Lahir
: Rembang, 12 Agustus 1942
Meninggal:
Rembang, 23 Agustus 2004
Agama
:Â Islam
Isteri
: Hj. Muchsinah (Solo, 20 Maret 1947)
Anak:
7
Orang
|
Pendidikan
Sekolah Rakyat (Negeri) (1954)
Madrasah ibtidaiyah (1954)
Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa (1956)
Perguruan Islam (1956)
Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri) (1957)
Pondok Pesantren AI Munawwir Krapyak (1960)
Aliyah Darul Ulum Makkah (1962)
IAIN Suka Yogyakarta
Organisasi
Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Cabang
Ketua Gerakan Pemuda Ansor
Ketua Partai Nahdlatul Ulama
Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan
Ketua Yayasan AI Ibriz
A’wan dan Mustasyar PWNI
Ketua MPW Partai Persatuan Pembangunan Jawa Tengah
Wakil Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa
Pekerjaan
Guru Swasta
Pengusaha
Pengasuh Pondok Pesantren
Anggota DPRD
Anggota DPR/MPR
Wakil Ketua MPR
Perjuangan
-Dalam Peristiwa Pemberontakan Gerakan 30
September/PKI Tahun 1965, Lewat Gerakan Pemuda Dan Mahasiswa; Ikut Berjuang
Menumpas Pemberontakan G .30 S/PKI.
-Pengembangan Kehidupan Beragama (Khusus Islam)
-Aktif Dalam Eam Santiaji Pancasila Setelah
Pemberontakan GESTAPU/ PKI
Alamat Rumah:
Jalan Mulyo No.1 Rembang, Jawa Tengah 4.
Alamat Kantor:
MPR-RI
Gedung Nusantara III Lantai V
Jalan Jend. Gatot Subroto No.6
Jakarta 10270
Meninggal dalam Suasana Damai
Kiai Haji Cholil Bisri (62), Wakil Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat, meninggal dunia dalam usia 62 tahun Senin 23 Agustus
2004 pukul 20.40 di rumahnya di Kampung Leteh, Kota Rembang, Jawa Tengah.
Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, itu meninggalkan,
seorang istri Hj Muhsinah, delapan anak, dan sejumlah cucu. Dimakamkan Selasa
siang di Pemakaman Keluarga Bisri Mustofa di Kota Rembang.
Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB itu meninggal dalam
suasana tenang, damai, bagai seorang yang tengah tidur nyenyak. Dia meninggal
akibat sakit kanker hati yang diderita sejak lama. Kakak kandung KH Mustofa
Bisri, sejak Mei dirawat di Rumah Sakit Umum Karyadi, Semarang. Kemudian
dirawat di Rumah Sakit MMC, Jakarta, tetapi kondisinya tidak bertambah baik dan
malahan minta dirawat di rumah saja.
Jumat pagi sekitar pukul 10.15, dia tiba di Stadion
Krida (Rembang) dengan pesawat helikopter, lalu dengan mobil ambulans diangkut
ke rumah pribadinya.
Saat detik-detik mengembuskan napas terakhir, Cholil
Bisri selain didampingi Dr Sugeng Ibrahim, juga didampingi kedua anaknya, Gus
Tutut dan Gus Ipul, yang masing-masing didampingi istri.
Kyai
yang Membidani Kelahiran PKB
Sesungguhnya KH Cholil Bisri lebih patut disebut
sebagai deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) ketimbang Gus Dur. Sebab
dialah yang memimpin sebuah tim membidani pendirian partai sebagai wadah
aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama (NU) atas desakan para kyai. Sementara
Gus Dur selaku Ketua Umum NU ketika itu malah menolak pendirian partai. Maka
pada mulanya, ada 72 deklarator PKB, tidak termasuk Gus Dur. Namun ketika
deklarasi pendirian PKB itu disampaikan kepada PB NU, nama-nama deklarator itu
pun dicoret dan berobah menjadi hanya lima orang.
Sebenarnya dari sejarah PKB, yang harus muncul sebagai
deklarator adalah Kyai Iliyas Ruhyat. Tapi, menurut KH Cholil Bisri, Kyai
Iliyas Ruhyat orangnya lugu, tak mau tampil-tampil seperti itu. Itulah sebabnya
ia mengatakan, sejarah perlu diluruskan. Yang benar sebagai penggagas pertama
terbentuknya PKB adalah para kyai, pada tanggal 11 Mei 1998 bersamaan dengan
rapat meminta Soeharto lengser. Gagasan pertama dimulai di Rembang bukan di PB
NU atau Ciganjur.
Sehubungan dengan itu, ditegaskan adalah salah jika
ada orang mengatakan bahwa yang mendirikan PKB adalah Gus Dur. Bukan! Gus Dur
malah pada mulanya menolak pendirian PKB. Ketika itu, KH Cholil Bisri
mengajukan rapat atas adanya desakan para kyai agar NU membentuk partai, PBNU
malah mengeluarkan surat resmi bahwa NU tidak perlu membuat partai. Pada saat
itu Ketua Umum PBNU adalah Gus Dur.
Kisah pendirian PKB dimulai pada 11 Mei 1998. Ketika
para kyai sesepuh di Langitan mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan situasi
terakhir yang menuntut perlu diadakan perubahan untuk menyelamatkan bangsa ini
dari kehancuran. Saat itu para kyai membuat surat resmi kepada Pak Harto yang
isinya meminta agar beliau turun atau lengser dari jabatan presiden. Pertemuan
itu mengutus Kyai Muhid Mujadid dari Jember dan Gus Yusuf Muhammad menghadap
Pak Harto untuk menyampaikan surat itu. Mereka berangkat ke Jakarta, meminta
waktu tetapi belum dapat jadwal. Sehingga sebelum surat itu diterima, Pak Harto
sudah mengundurkan diri terlebih dahulu, tanggal 23 Mei 1998.
Setelah itu, pada tanggal 30 Mei 1998, diadakan
istiqosah akbar di Jawa Timur. Lalu semua kyai berkumpul di kantor PBNU Jatim.
Para kyai itu mendesak KH Cholil Bisri supaya menggagas dan membidani pendirian
partai bagi wadah aspirasi politik NU. Tapi saya mengatakan, jangan saya, kata
KH Cholil Bisri. Sebab ia merasa sudah capek jadi orang politik. Ia merasa
lebih baik di pesantren saja. Tetapi para kyai terus mendorongnya karena
dinilai lebih berpengalaman dalam hal politik. Ketika itu Gus Dur belum ikut.
Makanya ia terus dipaksa.
Kemudian, tanggal 6 Juni 1998, ia mengundang 20 kyai
untuk membicarakan hal tersebut. Undangan hanya lewat telepon. Tetapi pada hari
H-nya yang datang lebih 200 kyai. Sehingga rumahnya sebagai tempat pertemuan
penuh. Dalam pertemuan itu terbentuklah sebuah panitia yang disebut dengan Tim
Lajenah karena terdiri dari 11 orang. Ia sendiri menjadi ketua. Sekretarisnya
Gus Yus. Panitia ini bekerja secara maraton untuk menyusun platform dan
komponen-komponen partai. Selain itu terbentuk juga Tim Asistensi Lajenah
terdiri dari 14 orang yang diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan sekretarisnya
Asnan Mulatif.
Pada tanggal 18 Juni 1998, panitia mengadakan
pertemuan dengan PBNU. Dilanjutkan audiensi dengan tokoh-tokoh politik (NU)
yang ada di Golkar, PDI dan PPP. Panitia menawarkan untuk bergabung, tanpa paksaan.
PBNU sendiri menolak pendirian partai. Setelah itu, pada tanggal 4 Juli 1998,
Tim Lajenah beserta Tim dari NU mengadakan semacam konfrensi besar di Bandung
dengan mengundang seluruh PW NU se-Indonesia. 27 perwakilan datang semua.
Hari itu diputuskan nama partai. Usulan nama adalah
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kebangitan Ummat dan Partai Nahdlatul Ummat.
Akhirnya hasil musyawarah memilih nama PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Lalu
ditentukan siapa-siapa yang menjadi deklarator partai. Disepakati 72 deklarator,
sesuai dengan usia NU ketika itu. Jumlah itu terdiri dari Tim Lajenah (11), Tim
Asistensi Lajenah (14), Tim NU (5), Tim Asistensi NU (7), Perwakilan Wilayah
(27 x 2), Ketua Event Organisasi NU, tokoh-tokoh Pesantren dan tokoh-tokoh
masyarakat. Semua deklarator membubuhkan tandatangan dilengkapi naskah
deklarasi. Lalu diserahkan ke PBNU untuk mencari kapten partai ini.
Ketika masuk ke PBNU, dinyatakan bahwa yang menjadi
deklaratornya 5 orang saja, bukan 72 orang. Kelima orang itu yakni Kyai Munasir
Allahilham, Kyai Eliyas Ruhyat, Kyai Muhid Mujadid dan Mustofa Bisri dan
ditambah Abddurahman Wahid sebagai ketua PBNU. Nama 72 deklarator dari Tim
Lajenah itu dicoreti semua oleh PBNU. Ya terima saja. Sebab saya berpikir untuk
dapat berjuang bukanlah harus ada di dalam struktur, ujar KH Cholil Bisri,
ketika Wartawan Tokoh Indonesia mengonfirmasi hal ini dalam percakapan
dengannya di ruang kerjanya di Gedung MPR-RI (22/10/02).
Setelah itu, semua terus berjalan hingga muktamar
pertama. Banyak orang menghendaki Gus Dur. Iya sudahlah, saya jadi orang kedua
saja, kata KH Cholil Bisri pasrah. Dalam Pemilu 1999, PKB berhasil meraih
posisi ketiga dalam perolehan suara, setelah PDIP dan Golkar. Tapi menjadi
posisi keempat dalam perolehan kursi, setelah PDIP, Golkar dan PPP. Namun
demikian, PKB berhasil mengantarkan KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden pada
Sidang Umum MPR 1999.
Dalam Mukernas PKB yang pertama, sebenarnya telah
diputuskan bahwa PKB akan mendukung siapa saja pemenang Pemilu untuk menjadi
Presiden, tanpa menyebutkan nama dan jender. Sementara pada waktu itu juga
sedang bergulir berbagai pendapat tentang presiden wanita. Tetapi, PKB akan
mendukung pemenang Pemilu menjadi presiden, siapa pun orangnya, apakah wanita
ataupun pria. Sementara, di lain pihak, para kyai berkeinginan agar PKB
mencalonkan presiden yang berasal dari PKB bukan dari partai lain.
Setelah itu KH Cholil Bisri, Gus Yus dan Muhaimin
Iskandar menemui Mbak Mega. Mereka menyampaikan apa yang menjadi keputusan
Mukernas PKB, serta keinginan para kyai untuk mencalonkan orang PKB menjadi
pesiden. Jadi mereka mohon ijin untuk tidak mencalonkan presiden dari PDI-P
tetapi Gus Dur. Lalu Mbak Mega mengatakan, Nggak apa-apa. Memang seharusnya PKB
mencalonkan Gus Dur. Kalau PKB punya calon, calonkan saja pilihannya jangan
orang lain.
Setelah itu mereka melapor kepada para kyai. Putusan
akhirnya, PKB mencalonkan Gus Dur. Gus Dur pun menang dalam pemilihan Presiden
RI. Setelah Gus Dur terpilih jadi presiden, mereka bertemu lagi dengan Mbak
Mega. Mereka menyatakan PKB siap mendukung Mbak Mega untuk maju sebagai calon
Wakil Presiden. Dan demi memudahkan jalannya Megawati, mereka juga mengadakan
pendekatan dengan para calon dan partai lain. Tetapi Hamzah Haz tetap bertahan.
Sebab banyak pendukungnya mengatakan Hamzah Haz harus tetap maju, karena ini
amanah ummat. Namun akhirnya Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden.
Semenjak itu, praktis ia tidak pernah lagi ketemu
dengan Gus Dur atau Ibu Megawati. Hanya sekali ia ke istana bersama 15 kyai
untuk bertemu dengan Gus Dur. Ketika itu, para kyai menyampaikan nasehat kepada
Gus Dur. Tetapi Gus Dur tetap dalam pendiriannya. Para kyai itu pun tak mau
ngotot.
Mengenai jabatannya sebagai Wakil Ketua MPR dari PKB
menggantikan Matori Abdul Djalil, ia mengatakan bahwa sejak semula kawan-kawan
sudah memintanya berada dalam pimpinan MPR atau DPR. Tetapi ia sendiri yang tak
mau. Sebab ia masih berpikir ke pesantren yang mulai berkembang. Maka, ia juga
yang mengusulkan pertama kali untuk memajukan Matori sebagai calon ketua MPR,
yang akhirnya menjadi wakil ketua.
Karena perhatiannya yang lebih banyak ke pesantren,
ia sebagai anggota DPR/MPR jarang sekali mengikuti sidang. Sehingga ia sempat
berpikir untuk mundur saja. Bahkan ia sudah bikin surat pengunduran diri dengan
materai. Tapi teman-temannya malah merobek-robek surat itu.
Malah ia diajukan menjadi Wakil Ketua MPR mewakili
PKB. Karena selama delapan bulan perwakilan PKB dalam pimpinan MPR kosong.
Semenjak Matori diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Setelah sebelumnya Matori
dipecat dari jabatan Ketua Umum PKB karena menghadiri SI-MPR yang
memberhentikan Gus Dur dari jabatan presiden. Lalu PKB pecah dua. PKB pimpinan
Matori dan PKB pimpinan Alwi Sihab.
Matori menginginkan dari pihaknya yang harus mengisi
pimpinan MPR itu. Di lain pihak, PKB Alwi-Gus Dur menginginkan yang lain. Dalam
pertikaian seperti itu, KH Cholil Bisri didorong untuk bersedia mengisi
kekosongan itu dari kubu PKB Alwi Sihab. Waktu itu, Matori sempat tetap ngotot.
Tapi ketika ia tahu saya yang dicalonkan, dia jadi tidak berani. Karena yang
menggiring Matori selama ini dari Jawa Tengah ya saya, kata KH Cholil Bisri.
Menurutnya, diberhentikannya Matori dari Ketua Umum PKB adalah tidak terlepas
dari pihak ketiga yang memprovokasi agar PKB terganggu.
Belajar dari berbagai pengalaman hidup, ia melihat
bahwa ada tiga orang yang patut dikasihani dalam dunia. Pertama, orang kaya
yang jatuh melarat. Kedua, orang yang terhormat yang jatuh hina. Dan, ketiga,
orang yang pintar yang dipermainkan oleh orang-orang bodoh.
Sementara pandangannya tentang demokrasi, ia melihat
masih perlu didefinisikan di Indonesia. Demokrasi itu bukan berarti kebebasan
tanpa batas. Bahkan di sebuah negara seperti Amerika saja tidak selamanya
murni, masih bercampur dengan otoriter. Sementara dalam Al-quran atau Hadis
tidak ada tertulis kata demokrasi. Yang ada adalah kesetaraan berbicara atau
sering disebut sebagai musyawarah. Jadi sebenarnya inti demokrasi adalah
musyawarah.
Mengenai reformasi, menurutnya, agar reformasi terus
berjalan, setiap orang harus mau melangkah bersama. Jangan membawa dan
menempatkan kepentingan pribadi atau kelompok di atas segalanya. Nanti akan
menjadi sirik dan Tuhan pasti akan menghukum bangsa ini. Ia mengimbau agar
setiap orang mawas diri dan selalu melihat apa yang telah diperbuat untuk
bangsa dan negeri ini, di mana ia makan dan hidup.
Dalam menjalani hidup ini, salah satu cara pandang
yang ia pegang adalah jika orang lain bisa, mengapa saya tidak bisa. Hal inilah
yang selalu mendorongnya selalu berusaha melakukan yang terbaik. Namun, ia juga
percaya kepada takdir. Kalau itu adalah bagian kamu, pasti kamu akan
memperolehnya, tetapi kalau itu bukan milikmu, biar dikerjakan juga pasti
sia-sia.
Cara berpikir lelaki kelahiran Rembang 12 Agustus
1942, ini sangat banyak dipengaruhi oleh didikan orangtua, terutama ayahnya.
Ayahnya seorang yang sangat berdisiplin kepada anak-anaknya. Ayahnya sering
berpesan agar tidak pernah berhenti belajar dan jangan pernah berhenti mengaji.
Ayahnya juga selalu mengajarkan agar selalu mengahormati orang kecil. Ia juga
selalu diingatkan bahwa manusia ditempatkan di dunia ini untuk berbuat, dan
insyaallah akan menuainya di surga.
Ayahnya seorang pendiri pesantren yang terkenal
sesudah Kyai Cholil Bangkalan, Kyai Tremas dan Kyai Hasyim Asy’ari Tebuireng.
Pada saat itu Kyai Cholil dibantu oleh dua kyai yaitu Kyai Mas’ud dan Kyai
Mastur, mbahnya. Ketika mbahnya wafat, mereka pindah ke desa Leteh, masih di
sekitar Rembang juga. Sampai sekarang ia masih tinggal di situ.
Ia tamat Sekolah Rakyat 6 Kartioso, hanya 5 tahun.
Sebab ia langsung diterima di kelas dua, karena ia tidak mau satu kelas dengan
adiknya (Mustofa), yang pada saat bersamaan masuk kelas satu.
Ketika itu terjadi peristiwa PKI di Madiun 1948.
Ayahnya termasuk orang yang diburu oleh PKI saat itu. Sehingga mereka harus
mengungsi ke arah timur, tepatnya ke Pare, sekitar Kediri. Pada masa pegungsian
itu, ayahnya punya usaha kecil, membuat kertas daur ulang. Dari kertas bekas
koran diolah menjadi bubur, dibentuk dan dijemur menjadi kertas. Kemudian
dipotong untuk dibuat kertas buku-buku catatan kecil (notes). Lalu dijual.
Cholil Bisri sendiri sering ikut menjualnya. Di sini jiwa wirausahanya mulai
terbangun.
Setahun setelah itu, ketika keamanan sudah pulih,
mereka kembali lagi ke Rembang. Tahun 1950 ia melanjutkan sekolah SR dan tamat
tahun 1954. Tahun 1956 ia diminta ayahnya pergi ke Krapyak, Yokyakarta, tinggal
di Pesantren Ali Mas’shum. Selama satu tahun tinggal di Krapyak, ia merasakan
betapa demokratisnya Kyai Ali Mas’shum. Ia pun merasa cukup dimanjakan oleh
Kyai Ali. Kemudian, ia kembali ke Rembang, bertepatan kedatangan Kyai Mahrus
yang masih satu generasi dengan ayahnya. Teman ngaji ayahnya ketika masih
kecil. Kyai Ma’rus berbicara dengan ayahnya dan meminta agar ia ikut bersamanya
ke Kediri. Akhirnya 1957 ia berangkat ke Kediri. Tapi hanya satu tahun.
Kemudian ia kembali lagi dibawa oleh Kyai Ali ke Krapyak.
Sekembalinya ke Krapyak, Kyai Ali memperlakukannya
sangat disiplin. Ia tidak lagi dimanjakan seperti pertama kali. Setiap membuat
kesalahan, ia diberi ganjaran. Salah satu ganjarannya, disuruh untuk menulis
kitab tertentu 2 kuras berserta dengan artinya. Terkadang ia sampai dirantai
agar tidak boleh keluar berkeliaran.
Ketika usianya mencapai 19 tahun (tahun 1961), ia
mengutarakan kepada ayahnya keinginan tinggal di Makkah. Ayahnya mengabulkan
lalu menitipkannya kepada 3 orang kyai dari Lasem untuk berangkat ke Makkah.
Selama 2 tahun ia tinggal di Makkah . Namun kemudian ia disuruh kembali ke
tanah air, karena jika terlalu lama hormat terhadap Ka’bah itu kurang.
Tiga-empat hari setibanya di tanah air, ia bertemu dengan Kyai Ali. Ia ditanya
apakah sudah mau kawin atau belum? Ia ketawa lalu menjawab, belum.
Sekitar 1963 ia kembali lagi ke Krapyak. Di sana
dibuka sekolah persiapan IAIN, setingkat Ahliyah. Setelah mengikuti ujian, ia
lulus dan diterima masuk IAIN itu. Lokasi sekolah ini berada di Demangan,
jaraknya ± 8 kilometer dari Krapyak. Krapyak wilayah paling selatan sedangkan
Demangan di wilayah paling utara Yokyakarta. Pada waktu itu satu-satunya
transportasi yang memadai hanya sepeda. Sehingga hampir setiap hari ia harus
mengayuh sepeda 8 km. Akibatnya setelah 3 bulan ia harus mengganti celana,
karena sudah robek.
Pada tiga bulan pertama, ia merasa tidak kuat jika
begitu terus. Lalu ia pun meminta kepada Kyai Ali untuk mencarikan sebuah kost di sekitar kampus. Tetapi Kyai
Ali malah menjawab: Ora!, Ora ridho aku! Maka ia terpaksa menurut saja.
Tetapi kemudian ia punya ide lain. Ia berbicara dengan ayahnya agar sepedanya
dipasangkan mesin (mobilet). Ayahnya mengabulkan. Tetapi masalah belum
berakhir, mesin motor itu perlu bensin. Sementara uang bensin sering ia pakai untuk
membeli rokok. Akhirnya ia terkadang mengayuh sepeda lagi. Dengan memiliki
mobilet, ia bergaya dan mulai mengenal perempuan. Tidak heran karena memang
mobilet pada waktu itu cukup bergengsi. Pada waktu itu orang yang punya mobilet
sangat jarang, mungkin di sekolahnya cuma dia.
Tetapi perubahan terjadi. Ia tidak begitu lama di
IAIN. Selain karena jaraknya yang begitu jauh, juga keahliannya dalam bahasa
Arab sangat dibutuhkan oleh pesantren. Bisa membantu Kyai Ali mengajar bahasa
Arab. Sehingga hanya dalam satu semester lebih dua bulan, ia terpaksa
mengundurkan diri dari IAIN dan lebih berfokus kepada kegiatan pendidikan
pesantren.
Kemudian sekitar tahun 1963, ia juga banyak berjuang
di dalam gerakan-gerakan organisasi kepemudaan Islam. Termasuk di antaranya,
sebagai salah satu pendiri PMII (Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia) di IAIN
Yokya. Selain itu, ia juga sangat senang dalam banyak kegiatan yang berhubungan
dengan olahraga dan seni. Ia suka bermain badminton. Suka juga menulis puisi.
Sejak kecil ia paling suka menulis dan merenung.
Beberapa karya tulisnya ketika itu antara lain: Kami
bukan Kuda Tunggang dan Ketika Biru Langit. Sebagian besar karya tulisnya
bertemakan keadaan sosial dan politik kontemporer. Dimana sering kali rakyat
dimafaatkan oleh penguasa.
Kesukaan terhadap seni itu juga yang
mempertemukannya dengan isterinya. Kejadiannya terjadi ketika ia mengikuti
perlombaan karya seni dan puisi yang diselenggarakan oleh IPNU. Kebetulan ia
menjadi juara pertama. Saat menerima piala, ia melihat seorang gadis yang amat
menawan hatinya. Gadis itu bernama Muchsinah, puteri Kyai Sa’muri. Dalam hati
ia berkata, Saya mau ia menjadi isteriku. Lalu, keinginan itu diutarakan kepada
ayahnya.
Waktu terus berjalan, hingga tanggal 17 Oktober
1964. Saat itu ia sedang mengajar di pesantren. Tiba-tiba ayahnya mengajak ke
rumah Kyai Sa’muri, untuk melamar gadis idamannya itu. Dua hari setelah itu,
tepatnya tanggal 19 Oktober 1964, mereka menikah. Sedangkan resepsinya diadakan
tanggal 25 Juli 1965.
Setelah menikah, ia memutuskan untuk berhenti dari
kegiatan mengajar di pesantren dan sekolah lain. Ia menyerahkan semuanya kepada
Kyai Ali dengan alasan karena sudah menikah, ia mau kembali ke kampung. Setelah
kembali ke Rembang, kegiatannya masih sangat banyak di lingkungan pemuda. Baik
itu olahraga maupun musik dan teater. Ia memimpin sebuah band, walaupun orang
banyak berpikir, anak kyai koq seperti itu. Tapi ia tidak banyak ambil pusing.
Ayahnya sendiri tidak pernah mempersoalkan.
Keadaan setelah G30/S/PKI, sangat ramai gerakan
pemberantasan anggota PKI. Saat itu ia aktif sebagai Ketua Ansor. Sementara
isterinya saat itu sedang hamil. Jadi entah suara nurani atau apa, ia melarang
kawan-kawannya menganiaya orang-orang PKI. Ia sendiri tidak mau melakukannya.
Sebab orang-orang tua mengatakan: “Sing ati-ati loh, bojomu meteng, itu
harus kamu inget Nuraninya juga tidak merasa tega. Karena mereka juga adalah
kawan-kawan bermainnya.
Saya ini seorang olahragawan, sedangkan olahragawan
berkawan dengan siapa saja. Jadi saya tidak mau menggangu mereka. Memang mereka
berbeda dalam ideologi, tetapi mereka juga adalah tetangga saya, bahkan
tetangga dekat yang hanya dipisahkan oleh sekat dinding, katanya mengingat
suasana ketika itu. Ia memang bertetangga dengan ketua PKI cabang Rembang yang
isterinya juga ketua Gerwani.
GP Anshor waktu itu ikut membantu RPKAD memberantas
PKI. Tetapi ia meminta kepada komandan pasukan untuk tidak menganiaya mereka.
Kalaupun mereka salah, lebih baik mereka dihukuman sesuai dengan hukum yang
berlaku. Tetangganya yang ketua PKI itu akhirnya tertangkap. Rumah dan segala
kepemilikannnya disita oleh ABRI. Sehingga waktu itu pesantren punya tetangga
baru, yaitu ABRI.
Pada tahun 1967 anaknya lahir, sehingga kebutuhan
keluarga bertambah. Untuk mengatasi kebutuhan itu, ia membuat usaha
kecil-kecilan. Ketika itu ia berpikir, tak masalah mengerjakan apa saja, yang
penting ada kerjaan. Ia pun meminjam modal dari ayahnya. Kendati ia tahu
ayahnya bukan orang yang banyak uang. Tapi ayahnya memberinya kesempatan menjualkan
kitab-kitab di pesantren-pesantren. Lalu hasil penjualannnya dikumpulkan untuk
membuat usaha baru.
Waktu itu ia mulai dengan menjual minyak wangi dari
Arab. Ia bersama isteri mengelolanya bersama-sama. Malam hari mengolah,
mencampurkan bahan-bahannya dan mengisi bolol bersama isteri. Pagi harinya ia
sendiri berangkat menjual. Sore hari pulang. Setiap hasil yang ia dapat
dicatat. Ia kerjakan itu, pulang pergi Semarang-Rembang. Terkumpulah uang
sedikit-sedikit. Ia pun menghemat. Kalau sebelumnya biasanya beli rokok, tetapi
waktu itu ia melinting saja.
Pernah juga terpikir untuk mencari rumah sendiri,
berpisah dari orang tua. Tapi ayahnya melarang. Karena ayahnya merasa bahwa
rumahnya masih sangat cukup untuk tinggal bersama. Ia bahkan berkata: “Aku ora
butuh ombo-ombo aku satu kamar saja cukup”. Barulah setelah anaknya yang kedua
lahir tahun 1969, ia dijinkan mandiri. Tetapi tidak keluar Rembang. Ia diberi
tempat tinggal di sekitar komplek pesantren, para santri di situ dipindahkan.
Jadi mulailah ia mandiri tahun 1970.
Pada masa itu banyak usaha yang ia kerjakan. Menjadi
makelar radio, sepeda dan segala macam. Hampir terlihat serabutan. Pernah ia
mau melamar jadi pegawai negeri. Tapi tidak bisa karena tidak punya ijazah.
Maka sejak saat itulah, sekitar tahun 1971, ia mulai masuk ke partai. Karena
ada ikatan dengan Kyai Bisri, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Partai NU Cabang
Rembang.
Saat Pemilu dimulai, terjadi gegeran dengan tentara
sehingga banyak kawan-kawan yang mengungsi ke rumahnya, karena takut mengalami
tekanan dan kesulitan. Keadaan ini terjadi karena anggota-anggota NU diminta
masuk Golkar. Situasi ketika itu menjadi sangat tegang. Nuansa saling
mencurigai sangat tinggi. Bahkan sampai-sampai jika ada aparat pemerintah desa
yang tak mau bergabung dengan Golkar akan dipecat.
Sehingga tugasnya waktu itu banyak berurusan dengan
Kodim untuk membebaskan kawan-kawannya yang ditangkap tanpa proses hukum yang
jelas. Ia dibantu juga oleh beberapa polisi. Karena banyak dari anggota polisi
di daerah itu adalah kawannya satu sekolah. Bahkan ada seorang polisi
diturunkan pangkatnya karena ketahuan pernah mengawalnya. Padahal waktu itu ia
adalah anggota DPRD tingkat II dari Partai NU.
Kemudian, pada tahun 1973 lahirlah keputusan
Presiden Soehato menetapkan hanya 3 partai yang boleh mengikuti Pemilu, yakni
PPP, PDI dan Golkar. Sehingga NU harus bergabung dalam PPP. Akhirnya, ia pun
ikut menggalang munculnya PPP. Ia menjadi Ketua PPP pertama di Rembang.
Menjelang Pemilu 1977, seminggu sebelum kegiatan
masa kampanye, ayahnya wafat, tepatnya tanggal 27 Febuari 1977. Pada masa
kampanye itu, ia masih dalam keadaan berkabung. Bukan hanya itu, ia juga diberi
peninggalan pesantren dari ayahnya. Sementara, saat itu bisnisnya mulai
berkembang. Salah satu usahanya waktu itu adalah mengembangkan pemeliharaan
perternakan kambing dan memasok ke pasar-pasar (Cobong Gamping). Saat itu ia
sudah memiliki 6 Cobong Gamping, yang hampir setiap satu jam ada transaksi
jual-beli. Bahkan ia sudah memiliki truk dan mampu membeli motor.
Sepeninggal ayahnya, ia sempat menyuruh semua santri
pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi tidak ada yang mau pulang. Mereka baru
mau pulang jika pelajaran Al-quran yang selama ini diajarkan sudah rampung. Hal
itu ia bicarakan kepada adiknya, Mustofa. Ia meminta agar adiknya saja yang menjadi
kyai pesantren. Karena ia mau menjadi pengusaha. Tetapi adiknya tidak mau,
malah memilih menjadi seniman.
Ketika itu posisinya dalam usaha dan politik mulai
membaik. Dalam politik ia menjadi wakil ketua DPRD Tingkat II. Tetapi karena ia
anak tertua, maka ia berkewajiban mengambil amanah itu untuk menjadi kyai
pesantren. Akhirnya ia menjadi kyai, mengasuh para santri. Usahanya
ditinggalkan sehingga tutup. Tetapi jabatan wakil ketua DPRD II dipertahankan.
Pada Pemilu 1982, ia diminta untuk menjadi anggota
DPRD tingkat I. Tetapi ia tolak. Karena ia mempuyai pesantren yang harus
diurus. Waktu itu ia hanya mau di DPRD tingkat II, seumur hidup. Tawaran
menjadi anggota DPRD Tingkat I itu diserahkan kepada adiknya, Mustofa. Adiknya
menerima tawaran itu setelah didorong dengan berbagai penjelasan.
Sedangkan adiknya yang satu lagi adalah seorang PNS,
mengajar di PGA lalu dipindahkan ke SMA di Rembang. Oleh pimpinan sekolahnya
dipaksa masuk Golkar. Adiknya datang kepadanya, bertanya apa yang harus
dilakukan? Ia hanya mengatakan, lakukan saja apa yang patut kamu lakukan dan
jangan ragu. Akhirnya adiknya pergi ke makam ayah mereka. Setelah itu, adiknya
menceritakan bahwa ia bertemu dengan ayah, dan memberi wangsit supaya tidak
masuk ke Golkar. Besok paginya adiknya menyerahkan surat-surat formulir dan
lainnya ke pimpinan sekolah dan pergi begitu saja. Adiknya memilih lebih baik
berhenti dari pegawai negeri daripada masuk Golkar.
Anak-anak muridnya tidak mau ditinggalkan, karena ia
adalah guru teladan dengan pembawaan dan sikap yang menyenangkan dan juga
ganteng. Tapi setelah keluar sebagai guru, adiknya malah mendapat pekerjaan
baru yang lebih baik, menerjemahkan buku-buku, penghasilannya lebih baik sampai
mampu menyekolahkan anak ke UGM.
Pada tahun 1984 ia telah berada di lingkungan
tokoh-tokoh NU tingkat Nasional. Ia juga tergabung dalam penyusunan konsep
Khitoh NU di rumahnya. Pada tahun 1987 diangkat menjadi Ketua MPW (Majelis
Pertimbangan Wilayah). Sedangkan Mustofa, adiknya, sudah tak mau lagi jadi
anggota DPRD Tingkat I. Mustofa mau memfokuskan diri pada bidang budaya.
Sementara ia sendiri belum mau untuk naik ke DPRD tingkat I. Posisinya di
Rembang masih Wakil Ketua DPRD Tingkat II. “Waktu itu tunjangan sudah
membaik, tetapi masih banyak teman di DPRD yang cari-cari proyek. Tapi saya
tidak mau karena tanggung jawabnya kepada Tuhan,� katanya. Sebab ia sudah
merasa cukup koq. Ia memang selalu berpendirian tidak mau “dipoyoi�
orang.
Pada tahun 1992, ia mulai merasa jenuh di DPRD
tingkat II. Sementara ia ditawarkan oleh ketua wilayah untuk masuk ke tingkat
I. Tapi ia malah berpikir untuk masuk ke DPR RI. Dan pada tahun itu ia menjadi
anggota DPR RI dari PPP.
Pada Muktamar PPP 1992, ia mulai berpikir bahwa PPP
ini besar karena dukungan warga NU. Tetapi mengapa ketuanya bukan orang NU?
Sehingga pada tahun 1994, ia mulai mengadakan gerakan di PPP, yang akhirnya
dikenal dengan nama “Gerakan Kelompok Rembang”. Ia dengan teman-teman berusaha
keras untuk bisa menggolkan orang NU menjadi Ketua Umum PPP. Tetapi ada
wartawan yang menanyakan kepadanya, apakah tidak lebih baik minta restu dari
Pak Harto? Entah kenapa ia menjawab: “Saya tak butuh Pak Harto, Tapi saya hanya
butuh Tuhan!”
Jawaban itu menjadi berita dan ramai dibicarakan.
Koq Cholil berani ngomong begitu? Akibatnya, gagallah upaya menempatkan seorang
figur NU menjadi Ketua Umum PPP. Hanya diberikan kesempatan menduduki Sekjen.
Untuk jabatan Sekjen, orang pilihan yang ia sodorkan waktu itu ialah Matori.
Tetapi ditolak oleh Pak Ismael Hasan. Figur tandingannya adalah Tosari. Saya
merasa kalah total, sebab setiap saya menyodorkan orang-orang NU, setiap kali
juga ditampik dengan menyodorkan orang-orang NU juga. Jadi orang-orang saya
semuanya ditolak, kenang Cholil Bisri.
Kemudian menjelang Pemilu 1997, ia dicalonkan dari
Jawa tengah dalam urutan 10 besar. Tetapi setibanya di Jakarta, karena ada
pengaruh Pak Harto, ia ditempatkan menjadi nomor 53. Sehingga tidak jadi
anggota DPR. Setelah itu, walaupun kecewa, ia kembali bertekun di pesantren. Ia
pun banyak menulis. Ia benar-benar menjadi orang desa, tetapi masih aktif di
partai sebagai MPW. Saat itu, ia pernah diajukan oleh partai supaya ke MPP.
Tetapi ditolak oleh Pak Ismael Hasan. Walaupun demikian ia tetap diangkat
menjadi anggota MPR RI dalam Badan Pekerja sebagai wakil utusan daerah, bukan
dari partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar