Sabtu, 26 Mei 2012

Kiai dan Masa Depan NU









Judul Buku : Dari Kiai Kampung ke NU Miring
Penyunting : Binhad Nurrohmat
Penerbit : Ar-Ruz Media
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 248 halaman
Peresensi : M. Kamil Akhyari *)
“Al ulama’ warasatul anbiya.’” Ulama adalah pewaris para nabi, itulah mungkin kata yang terlukis dalam benak warga nahdliyin. Kiai adalah penyambung lidah para nabi. Artinya, dawuh disampaikan kiai secara tidak langung adalah sabda yang hendak disampaikan para nabi yang sudah jelas terjamin kesohehan dan kebenarannya. Sehingga kiai adalah segala-galanya : mulai dari konsultasi agama sampai kebaya, mistik sampai politik. Karena ‘fanatiknya’ sebagian warga kepada kiai, tidak jarang konsultasi kesehatan pada kiai dan resep yang keluar dari mulutnya dinilai lebih berharga dari resep yang dianjurkan dokter.
Kuatnya budaya kekiaian membuat warga NU “lupa ingatan”. Peluang budaya kekiaian yang sangat kuat  kerap dimanfaatkan oleh kiai “gadungan”, tak jarang kiai manggung di mimbar-mimbar masjid bukan menyerukan umat untuk bertaqwa, melainkan menggiring pengikutnya untuk memilih calon tertentu dalam pemilu sesuia seleranya. Umat awampun tergiur dengan dauh-dauh yang terlontar dari mulutnya karena beliaulah pewaris para nabi.
Itulah realita yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari warga NU. Namun seiring dengan berputarnya waktu dan zaman yang semakin tua, budaya tersebut mulai langka bahkan nyaris hilang dan tak lama lagi akan lenyap. Kiai tidak lagi jadi ‘imam’ dan panutan yang patut kita contoh. Karena orang yang selama ini diaggap qanaah, ‘payung’ umat dan getol menyuarakan amar ma’ruf nahi mungkar, ternyata ketika duduk di parlemen sama-sama setuju dengan kenaikan gaji dirinya, semunya sama-sama setuju dengan kenaikan BBM yang sangat jelas merugikan masyarakat, dan diam saja dengan budaya korupsi yang semakin menggurita. Istilah Acep Zamzam Noor, tak bisa membedakan politisi yang berlatar pesantren dan berlatar preman.
Kalau kita lirik sejarah masa lalu, pudarnya kharisma kiai bermula saat kiai menghiasi
parlemen dan senayan,  dan bermula dari titik saat kran demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Pemilu 1999 sebagian kiai mulai tertarik berdakwah di parlemen dan ‘mengislamkan’ anggota dewan. Sekalipun belum menunjukkan hasil yang gemilang, pemilu 2004 tambah banyak lagi kiai yang ingin merasakan sejuknya ‘i’tikaf’ di senayan, bahkan diantara mereka saling sekat dan saling menjatuhkan untuk jadi pemimpin dengan dalih demi kesejahteraan umat.
Tidak ada yang patut disahkan jika masyarakat menilai kiai adalah orang yang sama dengan dirinya dan tidak ada yang istimewa dari dirinyanya, karena semuanya sama-sama kemaruk dengan harta dan tahta. Demi ‘kesejahteraan’ pribadi tidak sedikit santri-santri yang telah dititpkan kepadanya dibiarkan terbengkalai karena pengasuhnya sedang rapat  di senayan.
Pada saat yang bersamaan, ketika kiai minta dukungan untuk nyalon bupati, gubernur atau presiden semuanya dianggaop sama. Calon bupati yang berlatar kiai dan bajingan sama-sama tidak ada yang cocok untuk jadi pemimpin. Sehingga masyarakat rela menjual suara karena setelah duduk di pendopo habis manis sepah dibuang.
Beberapa bulan yang lalu Kabupaten Sumenep menggelar pesta demokrasi yang bernama Pemilukada. Barangkali pemilukada 2010 di Kabupaten Sumenep patut jadi renungan kita bersama. Dari delapan pasang calon cabup-cawabup yang akan berebut menuju pendopo, lima puluh persen pengusaha dan sisanya adalah kiai. Dari delapan pasang calon mayoritas orang NU, bahkan ada mantan PCNU. Namun masyarakat tidak lagi percaya, terbukti dengan jumlah hak pilih 884.631 yang mayoritas nahdliyin, jumlah golput mencapai 36.3 persen atau 321.537 hak pilih..
Masyarakat telah termakan virus pragmatisme. Jika ditanya kenapa tidak memilih? Jawabannya sama “tidak ada uangnya”. Jangan disalahkan jika warga NU pragmatis karena kiai-kiainya mengajarkan yang demikian. “pemimpin bisa diibaratkan isi, sedangkan masyarakat yang dimimpin adalah wadah yang siap menampung isi. Seorang pemimpin yang baik akan selalu mengalirkan kebaikan pada masyarakat yang di pimpinnya. Seorang pemimpin akan selalu mengalirkan isi pada wadah yang menampungnya, bukan sebaliknya” (Hal: 15-16).
Jika di daerah lain warga NU juga mengidap penyakit yang satu ini, tinggal menunggu waktu kehancuran lambang bumi dan bintang sembilan ini. Panggung drama kisah NU tinggal episode yang sudah bisa ditebak penonton.
Buku bercover hijau ini patut jadi renungan punggawa NU, karena merekalah yang setiap hari dan malam bersentuhan langusng dengan warga nahdliyin akar rumput. NU kultural-lah yang mendengar langsung keluh kesah warga NU. Para elite NU sudah saatnya belajar dari buku ini yang ditulis kiai muda kampung sebagai penyambung lidah warga nahdliyin. Kritik dan saran dalam buku ini tidak kurang dan tidak lebih adalah hasil pengamatan penonton yang peduli dengan nasib NU untuk mencetak gol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar