Pembicarakan
kisah hidup Kiai Bisri berarti membicarakan kecintaan seorang ulama terhadap
ilmu fiqih. Karena saking cintanya, Kiai Bisri dikenal sebagai ulama yang
tegas memegang prinsip. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga cucunya
sendiri, menyebut Kiai Bisri sebagai “Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat” yang
ter-muat sebagai judul buku yang ia tulis.
Ada
kisah menarik yang termuat dalam buku Gus Dur. KH Abdul Wahab Chasbullah
sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Bisri. Kiai Wahab, menurut Gus
Dur, lahir sebagai anak kaya di Bibis, Kota Surabaya.
|
Ibunya memiliki ratusan rumah di daerah tersebut
yang disewa oleh orang-orang Arab pada paruh kedua abad ke-19 Masehi.
Sebaliknya, Kiai Bisri lahir beberapa tahun
kemudian, di tengah-tengah keluarga miskin di kawasan Tayu Wetan, Pati, Jawa
Tengah. Dia belajar di pesantren lokal dan kemudian di pesantren KH Cholil
Demangan, Bangkalan. Di sanalah dia bertemu dengan Kiai Wahab.
Kiai Bisri muda dapat terus menjadi santri karena ia
mencuci pakaian dan menanak nasi untuk kawan barunya itu, Kiai Wahab muda.
Segera Kiai Bisri muda menjadi orang kepercayaan Wahab muda karena jujur dan
rajin. Jadi, urusannya sudah bukan lagi menyangkut pakaian dan makanan, tetapi
sudah berkaitan dengan watak dan tempramen. Walaupun begitu, keahlian ilmu
agama Islam kedua orang itu juga saling berbeda.
Perbedaannya terletak pada bidang ilmu agama yang
mereka senangi. Kiai Wahab senang pada ilmu ushul fiqh, sedangkan Kiai Bisri
menyukai tafsir dan hadits Nabi Muhammad SAW. Bidang itu juga dinamai kajian
naqly, bertumpu kepada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, Kiai Bisri tidak banyak berkutat dengan
penggunaan akal (rasio) sebagaimana Kiai Wahab. Pernah Kiai Wahab bertanya
kepada Gus Dur; “Saya dengar kakekmu itu tidak pernah makan di warung?” Gus Dur
menjawab, “Memang benar demikian.”
Kiai Wahab kembali bertanya, “Mengapa?” Gus Dur
menjawab, “Kiai Bisri tidak menemukan hadits yang menyatakan bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah makan di warung.” Kiai Abdul Wahab menga-takan; “Ya, tentu
saja karena waktu itu belum ada warung.”
Tetapi pergaulan mereka, tokoh tekstual di satu sisi
dan tokoh satunya yang senang menggunakan rasio, ternyata sangat erat. Hal ini
tampak ketika ada bahtsul masail. Gus Dur pernah menyaksikan sekitar 40-an
orang kiai berkumpul dari pagi hingga sore hari di ruang tamu Kiai
Bisri.Ternyata, keduanya berdebat seru, yang satu membolehkan dan yang satu
lagi melarang sebuah perbuatan.
Demikian seru mereka berbeda, hingga akhirnya semua
kiai yang lain menutup buku/kitab mereka dan mengikuti saja kedua orang itu
berdebat. Sampai-sampai, baik Kiai Abdul Wahab maupun Kiai Bisri berdiri dari
tempat duduk mereka sambil memukul-mukul meja marmer yang mereka gunakan
berdiskusi. Muka keduanya me-merah karena bertahan pada pen-dirian
masing-masing.
Akhirnya kemudian Kiai Abdul Wahab menyerang, “Kitab
yang Sampeyan gunakan adalah cetakan Kudus, sedangkan kitab saya adalah cetakan
Kairo.” Ini adalah tanda Kiai Abdul Wahab kalah argumentasi dan akan menerima
pandangan Kiai Bisri. Walau pada forum bahtsul masail itu mereka berbicara
sampai memukul-mukul meja dengan wajah memerah, namun ketika tiba-tiba beduk
ber-bunyi, Kiai Bisri segera berlari ke sumur di dekat ruang pertemuan
tersebut. Di sana, dia naik ke pinggiran sumur dan menimbakan air wudhu bagi
iparnya itu. Beda pendapat boleh tapi harus tetap rukun. Demikian kira-kira
pegangan mereka.
Kisah menarik lainnya terdapat di buku “Menapak
Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh NU”. Dalam resepsi penutupan Kongres
Gerakan Pemuda Ansor di Surabaya, April 1980, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH
Yusuf Hasyim (Pak Ud) membisiki seseorang, “Sakitnya KH Bisri Syansuri semakin
parah. Beliau dalam keadaan tidak sadar siang tadi ketika saya tinggalkan
berangkat kemari,” ujarnya. Orang yang diberitahu tersentak mendengar bisikan
itu. Sebab tiga hari sebelumnya, dia ikut hadir di ruang tamu rumahnya, sewaktu
pendiri dan pemimpin Ponpes Mambaul Maarif itu menerima Probosutedjo, pengusaha
kenamaan dan adik Presiden Soeharto.
Probosutedjo diundang untuk memberikan ceramah
tentang kewiraswastaan dalam Kongres Ansor di Surabaya. Kehadirannya memenuhi
undangan tersebut di-manfaatkan sekaligus untuk me-ngunjungi Kiai Bisri yang
sedang dalam keadaan sakit. Ketika itu Kiai Bisri menjemput sendiri tamunya di
teras tempat kediamannya. Bersa-rung putih dengan garis kotak-kotak kebiruan,
mengenakan baju putih dan berkopiah haji. Kiai Bisri mem-persilakan tamu dari
Jakarta itu me-masuki ruang depan rumahnya yang tua dan berperabotan sederhana.
Wajahnya, seperti biasa, tampak jernih. Dengan sabar
penuh perhatian ia mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh tamunya. Dan
dengan suara lembut ia menjawab setiap pertanyaan, menjawab salam dari Presiden
Soeharto yang disampaikan oleh Probosutedjo dan dengan halus menolak tawaran
berobat ke luar negeri.
Terdapat pula kisah Kiai Bisri dalam buku “Antologi
NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” jilid I. Saat berlangsung Sidang Umum MPR
tahun 1978 ada peristiwa luar biasa. Fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan
fraksi lain. Setelah berkali-kali adu argumentasi mengenai rancangan ketetapan
MPR tentang P4 namun tetap tidak membuahkan hasil. Sementara partai sudah
meng-gariskan untuk memegang teguh ama-nat itu, mereka pun keluar sidang.
Seluruh anggota Fraksi PPP segera berdiri. Dipimpin
langsung oleh KH Bisri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak
setuju terhadap hasil keputusan. Meski sudah berusia 92 tahun, kiai yang
menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.
Ketegasan lain nampak tatkala DPR membahas RUU
tentang perkawinan. Secara kesluruhan RUU itu dinilai banyak bertentangan
dengan ketentuan hukum agama Islam. Maka, di mata Kiai Bisri, menghadapi kasus
itu, tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.Langkah pertama yang Kiai
Bisri lakukan adalah dengan mengumpulkan sejumlah ulama di daerah Jombang untuk
membuat RUU tandingan yang akan diajukan ke DPR-RI. Setelah RUU tandingan itu
selesai dibahas, lalu disampaikan ke PBNU, yang diterima secara aklamasi.
Setelah itu amandemen RUU itu diajukan ke Majelis
Syuro PPP dan diterima. DPP PPP memerintahkan Fraksi PPP DPR-RI agar menjadikan
RUU tandingan itu sebagai rancangan yang diterima dan harus diperjuangkan.
Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, serta lebih banyak
dilakukan di luar gedung DPR-RI, akhirnya RUU itu disahkan setelah ada revisi
dan tidak lagi bertentangan dengan hukum Islam.
Pecinta
Ilmu Sejati
Kiai Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa
Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama
Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh
pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di
Kajen.Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim
Asy’ari di Tebuireng, Jombang.
Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di
Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad
Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki,
Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas.
Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di
kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari,
KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus
Sholah).
Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di
pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri
ke-mudian mendirikan Ponpes Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917.
Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para
kiai muda saat itu antara lain Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem
dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar
(konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu
Madrasah Taswirul Afkar. Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan
organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan
pelayanan kesehatan yang dirintis-nya di berbagai tempat.Di masa penjajahan
Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf
Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga
peme-rintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
me-wakili unsur Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante
tahun 1956 hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke
PPP, Kiai Bisri pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih
menjadi ang-gota DPR sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94
tahun pada 25 April 1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar.
Mundur
dari Jabatan Rais Am
Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut
dilupakan. Kiai Bisri turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari
1926 di Surabaya saat para ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada periode
pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode
berikutnya Kiai Bisri pernah menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi
Rais Am hingga akhir hayatnya.
Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip,
kesantunan Kiai Bisri juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU
ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang
perlu kita teladani.
Ketika itu sedang terjadi pemili-han Rais Am yang
melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu
Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am (incumbent) dengan Kiai Bisri yang
menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan.
Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai
Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang menga-lahkan
sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh
kemenangan juga sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin,
tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, selama masih ada Kiai
Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri
menduduki jabatan itu. “Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan
kembali menyerah-kan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.” Menanggapi
sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa
tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk
memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri
dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun
1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun
1980. (AULA Juni 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar