|
Judul Buku : NU dan
Keindonesiaan
Penulis : Mohammad
Sobary
Penerbit : PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : xviii + 258
halaman
Peresensi : Imdad Fahmi
Azizi*
|
Sejak
didirikan oleh Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai kharismatik
di Surabaya pada tahun 1926, NU mendapat banyak simpati dari berbagai kalangan
karena kemampuannya mempertahankan dan menyeimbangkan antara kekuatan tradisionalisme
dan budaya modern (almukhafadhatu alal qadimis sholeh wal akhdu bil jadidil
ashlah). Disisi lain, tradisionalisme NU mampu mengarahkan umatnya untuk
bersikap toleran, menghormati agama lain, serta menghindar dari sikap
fundamentalisme dan radikalisasi.
NU
menampilkan Islam yang akomodatif (moderat), berarti kesediaan menerima sikap
dan pemikiran pihak lain dengan terbuka menciptakan jalan tengah. Tidak hanya
dalam hal pemikiran keagamaan, tapi
kecenderungan akomodatif ini juga tercermin dalam sikap dan perilaku kebudayaan
warga NU untuk menjadi penggerak kehidupan umat dalam sehari-hari sehinggga
menjadi pelindung bagi kaum minoritas.
Sehingga
sejarah telah mencatat, bahwa NU merupakan warisan para pejuang kemerdekaan dan
salah satu ‘pemegam saham’ bagi lahirnya Republik ini. Sebagai ormas Islam
terbesar, NU sudah lahir jauh sebelum republik berdiri. NU tetap setia menjaga
Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadi
kekuatan civil society (kekuatan sipil) yang menempatkan kemaslahatan dan
kesejahteraan rekyat sebagai tujuannya. Di samping itu, NU dapat menjadi lokomotif bagi arah kebangsaan di masa depan,
sehingga mampu memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas dan menjadi
pelopor pembentukan identitas keindonesiaan (nation-character building)
(hlm.132-135).
Bersama
dengan Muhammadiyah, NU selalu konsisten dengan sikapnya yang akomodatif
sehingga dipandang sebagai pilar utama Islam moderat. Keduanya menghargai
pluralitas bangsa dan dialog antar agama yang merupakan cerminan harmonisasi
antara tradisi kultural dan ajaran agama. Juga NU menekankan keserasian hidup
di tengah lingkungan masyarakat yang begitu majemuk.
Begitu juga
waktu dibawah kepemimpinan Gus Dur (1984-1999), NU telah diperkenalkan ke dunia
nasional bahkan internasional. NU yang sebelumnya dikenal kaum sarungan dengan
adat tradisional mampu mengangkat nilai-nilai ke-NU-an yang moderat dan anti
kekerasan. Waktu itu, Gus Dur tiba-tiba menjelma sebagai tokoh yang disegani
dan kharismatik dimata lawan maupun kawan khususnya rezim Orde Baru, belakangan
Gus Dur dijadikan jimat NU. Dengan kata lain, NU tidak bisa dipisahkan dengan
nama Gus Dur.
Oleh sebab
itu, Gus Dur mulai memperkenalkan wajah Islam Indonesia yang moderat dan damai
kian relevan ketika dunia dihadapkan pada pelbagai bentuk ekstremisme dan
fundamentalisme yang ujungnya adalah terorisme. Memperkuat moderasi kutural
seraya melebarkan perhatian pada moderasi struktural merupakan tantangan NU di
masa depan. NU harus tetap bergerak dan mampu berdiri di dua kesadaran
sekaligus, yakni tradisi dan kemodernan. NU masa kini dan masa depan diharapkan
tetap menjadi generasi yang mampu mempertautkan kearifan tradisi dan
kemanfaatan modernitas. Oleh karenanya, diperlukan peran NU untuk lebih berani secara
terbuka melakukan penyebaran moral (etika) dengan instrumen yang lebih kongkret
terutama bagi para elite negeri ini.
Dengan
kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai kerangka dasar
bernegara menempatkan NU pada posisi aman terhadap penguasa. NU menjadi jangkar
nasional sehingga mampu memainkan peranannya untuk menjadi kekuatan budaya dan
mampu memperkuat masyarakat sipil (civil society). Didalam tubuh tradisi
ke-NU-an, Gus Dur melihat potensi pesantren yang progresif dengan mengistilahkannya
sebagai agen perubahan. Keunikan pesantren ini merupakan modal sosial yang
sangat berharga.
Karena itu,
NU harus memperkuat peran kiai yang berfungsi sebagai ulama (cleric) sekaligus
cultural broker (makelar kebudayaan)- bukan political broker ataupun menjadi
political operative pemodal yang membutuhkan mereka. Karena diakui atau tidak,
NU selama ini terkesan terlalu elitis-politis, kurang populis.
Menurut
refleksi Mitsuo Nakamura, pemerhati NU dan Profesor Emeritus Chiba University,
Jepang yang harus dikembangkan oleh pucuk pimpinan NU adalah menjadikannya
sebagai gerakan agama, pendidikan, dan sosial, yaitu gerakan moral force ;
penegakan sejati Pancasila sebagai dasar negara ; pembelaan hak minoritas
golongan serta penegakan keharmonisan dan integrasi antar golongan, etnis, dan
agama. Ini semua adalah konsekuensi dari kembali le khittah 1926. Sehingga
ulama NU dapat meneruskan dan mengembangkan warisan Gus Dur ke tahap yang lebih
kuat dan lebih tinggi pada hari depan. (hlm.226-228)
Peran kunci
yang juga diharapkan dari NU adalah dalam bidang ekonomi. Selama ini peran
tersebut masih belum menonjol. Kaum Nahdliyin dan pesantren selama ini banyak
bergelut dengan usaha kecil-menengah dan sektor pertanian, seharusnya NU
memiliki potensi yang besar sebagai salah satu kekuatan ekonomi umat. Para
pimpinan NU diharapkan mampu mengembangkan semangat kewirausahaan di pesantren.
Semangat itu bisa digali dari salah satu sejarah pergerakan ini, di mana pernah
muncul gerakan kaum saudagar (Nahdlatut
Tujjar) yang berperan penting memperjuangkan ekonomi umat.
Memang
selama ini, NU kurang memberikan perhatian pada problem liberalisasi ekonomi,
kapitalisme, neokolonialisme, yang menjadikan masyarakat pedesaan yang
merupakan basis NU semakin dimarginalkan. Hal tersebut mestinya mendorong NU
makin berperan dalam mewujudkan ekonomi rakyat berbasis sumber daya lokal.
Dalam rangka menjalankan ekonomi tersebut setidaknya ada dua level ekonomi yang
oleh NU harus diperhatikan, yakni level makro dan mikro dengan melakukan kontrol,
advokasi dan pemberdayaan.
Buku yang
ditulis oleh Kang Sobary seorang budayawan ini sangat menarik untuk dikaji
kembali dan dijadikan referensi bagi peneliti NU tentang perannya. Buku ini
juga berisi komentar-komentar dari tokoh Republik ini terhadap kiprah NU dan
harapan mereka terhadap perannya bagi Indonesia terutama di bidang keagamaan,
kebudayaan, politik dan ekonomi kerakyatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar