BIODATA
Nama
: KH. Dr. Idham Chalid
Lahir
: Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921
Alamt:
Jalan Fatmawati,Komp.Darul Ma’arif Jakarta Selatan
|
Jabatan Penting :
Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU)
Ketua Partai Masyumi
Pendiri/Ketua Partai NU
Pendiri/Ketua Partai Persatuan
Pembangunan ( PPP)
Wakil Perdana Menteri Indonesia
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
MPR
Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Kabinet Pembangunan I 1968-1973)
Menteri Sosial
Tim Penasehat Presiden, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4)
PENGHARGAAN: Doktor Honoris Causa dari
Al-Azhar University, Kairo, Mesir
BIOGRAFI
KH Idham Chalid kelahiran Satui, Kalimantan Selatan,
27 Agustus 1921, seorang ulama dan politikus pelaku filosofi air. Dia seorang
tokoh Indonesia yang pernah menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif,
legislatif dan ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum PB
Nahdlatul Ulama). Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi,
NU dan PPP.
Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari
Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan
ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia
bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan
prinsip Islam yang diembannya. Demikian pula sebagai politisi, ia mampu
melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis. Dengan sikap dan
peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan
kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah
Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan stereotip negatif
sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.
Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan
mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan
mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-polticnya.
Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH
Idham Chalid yang berlatarbelakang guru itu adalah seorang tokoh nasional
(bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada
kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.
Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU
selama 28 tahun (1955-1984), itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap,
sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi
situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak
jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas
radikal.
Sebagaimana digambarkannya dalam buku biografi
berjudul “Idham Chalid: Guru Politik Orang NU” yang ditulis Ahmad Muhajir
(Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007) bahwa
seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi air.
“Apabila air dimasukkan pada gelas maka ia akan
berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember,
apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat
kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir ke temapat yang lebih
rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis
mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak
turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi
kehidupan makhluk di dunia. (Hal 55)
Sebagai ulama dan politisi pelaku filosofi air,
Idham Chalid dapat berperan sebagai tokoh yang santun dan pembawa kesejukan.
Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara peluncuran buku otobiografi: “Napak
Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah”, di
Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6 Maret 2008.
Buku otobiografi Idham Chalid itu diterbitkan
Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS) yang dipimpin Arief Mudatsir Mandan, yang
juga anggota Komisi I DPR dari PPP, juga selaku editor buku tersebut. Idham
Chalid sendiri tengah terbaring sakit di rumahnya Jalan Fatmawati, Jakarta
Selatan.
“Saya kira tidak ada tokoh yang bisa seperti beliau.
Ketokohannya sangat menonjol, sehingga pernah memimpin partai politik pada tiga
parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP,” kata Wapres Jusuf Kalla
mengapresiasi sosok Idham Chalid, saat memberi sambutan pada acara peluncuran
buku tersebut.
”Beliau itu moderat, bisa diterima di ’segala
cuaca’, berada di tengah, oleh sebab itu ia bisa diterima di mana-mana. Ia
berada di tengah titik ekstrem yang ada,” ujar Kalla dihadapan sejumlah
undangan, antara lain Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono,
Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, dan sejumlah anggota kabinet dan DPR.
Menurut Jusuf Kalla, sikapnya yang moderat hanya
bisa dijalankan oleh orang yang santun. “Hanya orang santunlah yang bisa
bersikap moderat,” puji Jusuf Kalla untuk menegaskan bahwa Idham Chalid
merupakan sosok ulama dan politisi yang moderat dan santun. Itulah sebabnya, ia
bisa diterima di berbagai era politik dan kepemimpinan bangsa.
Menurut Wapres, jika berada di titik yang sama
ekstremnya, maka selain demokrat, sosok politik orang yang menjalani itu sudah
pasti santun. ”Karena itu, sikap yang santun bisa menjaga suasana kemoderatan,”
katanya.
Idham Chalid yang memulai karir politik dari anggota
DPRD Kalsel, seorang ulama karismatik, yang selama 28 tahun memimpin Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada era
pemerintahan Soekarno, Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era
pemerintahan Soeharto dan mantan Ketua DPR/MPR. Idham juga pernah menjadi Ketua
Partai Masyumi, Pendiri/Ketua Partai Nahdlatul Ulama dan Ketua Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Sementara itu, editor buku, Arief Mudatsir Mandan,
mengemukakan, Idham Chalid satu-satunya Ketua Umum PBNU yang paling lama dan
bukan ”berdarah biru” NU. Menurutnya, selama kepemimpinan Idham, NU tidak
pernah bergejolak. Kendati ia sering dinilai lemah, tetapi sebenarnya itulah
strateginya sehingga bisa diterima berbagai zaman,” ujar Arief Mudatsir Mandan.
Riwayat
Hidup KH Idham Chalid
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di
Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, dan
merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu
asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.
Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke
Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar
bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham
dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Idham tercatat sebagai tokoh paling muda sekaligus
paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926
tersebut.
Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan
itu, Idham menapaki karier yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan.
Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU).
Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu
hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU
kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta
tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.
Selain itu, Idham juga tercatat sebagai “Bapak”
pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis
yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan
mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.
Selama
28 Tahun Almarhum Idham Chalid Pimpin NU
Tidak banyak orang yang memiliki pengalaman seperti
almarhum Mantan Ketua Umum PBNU KH Idham Chalid dengan berbagai peran dan
jabatan yang disandangnya.
Idham Chalid yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1922
di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, adalah
anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal
Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Alamarhum memiliki pengabdian dan pengalaman yang
begitu beragam. Setidak Idham Cholid yang telah memimpin NU selama 28 tahun ini
dalam karirnya selalu berada dalam tiga sosok, yaitu ketua NU sebagai ormas, NU
sebagai parpol dan sebagai pejabat negera. Dia juga pernah memimpin tiga partai
yaitu Masyumi, NU dan PPP.
Kiai Idham Chalid pernah menduduki tiga jabatan
menteri, yaitu wakil perdana menteri, menkopolkam, dan menteri sosial. Di
posisi legislatif, ia juga menduduki berbagai jabatan mulai dari anggota DPRD
Kalsel, DPR dan MPR.
Mengenai kemampuannya membawa NU dalam berbagai
situasi, hal ini dikarenakan ia merupakan orang moderat yang selalu berada
ditengah, disertai sikap kesantunan sehingga bisa diterima oleh semua pihak.
Kiai Idham Chalid juga telah berhasil membawa NU keluar dari masa-masa pelik,
bahkan genting saat Indonesia masih berusia muda dengan dinamika politik yang
luar biasa.
Kiai Idham tercatat sebagai tokoh yang paling muda
sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun
1926 tersebut. Dalam ormas berlambang bola dunia dan bintang sembilan itu,
Idham menapaki karir yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan.
Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Jabatan tersebut diembannya selama
28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Selanjutnya posisi Idham di PBNU digantikan
oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis
yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan
mengelola Pesantren Daarul Maarif di Bilangan Cipete.
KH
Idham Chalid Bukan Hanya Milik Warga NU
Meninggalnya KH Idham Chalid (88) menjadi kehilangan
besar bagi warga NU se-Indonesia. Baik semasa Orla maupun Orba, Idham Chalid
selalu mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Menurut tokoh NU Kabupaten Magelang, KH Muhammad
Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), mengemukakan, almarhum telah menjadi bagian dari
perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Dia juga berjasa besar bagi
pengembangan organisasi NU maupun partai yang pernah berafiliasi dengan NU
seperti PPP.
“Beliau adalah tokoh panutan kami. Bangsa Indonesia
kehilangan sosok dia karena beliau telah mewarnai sejarah bangsa ini lewat
kiprahnya,” kata Gus Yusuf, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Asrama
Perguruan Islam (API) Tegalrejo, kemarin.
Idham Chalid meninggal dunia pada Minggu (11/7),
sekitar pukul 08.00 WIB, di rumah duka Pondok Pesantren Daarul Maarif, Cipete,
Jakarta Selatan. 10 tahun terakhir dia harus berjuang melawan serangan jantung
dan stroke.
Rencananya, jenazah akan dimakamkan Senin (12/7) di
Ponpes Darul Quran, milik keluarga, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat karena
menunggu kehadiran sebagian putra-putri dan sanak saudara yang tinggal baik di
Kalimantan Selatan maupun berbagai daerah lain di Tanah Air.
Perjuangkan
Idealisme
Semasa hidupnya, KH Idham Chalid selalu
memperjuangkan idealismenya bagi kemajuan bangsa dan negara tanpa meninggalkan
posisi dirinya sebagai seorang kiai. Di tengah himpitan situasi politik
terutama masa Orde Baru, dia memerankan diri sebagai politisi ulung namun tetap
kukuh sebagai seorang kiai.
“Dia tidak meninggalkan jati diri sebagai ulama NU.
Hal ini karena dia berpolitik dilandasi ketekunan menjalankan ibadah,” lanjut
Gus Yusuf.
Karena itu, Gus Yusuf tak ragu menyebut Chalid
sebagai pribadi yang seimbang antara kepentingan rohani dengan duniawi. “Tidak
seperti politikus saat ini yang sibuk dengan urusan-urusan politik tetapi tidak
menjalankan secara konsekuen ibadahnya,” kritik tokoh seniman Komunitas Lima
Gunung Magelang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar