Riwayat
Hidup
Munasir
bin Ali pernah menempuh pendidikan di HIS (Hollandsh Inlandsche School) di
Mojokerto tahun 1933, kemudian menimba ilmu agama di sejumlah pesantren
seperti Pondok Pesantren Trowulan, Mojokerto, Pondok Pesantren Tebu Ireng di
Jombang di bawah asuhan KH Hasyim As̢۪ari, Pesantren Djamsaren, Solo, Jawa
Tengah, Pesantren Kasingan, Rembang.
|
Tahun 1945-1947, Munasir ikut membentuk pasukan
Hizbullah/ Sabilillah cabang Mojokerto. Tahun 1947, Munasir menjabat sebagai
komandan batalyon 39 (TNI-AD). Kemudian menjadi batalyon 519 (Infantri
Brawijaya), Batalyon 39 ini dikenal dengan sebutan Batalyon Condromowo atau
Batalyon Munasir.
Tahun 1958, Munasir mengundurkan diri dari dinas
militer dengan pangkat Mayor (NRP 10512), kemudian pindah ke Jakarta.
Munasir aktif di IKABEPI (Ikatan Bekas Pedjoeang
Indonesia) bersama antara lain, KH Wahib Wahab (alm.). Beliau ikut mendirikan
Legiun Veteran bersama antara lain, Chairul Saleh, Letjen (Purn.) Sarbini, dan
Letjen A. Kartakusuma. Tahun 1958 pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal
Legiun Veteran RI.
Tahun 1958, Munasir dilantik pula menjadi anggota
Dewan Nasional. Tahun 1959, Munasir menjadi anggota Depernas (Dewan Perancang
Pembangunan Nasional).Di lingkungan PBNU, Munasir pernah menjabat sebagai ketua
Pertanu (Pertanian NU), Pengurus Pemuda Ansor, Sekjen PBNU, Syuriah PB NU dan
Mustasyar PB NU.
Di bidang legislatif, Munasir pernah duduk sebagai
anggota DPR periode 1967-1987. Sedangkan di bidang organisasi pertanian, pernah
menjabat salah satu ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) di bawah
pimpinan Martono.
Berbagai penghargaan yang pernah diterima dari
pemerintah seperti Bintang Gerilya, Satya Lencana Kemerdekaan I dan II, Piagam
Gerakan Operasi Militer.
Munasir meninggal di usianya yang ke 83 tahun pada
hari Jumat, 11 Januari 2002 pukul 23.15. Munasir dikaruniai 14 orang anak, 23
cucu dan 3 orang cicit. Putra pertamanya, Rozy Munir pernah menjabat sebagai
Menteri Negara Penanaman Modal dan Pemberdayaan BUMN. Jenazah selanjutnya
diberangkatkan ke Mojokerto, Jawa Timur, pada anggal 12 Januari 2002 siang
untuk dimakamkan di pemakaman keluarga di Mojosari, Mojokerto. Munasir bin Ali
lahir pada tanggal 2 Maret 1919 di Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur. (Sumber:
Sinar Harapan, 14 Januari 2002)
Pemimpin
Yang Konsisten
Ketika memberikan sambutan pada Muktamar NU ke 29 di
Cipasung 1994 Kiai Munasir mengatakan bahwa dirinya betul-betul orang yang tak
tahu diri, sebab di usia yang ke 70 tahun masih berambisi menjadi Ketua panitia
Muktamar, yang semestinya itu bagian anak muda. Karena ambisi saya itu maka
proses regenerasi tersumbat. Padahal sudah selayaknya orang setua saya ini
mengundurkan diri dari jabatan apapun dan menyerahkan pada yang muda karena
lebih enerjik dan lebih berpengalaman, sementara saya ini sudah ketinggalan
jaman.
Sambutan Ketua panitia itu mendapat sambutan gemuruh
dari hadirin, sebab hadirin tahu bahwa Kiai Munasir sedang menyindir Presiden
Soeharto yang hadir dalam Muktamar itu. Yang dengan kekuasaannya yang tak
terbatas berusaha mengintervensi NU dengan mendongkel kepemimpinan Abdurrahman
Wahid, serta menawarkan tokoh yang dijadikan bonekanya. Tentu saja prakarsa itu
ditentang keras oleh mayoritas NU, bukan karena Gus Durnya tetapi demi
kemandiriannya sebagaimana diamanatkan oleh khittah.
Pidato Kiai Munasir itu tampaknya merupakan
kalanjutan upaya NU untuk menolak tunduk pada rezim otoriter yang pada Muktamar
sebelumnya di Yogyakarta 1989, ketika Soeharto mulai hendak menundukkan
organisasi ini ke dalam korporasi orde baru. Tetapi dengan gagah Kiai Ahmad
Shiddiq dalam khutbah iftitahnya mengatakan pada Soeharto yang ada di depannya
bahwa NU bukan taksi yang bisa disewa kemana-mana, melainkan ibarat sebuah kereta
api yang sudah jelas rutenya, dan memiliki rel yang tidak bisa dibelokkan
menurut kemauan penumpangnya dan rel NU adalah khittah 1926 yang di dalamnya
tertuang jelas akidah dan prinsip yang dipegangi.
Itulah bentuk kegigihan beberapa tokoh NU dalam mempertahankan
independensinya, ketika ormas keagamaan lain telah tunduk pada kemauan rezim
yang berkuasa bahkan menjadi aparat negara. Karena itu tidak aneh suara tegas
juga muncul dari tokoh NU yang lain, dalam situasi krisis Mantan wakil Rais Aam
NU KH Ali Yafie berani menasehati Soeharto bahwa untuk mengatasi krisis politik
yang berkepanjangan sebaiknya mengundurkan diri dari jabatan Presiden. Nasehat
yang sangat berani itu akhirnya diikuti oleh Soeharto, sehingga rela melepaskan
kekuasaan yang telah digenggam selama 32 tahun.
Kiai Munasir yang lahir pada 2 Maret 1919, memiliki
keteguhan moral dan integritas pribadi yang tinggi, semuanya itu tidak dimiliki
secara serta merta, melainkan ditempa melalui pengalaman panjang sejak masa
kanak-kanak sudah menghadapi berbagai ketidakadilan. Tatkala masih remaja telah
menghadapi diskriminasi Belanda, yakni ketika telah lulus ujian masuk MULO,
tetapi tidak diperkenankan masuk sekolah tersebut sebab ia bukan anak seorang
priyayi atau bangsawan.
Melihat kenyataan yang diskriminatif itu ia oleh
orang tuanya dikirim ke pesantren, sebuah pendidikan keagamaan yang memiliki
komitmen kerakyatan. Dengan adanya pendidikan murah ini hampir seluruh rakyat
mampu memperoleh pendidikan. Bahkal Munasir juga menjadi santri kelana, yang selalu
pindah dari satu pesantren ke pesantren lain untuk menuntut ilmu yang lebih
tinggi.
Walaupun sudah jauh dari jangkauan kolonial, karena
telah hidup di pesantren di pedalaman yang masih bebas, tetapi tangan-tangan
penjajah masih menjamahnya. Suatu saat sedang menikmati pemandangan pantai
utara Rembang, tiba-tiba ia ditempeleng segerombolan konvoi Belanda yang sedang
lewat, dan kerumunan masa sore itu langsung bubar. Berbagai ketidak adilan itu
menjadi renungan dan mencari solusi bagaiman melenyapkannya, karena itu ia
belajar keras baik ilmu agama, politik termasuk ilmu kanuragan.
Tidak hanya rajin tetapi santri yang berperawakan
kecil itu memang tergolong santri yang cerdas. Selain menguasasi disiplin
keilmuan agama dan pengetahuan umum, juga menguasai bahasa Arab dan Belanda,
yang merupakan kunci pengetahuan saat itu. Karena itu ketika nyantri di
Tebuireng ia direkrut oleh KH Wahid Hasyim sebagai kader inti yang tergabung
dalam Madrasah Nidzomiyah, beberapa santri terpilih yang masuk dalam kategori ini.
Saat itulah Munasir berkenalan langsung dengan organisasi NU, yang kemudian
diperjuangkan hingga akhir hayatnya dengan penuh ketegaran.
Berbeda dengan belajar di sekolah Belanda paling
akan menjadi ambtenaar, tetapi masuk ke pesantren buat Munasir memperoleh multi
faedah, pertama, jelas untuk mendalami berbagai disiplin keilmuan, kedua,
sebagai tempat menempa moralitas dan kepribadian, dengan kiai sebagai
teladannya, ketika sebagai sarana menjalin networking (jaringan) pergerakan.
Sebab melalui pesantren itulah Munasir berkenalan dengan berbagai tokoh lain,
yang kemudian menjadi mitraperjuangannya.
Berkecamuknya revolusi mendorong Munasir muda
memasuki dinas ketentaraan. Pertama ia mengikuti latihan Hisbullah di Cibarusa,
setelah itu kembali ke kampung halamannya Mojokerto membentuk kesatuan
Hisbullah. Di daerah itu pula akhirnya ia diangkat sebagai komandan Batalion
Condromowo yang lebih dikenal dengan Batalion Munasir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar