Hubungan
batin Kiai Zubair dengan santri-santrinya terus terjalin, kendati si santri
telah merantau ke negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair
sering mendapat firasat tentang keadaan mereka.
Di
kala begitu banyak orang menyebut diri seorang pendidik dan pembela hak-hak
anak, termasuk hak pendidikan, seorang kiai justru berkarya dalam diam. Ia
memberikan kepada santri-santrinya tidak hanya ilmu, waktu, dan tenaga,
melainkan juga cinta yang begitu besar.
|
Di kala begitu banyak orang yang mengaku dirinya pejuang
hak-hak anak, mendiskusikan, membicarakan, dan melakukan pelatihan tentang hak
anak, sang kiai telah memberikan pemenuhan semua hak tersebut kepada
santri-santrinya.
Di kala begitu banyak orang yang mengaku diri
pejuang pendidikan anak, berlomba-lomba mengejar begitu banyak penghargaan,
melalui tulisan, melalui kata-kata, sang kiai dengan rendah hati menyatakan
dirinya hanya seorang hamba Allah yang tidak mempunyai kelebihan dan bukan dia
yang pintar tetapi yang pintar adalah santri-santrinya.
Bagi seorang pengasuh santri, penghargaan yang
sebenarnya adalah keberhasilan anak-anak didiknya. Bahkan cintanya tidak hanya
kepada santri yang masih jadi anak asuhnya, melainkan juga alumninya. Inilah
yang terekam saat alKisah berjumpa kiai khos Madura yang mempunyai ribuan
santri dan ratusan alumnus, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan
Barat, Bangkalan, K.H. Zubair Muntashor.
Dulu
Agak Mbeling
Kiai Zubair adalah putra pasangan K.H. Muntashor,
pendiri Pesantren Nurul Kholil, dan Nyai Nazhifah binti K.H. Imron bin K.H.
Muhammad Cholil – yang lebih akrab dengan panggilan Kiai Cholil Bangkalan atau
Syaichona Cholil Bangkalan. Jadi, Kiai Zubair adalah cicit Syaichona Cholil.
Menurut cerita salah seorang santrinya, dulu Ibu
Nyai Nazhifah lama tidak mempunyai keturunan. Maka, suatu ketika, Kiai
Muntashor bermunajat di Makkah. Ketika itulah, Kiai Muntashor mendapat sebutir
gabah, yang kemudian diberikan kepada Ibu Nyai.
Alhamdulillah, tak berapa lama, munajat Kiai
Muntashor diijabah Allah. Ibu Nyai mengandung dan melahirkan seorang bayi
laki-laki yang tampan. Anak itu pun diberi nama Zubair.
Zubair kecil diasuh dan dididik langsung oleh
ayahnya, yang juga salah seorang kiai terpandang di kawasan Bangkalan, dalam
lingkungan keagamaan yang kuat. Hingga saat berusia belasan, ia dikirim untuk
belajar di Pondok Pesantren Sidogiri.
Di pesantren tua ini, ia menghabiskan masa belajar
selama tujuh tahun. “Saya mondok selama tujuh tahun. Tapi dulu saya agak
mbeling, nakal,” kata Kiai Zubair suatu ketika. Semangat belajarnya saat itu
memang tidak menggebu-gebu.
Namun ketika ayahandanya wafat, Kiai Zubair
tersentak, dan menyadari bahwa dialah generasi penerus satu-satu ayahnya,
karena ia anak semata wayang, yang harus melanjutkan estafet dakwah sang ayah,
yang juga harus mengasuh ratusan santri di pesantren peninggalan ayahnya,
Pondok Pesantren Nurul Cholil.
Ia bingung, karena belum siap, terutama dari sisi
ilmu. Maka, dengan semangat membara, yang dilandasi keikhlasan karena Allah, ia
pun berusaha keras belajar dengan cara sorogan kepada beberapa kiai di Madura.
“Saya berusaha dengan ikhlas untuk belajar. Saya
tidak ingin pondok peninggalan ayah mati begitu saja,” katanya.
Menurut salah seorang santrinya, setelah sang ayah
wafat sekitar tahun 1978, ia berusaha keras untuk belajar mendalami ilmu agama.
Namun, di samping usaha yang keras itu, ia juga mendapat anugerah berupa ilmu
laduni. Karena itu, tak mengherankan bila di usia yang terhitung muda, sekitar
30 tahun, Kiai Zubair sudah bisa merangkul jama’ah majelis ta’lim peninggalan
ayahnya, yang di antara mereka ada kiai sepuh dan ustadz.
Sementara Pesantren Nurul Kholil dalam asuhannya pun
berkembang sangat pesat. Tidak saja dari segi infrastruktur pesantren dan
jumlah santri, tapi juga kualitas keilmuan santrinya, yang tak kalah dibanding
dengan pesantren lainnya.
“Alhamdulillah bisa berjalan lancar, berkat doa
mbah-mbah saya dan pertolongan Allah Ta’ala,” kata Kiai Zubair saat ditanya
mengenai keberhasilannya dalam mengelola pesantren. Perhatiannya terhadap
santri juga sangat besar. Walau para pengurus dan guru telah senantiasa
mengontrol santri-santri, Kiai Zubair secara rutin berkeliling melihat keadaan
ribuan santrinya itu secara langsung.
Delapan
Jam Madura-Jakarta
Banyak kisah unik mengenai dirinya dengan santri-santrinya.
Pernah suatu ketika, tahun 1998, salah seorang santrinya diperintahkan untuk ke
Jakarta, tepatnya ke Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, menggunakan mobil carry,
dalam waktu 10 jam. Si santri tentu heran. Mana mungkin Madura-Jakarta ditempuh
dalam waktu 10 jam?
Tetapi Kiai Zubair memaksa, bahkan memarahi si
santri. Maka, dengan membaca bimillah, akhirnya si santri berangkat juga.
Ajaib, waktu yang ditempuh hanya delapan jam.
Setelah kembali ke Madura, si santri diberi tahu
oleh kakak sepupu Kiai Zubair, (almarhum) K.H. Abdullah Schall. “Jangan heran,
itu adalah ilmu orangtua Kiai Zubair yang diberikan kepada Kiai Zubair,”
katanya. Dalam menguji santrinya, Kiai Zubair juga terkenal unik. Ia sering
meminta sesuatu kepada santrinya padahal si santrai masih tidak mampu secara
materi. Secara nalar, permintaan itu tidak akan bisa dipenuhi. Tapi justru
sebaliknya. Malah, kehidupan si santri menjadi berkah berlipat-lipat. Ini
banyak dialami santri-santri Kiai Zubair.
Kedekatan dan kasih sayang Kiai Zubair terhadap
santri memang luar biasa. Hal ini sangat dirasakan oleh santri-santrinya, baik
yang masih belajar maupun yang sudah menjadi alumni. Hubungan batin Kiai Zubair
dengan santri-santrinya ini terus terjalin, kendati si santri telah merantau ke
negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair sering mendapat
firasat tentang keadaan mereka.
“Saya senantiasa memperhatikan mereka semua,
walaupun mereka telah selesai nyantri. Semua itu saya lakukan karena saya ingin
santri-santri saya menjadi manusia yang baik. Tidak harus menjadi ulama atau
ustadz semua. Jika menjadi pedagang, jadilah pedangan yang baik. Tidak menipu
orang. Jika menjadi tukang becak pun, jadilah tukang becak yang baik. Kalau
waktu shalat, ya shalat. Pokoknya saya berharap semua santri saya bertaqwa
kepada Allah SWT,” kata Kiai Zubair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar