, di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini ternyata umat
beragamanya masih dengan mudah mencela bahkan berbuat anarkis terhadap orang
atau kelompok agama lain yang berbeda. Tidak berhenti sampai disitu, kekerasan
antar kelompok dalam satu agama pun kerap terjadi di negeri ini. Seperti kasus
kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah yang terjadi berulang-ulang dan yang
terkini yaitu kasus penyerangan terhadap penganut Syiah di Sampang.
Hanya karena
beda interpretasi terhadap suatu pemahaman keagamaan, bukannya pendekatan
dialog cerdas yang digunakan namun lagi-lagi kekerasan yang ditempuh. Kekerasan
seakan-akan dianggap menjadi cara untuk menegakkan kebenaran. Mereka
menggunakan bahasa kasar, mencela orang lain, menggunkan cara yang tidak sesuai
dengan norma dan moral untuk menyampaikan suatu kema’rufan, kebaikan, dan
kebenaran -menurut pandangan mereka-. Mereka tidak menyadari bahwa suatu
kebaikan hendaknya disampaikan dengan baik, bukan dengan cara-cara yang
melanggar moral dan etika. Masih banyak sisi lain dalam kehidupan masyarakat di
bangsa ini yang mengabaikan moral dan etika.
Buku yang
ditulis oleh Gus Mus -panggilan akrab A. Mustofa Bisri- ini menyoroti berbagai
hal terutama yang berkaitan dengan moralitas masyarakat. Baik itu masyarakat
yang duduk di kursi kekuasaan (pemerintah), wakil rakyat, politikus, pengusaha,
umat beragama bahkan rakyat biasa. Dengan gaya bahasa yang lugas dan sederhana,
dalam buku yang terdiri dari beberapa sub judul ini penulis menuangkan
keperihatinan akan perilaku segenap elemen masyarakat yang mengindikasikan
degradasi moral yang kerap dilupakan oleh kebanyakan orang. Sekaligus
memberikan pencerahan dan membeningkan hati kita.
Seperti yang
diungkapkan di halaman 102: Begitu fanatiknya terhadap kepentingan diri sendiri
atau paling banter kelompoknya sendiri, sampai-sampai tega merugikan
kepentingan pihak lain, bahkan kepentingan bersama. Malah ada yang berani
dengan enteng menggunakan firman Tuhan untuk mendukung kepentingannya itu. Di
halaman 17: Lihatlah mereka yang berebut mencium hajar aswad. Apakah sebenarnya
yang mendorong mereka begitu semangat? Apakah mereka ingin mencari ridla Allah
atau untuk menyenangkan diri sendiri? Kalau untuk mencari ridla Allah, mengapa
tega menyikut hamba-hambaNya yang lain yang notabene saudara mereka sendiri?.
Di halaman 81: Di rumah keluarga bertikai, bahkan ada yang saling bantai. Di
jalan anak-anak sekolah atau para demonstran serta aparat bertengkar dan
tawuran.
Semoga kita
belum lupa akan pemberitaan tentang beberapa politikus sanayan yang melakukan
hal yang tidak beretika dan bermoral seperti ketika sidang resmi berkata dengan
perkataan kotor dan saling pukul. Tindakan mereka tersebut tidak jauh berbeda
dengan tindakan sebagian rakyatnya. Dalam bukunya halaman 82 Gus Mus menulis :
“untunglah” wakil-wakil rakyat kita begitu jeli melihat “aspirasi” rakyat yang
mereka wakili dan begitu profesional dalam menyalurkan bahkan amarah rakyat.
Latar
belakang penulis yang tidak lain adalah seorang kiai, budayawan dan cendekiawan
muslim meneguhkan kepiawaian penulis dan keunikan isi buku ini. Buku ini memandang
persoalan dari berbagai sudut pandang, setidaknya sudut pandang yang sesuai
dengan latar belakang penulis tersebut.
Di beberapa
bagian buku ini, penulis mencantumkan pesan-pesan agama untuk menguraikan
masalah yang penulis kutip dari Al Quran, Al Hadith, atsar sahabat, bahkan
hikmah-hikmah ulama yang tertuang dalam kitab-kitab religius yang jarang dikaji
orang.
Di bagian
salah satu sub judul, penulis mengulas tentang pemimpin yang rendah hati dengan
mengutip sebagian isi kitab Nihayat Al Arab karya Syeikh Ahmad Ibn Abdul Wahab
An Nuwaery yang menceritakan akhlak Rasulullah ketika tangan beliau dicium oleh
seseorang lantas beliau menolak. (halaman 8).
Penulis juga
mencantumkan unsur kebudayaan dengan menukil nama-nama punakawan, tokoh-tokoh
dalam cerita dongeng Jawa yang hampir selalu ada di sekeliling raja untuk
menyoroti keberadaan orang-orang di sekitar Presiden Gus Dur pada waktu itu
yang disindir penulis dengan pertanyaan apakah diantara mereka ada juga
punakawan yang arif dan ikhlas seperti Semar? (halaman 124). Di bagian lain
penulis mengutip analogi yang pernah dilontarkan mendiang WS Rendra saat
penulis menyoroti bangsa Indonesia ini yang mudah marah. Jangan main-main
dengan bangsa Indonesia yang menurut Rendra sudah seperti rumput kering yang mudah
terbakar ini. Jangankan pulau diserobot, gara-gara sepuluh ribu rupiah saja,
orang Indonesia bisa membunuh mertua atau kakeknya sendiri.(halaman 81-82).
Buku ini
memberikan kita wawasan, pembelajaran, pencerahan, dan mengajak kita untuk
menengok moral serta perilaku masing-masing. Ia mengajak diri kita untuk
muhasabah (mengevaluasi) perilaku kita dalam hubungannya dengan antar sesama,
lingkungan maupun dengan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar