|
Judul Buku : KH Moh. Tolchah Mansoer:
Biografi Profesor NU yang Terlupakan
Penulis : Caswiyono Rusydie Cakrawangsa,
Zainul Arifin, Fahsin M. Fa’al
Pengantar : Prof Dr KH Moh. Tholhah
Hasan & HM. Fajrul Falakh SH MA MSc
Epilog : Idy Muzayyad MSi
Penerbit : Pustaka Pesantren,
Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2009 & II,
Oktober 2009
Tebal : xxxvi + 290 Halaman
Peresensi : Abdul Halim Fathani Yahya*
|
Dibandingkan
dengan tokoh-tokoh NU lainnya, nama Moh. Tolchah Mansoer barangkali tidak
terlalu populer di mata masyarakat umum. Memang, beliau pernah menjadi pimpinan
puncak dalam organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun, faktanya
tidak banyak literatur yang mendokumentasikan sepak terjang dalam kehidupannya.
Ketidakhadirannya dalam berbagai literatur, bukan berarti sosok ini tidak
memiliki arti penting dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, khususnya bagi
organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama’. Orang NU yang tercatat sebagai doktor
hukum Tata Negara pertama dari Universitas Gadjah Mada ini telah banyak
menelorkan karya-karya penting yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam
kajian dan pengembangan hukum ketatanegaraan di Indonesia.
Julukan
sosok integratif (baca: ilmuwan sekaligus kiai) tampaknya sangat tepat untuk
dilekatkan kepada Prof KH Tolchah Mansoer. Ia merupakan salah satu contoh
“orang NU” yang “sukses”. KH Tolchah merupakan founding fathers terpenting
dalam organisasi IPNU. Ia merupakan pelopor, pendiri, dan penggerak pada masa
awal berdirinya. IPNU dicita-citakan olehnya menjadi wadah bagi pelajar umum
dan pelajar pesantren. (hlm. 261). Selain ahli di bidang hukum tata negara,
kealiman di bidang pengamalan ajaran Islam tidak dapat dipungkiri. Ia banyak
menulis buku ketatanegaraan dan banyak menerjemahkan buku-buku agama dari
bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Tolchah Mansoer merupakan figur menarik dan
penting dalam sejarah NU, sejak muda hingga masa tuanya. Ia merupakan aset
berharga yang telah berjasa banyak dalam peletakan dasar-dasar gerakan dan
kaderisasi NU hingga pembaharuan pemikiran dan arah organisasi NU.
Ada beberapa
hal yang mendasari untuk “mendokumentasikan” lika-liku perjalanan hidup seorang
ulama’ sekaligus ilmuwan, Prof Dr KH Moh. Tolchah Mansoer SH. Dalam
pengantarnya, redaksi LKiS mengurai beberapa alasan dalam penerbitan buku ini.
Pertama,
perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, kegigihan, ketulusan, dan kerja
keras setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi generasi zaman sekarang.
Kedua, jika
ungkapan “Orang besar dapat mati saat hidupnya; namun ia bangkit dan justru
hidup abadi setelah kematiannya” dapat dibenarkan. Semasa hidupnya, karena
keteguhannya mempertahankan prinsip; karena suara lantangnya mengatakan
kebenaran dan melontarkan kritik, ia sempat dikucilkan oleh penguasa. Namun,
setelah sang penguasa tumbang, harum namanya kian semerbak: ide-ide jeniusnya
tentang hukum tata negara pun diadopsi dan diterapkan pasca reformasi (50 tahun
setelah ia berpulang).
Ketiga,
Tolchah adalah pakar hukum tata negara terkemuka pada masanya, sekaligus
seorang kiai mumpuni yang berwibawa. Keempat, hasrat umat Islam untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dapat dikatakan sebagai ‘hasrat
laten’.
Terlepas ada
tidaknya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menunggangi mereka, sejarah
telah membuktikan adanya usaha beberapa pihak untuk mewujudkan hasrat tersebut.
Di era kontemporer ini, penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta beberapa
kali juga diangkat kembali menjadi isu yang hangat. Jika kita ‘membaca’
Tolchah, sang pakar hukum tata negara yang kiai ini, tentu hasrat semacam itu
menjadi patut untuk disayangkan.(hlm. vii)
Hadirnya
buku ini tentu menjadi sangat penting. Sebagaimana penuturan Idy Muzayyad dalam
epilognya, ada dua hal yang sangat berseberangan berkaitan dengan lahirnya buku
yang merekam jejak petualangan Profesor Tolchah. Pertama, ada rasa bangga,
karena dengan buku ini, generasi muda (khususnya IPNU) mengetahui bahwa dalam
sejarah awal organisasi pelajar ini terdapat seorang tokoh yang patut
dibanggakan. Di sisi lain, dengan membaca buku ini kita juga patut merasa malu,
karena sebagai pewarisnya kita belum mampu sepenuhnya meniru prestasi yang
telah ditorehkan beliau. (hlm.259-260).
Melalui buku
ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri masa lalu kehidupan KH Tolchah yang
penuh dengan keteladanan, pengalaman, dan cita-cita besar. Banyak hal yang
tentunya patut dijadikan sebagai rujukan dalam mengarungi medan perjuangan yang
dihadapi saat ini. Dengan terbitnya buku ini, seseorang bukan hanya dapat
‘membaca’ Tolchah secara lebih komprehensif, melainkan juga membaca dirinya
sendiri. Sebab, membaca perjalanan hidupnya berarti memetik inspirasi; membaca
sepak terjangnya bermakna menuai spirit; dan membaca percik pemikirannya adalah
mencerahkan. Lebih dari itu semua, buku ini adalah sebuah usaha melawan alpa:
sebuah upaya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar