Ulama
Pejuang dan Perintis Pertanian Tembakau
Nama
Probolinggo telah ada sejak tahun 1359 M. (1281 Saka). Ketika Prabu Hayam
Wuruk berhasil mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit tahun
1357 M (1279 Saka) atas jerih payah Maha Patih Mada, rombongan pembesar
kerajaan kemudian bermuhibah ke daerah ini dan enggan kembali. Sehingga
ketika sang prabu sedang linggih (duduk) merenugi keindahan kawasan ini, maka
kawasan ini dinamakan oleh masyarakat sebagai Prabu Linggih.
|
Setelah mengalami proses perubahan ucapan, kata
Prabu Linggih kemudian berubah menjadi Probo Linggo (Probolinggo). Daerah ini
merupakan salah satu bagian dari Propinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung
Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan luas sekitar 1.696,166 Km
persegi.
Paiton adalah adalah sebuah kecamatan di Kabupaten
Probolinggo, Provinsi Jawa Timur yang terkenal dengan kehadiran kompleks
Pembangkit Listrik-nya. Kawasan ini berada pada garis pantai yang menghadap ke
selat Madura. Kawasan ini juga merupakan daerah penghasil tembakau. Karenanya
banyak sekali masyarakat Paiton yang bekerja sebagai petani, nelayan dan
pedagang barter seperti tembakau (blandang).
Dengan letak geografis yang cukup menguntungkan
dalam perdagangan laut, terutama nelayannya, maka banyak nelayan dari Pasuruan;
Sampang, Madura; Muncar, Banyuwangi yang singgah di sini. Karenanya, mayoritas
penduduk di kawasan ini adalah etnis Madura. Sehingga dengan sendirinya,
sebagaimana umumnya karakter masyarakat etnis madura, Paiton juga merupakan
kawasan masyarakat santri yang memiliki banyak pesantren sebagai tempat
mendidik generasi mudanya.
Salah satu di antara pesantren-pesantren kawasan ini
yang cukup terkenal adalah Pesantren Nurul Jadid di desa Karanganyar, Kecamatan
Paiton, Kabupaten Probolinggo, yang didirikan oleh KH Zaini Abdul Mun’im.
Seorang ulama pejuang Republik kelahiran Madura yang datang ke Paiton pada
tanggal 10 Muharram 1948 M. Beliau singgah di Karanganyar dalam perjalanannya
menuju ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang Republik lainnya di
sana.
Ketika sedang berada di Karanganyar, KH Zaini
mendapat titipan (amanat) dari Allah berupa dua orang santri yang datang kepada
Beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua santri ini bernama Syafi’udin berasal
dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifudin dari Sidodadi Kecamatan
Paiton, Probolinggo. Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap
sebagai amanat Allah yang tidak boleh diabaikan. mulai saat itulah KH Zaini
menetap bersama kedua santrinya.
Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh
Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo. KH Zaini, pada waktu tersebut
memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura.
Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena menurut Belanda,
Beliau mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.
Setelah sekitar tiga bulan di penjara, kemudian
beliau dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang
sedang menunggu kedatangannya. Sejak saat itulah, KH Zaini Abdul Mun’im
membimbing santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru
seperti dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo. Dengan banyaknya
santri yang berdatangan, KH Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk
mendidik mereka.
Merintis
Dakwah di Tanah seberang
Memang kedatangan KH Zaini tidak secara langsung
berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari
berbagai pihak, maka Beliau pun kemudian memiliki tekad yang mantap untuk
mendirikan sebuah pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama
pesantren Nurul Jadid ini bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang
tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) yang bernama KH Baqir. Beliau mengharap
kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama
Nurul Jadid.
Nama Karanganyar sebenarnya adalah desa Tanjung,
nama kuno yang diambil dari nama sebuah pohon besar di sana yang dijadikan
sebagai pusat penempatan sesajen untuk memuja para roh yang melindungi
masyarakat sekitar. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sana pada
awalnya adalah para penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut
masyarakat setempat, keberadaan beberapa pohon-pohon besar ini tidak boleh
ditebang. Pohon-pohon besar tersebut diyakini sebagai pelindung masyarakat dan
harus diselenggarakan upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya
ketika ada suatu hajatan.
Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini
berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakan
ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan
dengan cara patungan. Beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa
tempat yang dianggap sakral. Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan
selamatan laut dengan membuang kepala kerbau.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat desa Tanjung
sangat terbelakang (jahiliyah). Mereka belum mengenal peradaban baru (Islam)
yang lebih baik. Hal ini terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan,
pencurian dan tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK). Kehidupan
hedonis mewarnai pemandangan sehari-hari dan moralitas jauh ditinggalkan. Pada
saat itu kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatan yang penuh
dengan kemaksiatan dan kemungkaran.
Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat desa Tanjung
termasuk masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa
jika yang diberikan alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka
pindah ke tempat lain atau mencari makan di daerah lain. Tempat yang mereka
pilih terutama di daerah pinggiran laut (pantai) yang banyak pohon bakaunya
untuk dimakan. Sedangkan lahan pertanian yang ada hanya dikuasai oleh beberapa
orang.
Dengan demikian, desa Tanjung waktu itu merupakan
desa “mati”, karena disamping daerahnya masih dipenuhi dengan hutan jati dan
penuh dengan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomis, juga karena
masyarakatnya yang tidak memperdulikan keadaan sekitarnya.
Dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat desa
Tanjung seperti itulah, KH Zaini Mun’im –setelah mendapatkan restu dan perintah
dari KH Syamsul Arifin, ayah KH As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo– memutuskan
untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum
memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH Zaini Mun’im
mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa contoh tanah pada KH Syamsul
Arifin.
Daerah lain yang pernah diajukan oleh KH Zaini
Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini adalah daerah Genggong Timur, dusun
Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah
kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi contoh tanahnya
oleh KH Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di
Desa Tanjung.
Berkat ketekunan KH Zaini dalam berdakwah, maka
berangsur-angsur kehadiran pesantren Nurul Jadid dapat mengubah kondisi yang
demikian menjadi kondisi masyarakat dengan iklim religius tanpa mengalami penentangan
yang frontal. Lambat laun, dengan kehadiran pesantren yang diasuh oleh KH Zaini
dan dakwah Islam yang dipimpinnya dengan santun, nama desa Tanjung berubah
menjadi Karanganyar.
Memberdayakan
Ekonomi Masyarakat
KH Zaini Abdul Mun’im adalah seorang ulama yang
memiliki kepedulian terhadap kondisi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat
akibat penjajahan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Karena karakter KH
Zaini yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kondisi sosial dan ekonomi
masyarakatnya, maka pesantren yang didirikannya ini juga diformat untuk
memiliki kepeduliannya yang tinggi dan ikut menciptakan pemberdayaan manusia
dengan seutuhnya.
Sejak itulah KH Zaini Mun’im mulai dikenal di
masyarakat karena keuletan dan keberanian serta ketabahannya. Di samping itu,
dua orang teman yang membantunya, yakni KH Munthaha dan KH Sufyan. Keduanya
adalah santri yang ditugaskan oleh KH Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan
Genggong, Kraksaan) untuk membantu KH Zaini Mun’im sambil mengaji kepada
beliau. memang sudah dikenal oleh masyarakat luas karena sering memberi bantuan
kepada masyarakat, terutama keampuhan doa-doanya.
Setelah kesadaran beribadah masyarakat mulai tumbuh
yang terbukti dengan dibangunnya beberapa mushalla oleh masyarakat setempat, KH
Zaini Mun’im memperkenalkan tanaman baru kepada mereka, yakni tembakau yang
bibitnya dibawa dari Madura. Awalnya, bibit tersebut sebagai percobaan di desa
Karanganyar. Seiring perkembangan waktu, ternyata tanaman ini memang cocok
dengan keadaan tanah di desa Karanganyar dan bisa mengangkat perekonomian
masyarakatnya. Akhirnya, tanaman ini menjadi penghasilan pokok masyarakat
Karanganyar dan bahkan masyarakat di luar Paiton.
Pada sisi lainnya, upaya yang dilakukukan KH Zaini
Mun’im bersama santri-santrinya, juga cukup memberikan hasil yang memuaskan.
Terbukti dengan pupusnya kepercayaan mereka terhadap roh ghaib dan semakin
rendahnya kasus pencurian, pemerkosaan, perjudian, serta lenyapnya gembong PSK.
Dan seiring itu pula, tumbuhlah semangat yang menyala-nyala dalam
mempertahankan kehidupan menuju keluarga sakinah (keluarga bahagia
dunia-akhirat).
Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH
Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Menteri Agama
(waktu itu adalah KH Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasehat
jamaah haji Indonesia. Dan tawaran tersebut beliau terima. Pada saat itu jumlah
santri yang sudah menetap di PP. Nurul Jadid sekitar 30 orang dan siserahkan di
bawah asuhan KH Munthaha dan KH Sufyan. Dengan kharisma yang dimiliki,
keduanya, dengan mudah membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu untuk
tempat tinggal para santri pada waktu itu.
Sepulangnya KH Zaini Mun’im dari tanah suci dalam
tugasnya sebagai penasehat jamaah haji Indonesia, terlihat beberapa gubuk sudah
berdiri, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan para
santri-santrinya. Mulailah KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat
hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah pesantren yang cukup
besar sampai terlihat seperti sekarang ini.
Secara pelan-pelan, kehidupan masyarakat mulai ada
perubahan. Hal ini berkat ketekunan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya.
Mereka disadarkan dengan sentuhan agama. Akhirnya, timbul suatu kesadaran di
kalangan masyarakat bahwa merekalah yang sebenarnya memiliki potensi yang
sangat besar untuk bisa merubah cara hidupnya, terutama dari kehidupan sosial
ekonomi.
Setelah perekonomian masyarakat mulai meningkat
melalui pemanfaatan tanah pertanian, mulailah dimasukkan ajaran dan nilai-nilai
agama islam dalam kehidupan masyarakat Karanganyar. Hal lainnya adalah
pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non formal. Pola pendidikan dan
pembinaan semacam itu dilakukan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat
sekitar pesantren. Pengajian kitab dilakukan dengan berbagai metode. Mulai dari
bandongan, sorogan dan takhassus. Sementara itu pemberian makna dalam pengajian
kitab kuning menggunakan bahasa indonesia. Sehingga pesantren Nurul Jadid
merupakan pesantren pertama yang menggunakan bahasa Indonesia dalam menerangkan
dan menterjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.
Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im
bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian
dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan
pesantren Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar
terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT).
Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya
mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan
semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air,
bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Hingga saat ini pesantren
Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni.
Isyarat
dan Menjual Tanah
Sebelum mendirikan pesantren di desa karanganyar
ini, KH Zaini Mun’im sempat memiliki keraguan, hingga tiba-tiba beliau
menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu itu adalah sebagai
isyarat, jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa
Karanganyar (Tanjung), maka akan banyak santrinya.
Isyarat kedua datang dari KH Hasan Sepuh Genggong.
Suatu saat ketika Kyai Hasan mendatangi suatu pengajian dan melewati desa
Tanjung. Beliau berkata kepada kusir dokarnya, ”Di masa mendatang, jika ada
kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini, maka pondok tersebut
kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri
saya.” Sang kusir pun hanya manggut-manggut. Kemudian peryataan ini tersebar ke
masyarakat sekitar dan sampai di telinga KHZaini.
Isyarat ketiga datang dari alam setempat, kondisi
tanahnya yang bagus dan suplai air yang mencukupi. Selain itu, desa Tanjung
merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat
cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.
Setelah dirasa cocok, KH Zaini Mun’im segera membuat
kesepakatan dengan H. Tajuddin salah seorang pemilik tanah yang luas di desa
Tanjung. KH Zaini menukarkan dengan tanahnya yang ada di pulau Madura, dengan
hutan jati dan belukar di tempat tersebut. Dengan berbekal satu batang lidi,
Beliau berjalan menelusuri tanah yang sudah menjadi miliknya itu, sehingga
semua hewan dan binatang buas serta membahayakan lari dan meninggalkan hutan
jati itu menuju utara desa Grinting. Selama satu tahun lebih beliau membabat
hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil bersama dua orang santri
pertamanya dan mengubah hutan serta belukar menjadi tegalan dan perkebunan.
Motto hidup KH Zaini adalah mewakafkan diri untuk
penyiaran dakwah Islam dan meninggikan agama Allah. Beliau adalah seorang ulama
pejuang yang kuat, tabah dan memiliki kesetiaan tinggi kepada rekan-rekannya.
Sehingga ketika berada dalam tahanan Belanda di Probolinggo, Beliau tetap
bungkam meskipun dipaksa dengan berbagai cara untuk membocorkan tempat-tempat
pesembunyian rekan-rekan seperjuangannya yang lain, yang juga menjadi buronan
Belanda. KH Zaini sangat kuat memegang semboyan ”liberty or dead (merdeka atau
mati)”. Sehingga tidak satu pun temen-teman seperjuangannya yang dapat
ditangkap Belanda karena pengakuan Beliau. (nuon/Syaifullah Amin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar