|
Judul Buku : Dari Kiai
Kampung ke NU Miring
Penyunting : Binhad
Nurrohmat
Penerbit : Ar-Ruz Media
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 248 halaman
Peresensi : M. Kamil
Akhyari *)
|
“Al ulama’
warasatul anbiya.’” Ulama adalah pewaris para nabi, itulah mungkin kata yang
terlukis dalam benak warga nahdliyin. Kiai adalah penyambung lidah para nabi.
Artinya, dawuh disampaikan kiai secara tidak langung adalah sabda yang hendak
disampaikan para nabi yang sudah jelas terjamin kesohehan dan kebenarannya.
Sehingga kiai adalah segala-galanya : mulai dari konsultasi agama sampai
kebaya, mistik sampai politik. Karena ‘fanatiknya’ sebagian warga kepada kiai,
tidak jarang konsultasi kesehatan pada kiai dan resep yang keluar dari mulutnya
dinilai lebih berharga dari resep yang dianjurkan dokter.
Kuatnya
budaya kekiaian membuat warga NU “lupa ingatan”. Peluang budaya kekiaian yang
sangat kuat kerap dimanfaatkan oleh kiai
“gadungan”, tak jarang kiai manggung di mimbar-mimbar masjid bukan menyerukan
umat untuk bertaqwa, melainkan menggiring pengikutnya untuk memilih calon
tertentu dalam pemilu sesuia seleranya. Umat awampun tergiur dengan dauh-dauh
yang terlontar dari mulutnya karena beliaulah pewaris para nabi.
Itulah
realita yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari warga NU. Namun seiring
dengan berputarnya waktu dan zaman yang semakin tua, budaya tersebut mulai
langka bahkan nyaris hilang dan tak lama lagi akan lenyap. Kiai tidak lagi jadi
‘imam’ dan panutan yang patut kita contoh. Karena orang yang selama ini diaggap
qanaah, ‘payung’ umat dan getol menyuarakan amar ma’ruf nahi mungkar, ternyata
ketika duduk di parlemen sama-sama setuju dengan kenaikan gaji dirinya, semunya
sama-sama setuju dengan kenaikan BBM yang sangat jelas merugikan masyarakat,
dan diam saja dengan budaya korupsi yang semakin menggurita. Istilah Acep
Zamzam Noor, tak bisa membedakan politisi yang berlatar pesantren dan berlatar
preman.
Kalau kita
lirik sejarah masa lalu, pudarnya kharisma kiai bermula saat kiai menghiasi
parlemen dan
senayan, dan bermula dari titik saat kran
demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Pemilu 1999 sebagian kiai mulai tertarik
berdakwah di parlemen dan ‘mengislamkan’ anggota dewan. Sekalipun belum
menunjukkan hasil yang gemilang, pemilu 2004 tambah banyak lagi kiai yang ingin
merasakan sejuknya ‘i’tikaf’ di senayan, bahkan diantara mereka saling sekat
dan saling menjatuhkan untuk jadi pemimpin dengan dalih demi kesejahteraan
umat.
Tidak ada
yang patut disahkan jika masyarakat menilai kiai adalah orang yang sama dengan
dirinya dan tidak ada yang istimewa dari dirinyanya, karena semuanya sama-sama
kemaruk dengan harta dan tahta. Demi ‘kesejahteraan’ pribadi tidak sedikit
santri-santri yang telah dititpkan kepadanya dibiarkan terbengkalai karena
pengasuhnya sedang rapat di senayan.
Pada saat
yang bersamaan, ketika kiai minta dukungan untuk nyalon bupati, gubernur atau
presiden semuanya dianggaop sama. Calon bupati yang berlatar kiai dan bajingan
sama-sama tidak ada yang cocok untuk jadi pemimpin. Sehingga masyarakat rela
menjual suara karena setelah duduk di pendopo habis manis sepah dibuang.
Beberapa
bulan yang lalu Kabupaten Sumenep menggelar pesta demokrasi yang bernama
Pemilukada. Barangkali pemilukada 2010 di Kabupaten Sumenep patut jadi renungan
kita bersama. Dari delapan pasang calon cabup-cawabup yang akan berebut menuju
pendopo, lima puluh persen pengusaha dan sisanya adalah kiai. Dari delapan
pasang calon mayoritas orang NU, bahkan ada mantan PCNU. Namun masyarakat tidak
lagi percaya, terbukti dengan jumlah hak pilih 884.631 yang mayoritas nahdliyin,
jumlah golput mencapai 36.3 persen atau 321.537 hak pilih..
Masyarakat
telah termakan virus pragmatisme. Jika ditanya kenapa tidak memilih? Jawabannya
sama “tidak ada uangnya”. Jangan disalahkan jika warga NU pragmatis karena
kiai-kiainya mengajarkan yang demikian. “pemimpin bisa diibaratkan isi,
sedangkan masyarakat yang dimimpin adalah wadah yang siap menampung isi.
Seorang pemimpin yang baik akan selalu mengalirkan kebaikan pada masyarakat
yang di pimpinnya. Seorang pemimpin akan selalu mengalirkan isi pada wadah yang
menampungnya, bukan sebaliknya” (Hal: 15-16).
Jika di
daerah lain warga NU juga mengidap penyakit yang satu ini, tinggal menunggu
waktu kehancuran lambang bumi dan bintang sembilan ini. Panggung drama kisah NU
tinggal episode yang sudah bisa ditebak penonton.
Buku
bercover hijau ini patut jadi renungan punggawa NU, karena merekalah yang
setiap hari dan malam bersentuhan langusng dengan warga nahdliyin akar rumput.
NU kultural-lah yang mendengar langsung keluh kesah warga NU. Para elite NU sudah
saatnya belajar dari buku ini yang ditulis kiai muda kampung sebagai penyambung
lidah warga nahdliyin. Kritik dan saran dalam buku ini tidak kurang dan tidak
lebih adalah hasil pengamatan penonton yang peduli dengan nasib NU untuk
mencetak gol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar