Berakar
Pada Tradisi Bervisi Modern
Namanya
belakangan semakin santer dibicarakan, ketika Rais Aam Syuriah PBNU KH Sahal
Mahfudz lewat Qarar Syuriah tanggal 16 Mei 2004 di Rembang Jawa Tengah lalu
menunjuknya sebagai pelaksana harian (PLH) PBNU menggantikan KH Hasyim Muzadi
yang sementara non aktif karena menjadi kandidat capres PDIP.
Menurut
sebuah sumber di Syuriah, kenapa yang ditunjuk sebagai PLH bukan dari jajaran
Tanfidzyah, karena untuk mengemban peran Ketum PBNU, minimal harus memenuhi
dua syarat: Pertama secara politik netral, bukan partisan. Kedua, memiliki
kapasitas keilmuan agama. Ia harus mampu menjadi jubir NU sebagai Organisasi Keulamaan
terbesar. Masdar, kata sumber itu, memenuhi kedua syarat yang dimaksud.
|
Keputusan ini tentu saja menyimpan “bola panas” baik
untuk dirinya dan untuk NU secara institusi.
Mau kemana arah NU dalam pilpres
ketika itu, adalah pilihan sulit. Tarik menarik kepentingan baik ditubuh NU
sendiri maupun dengan kekuatan politik di luar NU menjadikan NU dalam posisi
dilematis. Namun, dengan ketenangan dan nalar kepemimpinannya tokoh yang
terkenal dengan dua bukunya Agama Keadilan, Risalah Zakat [Pajak] Dalam Islam
(1991), dan Islam dan Hak-Hak Reproduksi Wanita (1996) sanggup melewati masa
transisi itu sehingga dalam pemilu pilpres pertama dan kedua NU secara
institusi tetap netral.
Masdar yang ketika itu menjabat Wakil Katib Syuriah
PBNU, mengakui serba dilematis, tapi keiginan untuk membangun kembali NU
sebagai kekuatan moral bangsa, bukan sebagai kekuatan politik menjadi
“mainstrem” gerakannya, karena NU adalah organisasi keulamaan yang kekuatan
intinya pada otoritas moral. Keinginan dan semangat itulah yang membuatnya
tetap konsisten menjaga “track” NU sesuai mandatnya untuk tidak dijadikan
“kendaraan politik” sesaat. Tetapi, dalam situasi dilematis itu Masdar pun
mengakui gamang dalam menghadapi pilihan-pilihan kebijakan ditengan situasi
genting itu, dan yang terpenting, kata Masdar adalah bagaimana NU secara
institusi selamat dari tarik menarik kekuatan politik dan tetap bersikap
netral.
Keberhasilan mengawal NU pada masa transisi tersebut
menjadi investasi bagi Masdar untuk dicalonkan sebagai ketua umum PBNU kelak,
setidaknya ada suara di bawah yang menginginkan perubahan menginginkan dirinya
menjabat ketua umum PBNU. Hal itu bukan semata-mata instan, tetapi tokoh yang
terkenal sebagai sosok lokomotif pembaharu dalam tubuh NU ini sebelumnya
dikenal kritis, analitis, progresif, dan kadang kala mengagetkan.
Miliki
“Trah” Kyai
Masdar lahir dari ibunda Hj. Hasanah, di dusun
Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto%, tahun 1954. Ayahandanya, Mas’udi bin
Abdurrahman, adalah seorang kyai masyarakat melalui kegiatan ta’lim dari
kampung ke kampung. Sampai dengan kakeknya, Kyai Abdurrahman, Jombor dikenal
dengan pesantren salafnya yang telah dirintis oleh moyangnya, Mbah Abdussomad
yang makamnya sampai sekarang masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam
Banyumas.
Tamat sekolah Dasar yang diselesaikannya selama 5
tahun, Masdar langsung dikirim ayahnya ke Pesantren salaf di Tegalrejo,
Magelang, di bawah asuhan Mbah Kyai Khudlori. Tiga tahun di Tegalrejo, Masdar
telah menamatkan dan menghafalkan Alfiyah Ibnu Aqil. Selanjutnya pindah ke
Pesantren Krapyak, Yogyakarta berguru kepada Mbah Kyai Ali Maksoem, Rois Am
PBNU tahun 1988 – 1999. Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan pendidikan
setara dengan klas 3 Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung diterima di kelas 3
Aliyah.
Tahun 1970, selesai Aliyah, Masdar dinasehati oleh
Mbah Ali untuk tidak langsung ke IAIN, melainkan untuk ngajar dan menjadi
asisten pribadi Kyai terutama dalam tugas-tugas beliau sebagai dosen luar biasa
IAIN Sunan Kalijaga. “Saya sering ditugasi oleh beliau untuk membacakan skripsi
calon-calon sarjana IAIN dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk
diujikan”, katanya. Dalam kapasitasnya sebagai aspri inilah Masdar memperoleh
kesempatan langka untuk memanfaatkan perpustakaan pribadi Mbah Ali yang berisi
kitab-kitab pilihan baik yang salaf (klasik) maupun yang kholaf (modern).
Tahun 1972, sambil tetap tinggal dan mengajar di
Pesantren Krapyak, Masdar melanjutkan studi di Fakultas Syariah IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, jurusan Tafsir-Hadits. Di masjid Jami’ IAIN, Masdar
sempat menggelar tradisi baru pengajian kitab kuning dengan mem-balah
(mengajar) Alfiyah untuk kalangan mahasiswa.
Berbagai seminar ilmiyah telah diikutinya sebagai
pembicara mewakili sudut pandang Islam, baik dalam maupun luar negeri. Antara
lain, di Manila dan Mindanau (Philipina) di Kuala Lumpur (Malaysia), di
Singapura, di Kairo (Mesir), Sidney (Australia), Belanda dan Denmark. Pernah
mengadakan kunjungan di pusat-psat keagamaan di Amerika selama 5 pekan, tahun
1986.
Berbagai karya ilmiyah berupa makalah, artikel dan
juga buku telah berhasil diterbitkan. Yang utama, berupa buku utuh, bukan
kumpulan karangan adalah: 1) AGAMA KEADILAN; Risalah Zakat / Pajak dalam Islam;
2) Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Yang terakhir ini, pada tahun 2002,
bahkan telah diterbitkan dalam versi Inggris berjudul “Islam & Women’s
Reproductive Rights” oleh Penerbit Sisters in Islam, Kuala Lumpur, Malysia.
Kiprah
Pemikiran
Yang paling menonjol dari Masdar F Mas’udi adalah
kiprahnya di bidang pemikiran keagaman yang sering kali dianggap mengagetkan.
Secara garis besar pemikiran Masdar ini dapat diidentifikasi dalam sebuah
kerangka paradigmatik yang disebutnya Islam Pembebasan, Emansipatoris, atau
al-Islam at-Taharruriy. Dari sudut visi dan akar keprihatinannya, Islam
Taharruri ini memiliki karakter yang berbeda dengan kedua gerakan yang kini
banyak dibicarakan orang, yakni Islam Liberal (Islib) maupun antitesanya Islam
Fundamentalis (Isfund). Bahkan Islam Taharruri ini bisa dikatakan kritik
terhadap kedua wacana atau gerakan Islam tersebut.
Sebagaimana diketahui Islib maupun Isfund mengambil
fokus utamanya pada issu polarisasi Islam dan Barat. Islib seolah menyuarakan
aspirasi dan nilai-nilai Barat ke dalam Islam, sementara Isfund justru hendak
meneguhkan identitas Islam untuk melawan Barat. Maka pertengkaran antara
keduanya pun banyak terjebak pada issu-issu seperti jilbab, kawin campur,
aurat, jenggot, gamis, dan issu-issu sejenis yang berkisar pada perebutan
identitas (syi’ar) Islam vs Barat.
Islam Taharruri, di lain pihak, ingin mengundang
perhatian pada persoalan-persoalan riil keumatan – kerakyatan yang secara akut
menghimpit lapisan besar masyarakat yang terpinggirkan, baik secara ekonomi,
politik maupun budaya. Maka agenda yang diusung pun berbeda, yakni:
pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan yang merata dan murah, jaminan
kesehatan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak, pemberantasan korupsi serta
penegakan hukum dan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean
government) yang memihak rakyat. Kata kuncinya adalah kemashlahatan orang
banyak (mashalih arraiyah).
Bagi Masdar, Islam datang ke bumi bukanlah untuk
kepentingan Allah (yang maha Kaya) maupun ajaran Islam itu sendiri (yang sudah
sempurna). Islam adalah rahmat Allah bagi umat manusia untuk kemuliaan martabat
manusia sendiri secara lahir-batin, jasmani-ruhani, personal-sosial. Oleh sebab
itu, keberislaman, harus dibangun melalui empat tahap pembebasan: pertama %3;
adalah kepedulian yang mendalam terhadap problem kemanusiaan; kedua, mendefinisikan
akar problem kemanusian itu secara kritis; ketiga, merumuskan kerangka
perubahan (transformasi); dan keempat, langkah-langkah praksis pembebasan itu
sendiri. Dalam keseluruhan empat langkah keberislaman itu, Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, merupakan sumber inspirasi, motivasi dan petunjuk (guidence/ al-huda)
yang tidak pernah kering. “Tanpa kerangka keberislaman seperti itu, rasanya
sulit Islam bisa menjadi motor perubahan yang mempu membawa umat manusia keluar
dari tata kehidupan yang semakin disesaki dengan kezaliman sekarang ini”,
katanya.
Sejumlah gagasan orisinal (nyleneh?) telah muncul
dari pikiran Masdar yang secara paradigmatik memang bertolak dari kepedulian
mendalam terhadap problem-problem kemanusiaan dimaksud. Yang paling diseriusi
adalah penafsirannya kembali atas ajaran ZAKAT yang tertuang dalam bukunya
(1991) setebal 250-an halaman. Bertolak dari problem ketidakadilan menyeluruh
yang diawali dari ketidakadilan ekonomi, Masdar berpendapat bahwa lebih dari
sekedar ajaran sedekah karitatif yang tidak berdampak, zakat pada dasarnya
adalah konsep etika sosial dan politik kenegaraan untuk keadilan. Pada tataran
teknis, zakat adalah konsep perpajakan yang ada pada kewenangan
negara/pemerintah untuk redistribusi pendapatan secara radikal agar supaya
kesejahteraan tidak hanya berputar-putar di tangan orang-orang kaya saja. Kaila
yakuuna dulatan bainal aghniya-a minkum (al-Hasyr: 9). Ashanaf delapan, menurut
Masdar, adalah acuan penyusunan anggaran belanja negara, di pusat maupun
daerrah) dengan pemihakan yang jelas dan terukur kepada kepentingan masyaralat
luas, terutama yang lemah.
Menyusul kemudian, konsepnya yang tidak kalah
kontroversial tentang “peninjauan kembali waktu pelaksaaan ibadah haji”. Titik
tolaknya adalah keprihatinan yang mendalam atas terjadinya tragedi kemanusiaan
Muaishim tahun 1992 dengan korban lebih dari 2000 jemaah yang mati mengenaskan
karena terinjak-injak. Musibah itu dari tahun ke tahun sampai sekarang masih
saja terjadi, akibat terbatasnya ruang (space) pelaksanaan ibadah haji yang
semakin tidak seimbang dengan jumlah jemaah yang terus meningkat sampai 2 juta
lebih. Untuk ini, Masdar menawarkan solusi tuntas, agar umat Islam kembali
kepada ketentuan waktu pelaksanaan ibadah haji yang secara jelas (sharih)
disediakan al-Qur’an, Al-hajju asyhurun ma’luumat/ bahwa waktu pelaksanaan
ibadah haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum (Al-Baqarah: 192). Yakni:
Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. “Dengan kembali kepada ayat ini, maka 10
juta jemaah haji/tahun pun tidak perlu ada kesulitan”, katanya sambil
meyakinkan bahwa dengan pertumbuhan jumlah umat Islam dan kesejahteraannya
jemaah haji pasti akan terus berlipat ganda jumlahnya.
Dalam hal ini Masdar menolak anggapan telah
mengabaikan hadits Nabi yang mengatakan, Al-hajju arafah (Puncak haji itu wuquf
di Arafah) maupun hadits Khudzu ‘anni manasikakum (Ikuti aku tatacara hajimu).
Menurutnya, hadits itu harus diamalkan tapi tidak boleh menganulir (ilgha) ayat
Al-Baqarah: 192 yang begitu sharih dan jelas lebih tinggi kedudukannya.
Caranya, ayat dan hadits-hadits tadi harus diacu sesuai dengan kapasitas
masing-masing: Ayat “al-hajju asyhurun ma’lumat” diacu untuk patokan waktu,
dalam arti hari-harinya; Hadits “al-hajju ‘arafah” diacu untuk tempat, bukan
hari wuquf, dan hadits “khudzu anni manasikakum” diacu untuk tatacara,
urut-urutan manasik dan waktu jam-jamnya.
Gagasan-gagasan nyleneh (orisinal ?) ini bagi Masdar
sendiri ibarat pisau bermata dua: Di satu pihak membuat kalangan kyai sepuh NU
waswas karena pikiran-pikiran itu terasa terlalu maju. Di lain pihak, membuat
orang-orang diluar NU justru harus meninjau kembali tuduhan steretipe mereka
bahwa NU hanyalah himpunan orang-orang jumud dan beku. Gagasan-gagasan seperti
dilontarkan Masdar dan seniornya seperti Gus Dur dan Gus Mus, bahkan Kyai
Sahal, justru membuktikan sebaliknya. Kebekuan yang mendera dunia pemikiran
Islam selama ini tampaknya justru akan dicairkan oleh NU sendiri. Untuk ini
Masdar berpegang pada garis Rasulullah saw, bahwa berbagai pamahaman boleh
dikembangkan untuk memenuhi kemaslahatan manusia, asal jangan sampai
menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang dihalakan: Almuslimuuna ala
syuruthihim, illa syarthan ahalla haraman atau harrama halalan” (al-Hadits).
Tentang gagasan-gagasannya yang nyleneh itu, Masdar
berujar, bahwa pada akhirnya terserah para ulama dan umat sendiri untuk
menilai. “Jika dianggap lebih menjanjikan kemaslahatan dan tidak bertentangan
dengan nash, tentu suatu saat akan diterima. Tapi jika dibuktikan sebaliknya,
ya ndak apa-apa, dan saya siap bertobat dan menariknya kembali”, katanya. Tapi
diakui, bahwa yang paling dia berharap dipahami oleh umat dalam waktu dekat,
adalah tafsirannya tentang zakat sebagai mandat negara untuk redistribusi
kesejahteraan dan keadilan, terutama bagi rakyat miskin dan yang dilemahkan
(mustadl’afiin).
Ke-NU-an
dan Ke-Indonesia-an
Masdar berpendapat, bahwa “Almuslimuun
al-Indonesiyyun kulluhum nahdliyyun, illa man aba/ Semua orang Islam Indoensia
adalah NU, kecuali yang menolak”. Dalam pada itu, dalam pikiran Masdar, NU
adalah inti Indonesia. Bukan saja kerana NU merupakan wadah untuk bagian
terbesar umat Islam Indonesia. Akan tetapi dalam NU juga ada ke-Indonesia-an
yang menyatu dengan jiwa ke-Islam-an. Singkatnya, NU adalah Islam Indonesia.
Ibarat kereta, katanya, Indonesia adalah kereta
dengan 10 gerbong penumpangnya. Sembilan gerbong diantaranya gerbong umat
Islam, dan 6 diantaranya adalah gerbong NU. Tesis ini memastikan, bahwa tidak
ada Indonesia yang maju, tanpa umat Islam ikut maju; dan tidak ada umat Islam maju,
kalau NU ditinggalkan di belakang, seperti yang terjadi sampai hari ini. Kenapa
setelah lebih 30 tahun Orde Baru membangun tapi Indonesia tetap tertinggal dari
negara-negara tetangga? Jawab Masdar tegas, “karena Orde Baru sengaja
membiarkan NU tetap tertingal di belakang!”
Sementara itu, bagaimana pun Indonesia yang
berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, harus menjadi negara maju,
bermartabat dan terhormat dimata dunia. Keharusan itu, menurut Masdar, hanya
bisa dicapai kalau Indonesia berhasil membangun dirinya sebagai negara
kebanggan dari dunia Islam di abad 21 modern ini. Inilah tantangan sejarah dan
peradaban yang sungguh berat dan mulia bagi seluruh bangsa Indonesia dan warga
NU khususnya.
Di dunia ini, kata Masdar, masing-masing umat agama
dunia sudah memiliki negara kebanggan. Barat Eropa dan Amerika adalah
kebanggaan umat Injil; Israel dengan segala cara ingin menjadi negara model
bagi umat Taurat; Jepang dan Thailand, boleh diaku sebagai negara kebanggan
umat Budha; dan China tengah tumbuh menjadi kebanggan umat Konghucu. Tapi, mana
negara kebanggaan umat Islam?
Menurut keyakinan Masdar, ka’bah dan ibadah haji
biar tetap di Makah dan makam Nabi tetap di Madinah. Akan tetapi Indonesia
adalah yang paling layak menjadi negara model dan kebanggan dunia Islam di abad
modern ini, karena beberapa alasan yang tidak dimiliki oleh negara-negara Islam
lainnya: Pertama, penduduk muslimnya yang terbesar di dunia. Kedua, sumberdaya
alamnya yang luar biasa kaya; Ketiga, letak strategis wilayahnya yang mempertemukan
dan sekaligus menjadi gerbang masuk keluar lalu lintas berbagai benua. Keempat,
akar budaya dan sejarah peradabannya. Kelima, yang sungguh penting, adalah
kematangan demokrasi dan pluralismenya.
Mewujudkaan Indonesia sebagai negara kebanggan dunia
Islam inilah letak tanggungjawab besar umat Islam Indonesia dan NU terutama.
Tanggungjawab ini hanya bisa diwujudkan, bukan terutama dengan aktif
memperebutkan kekusaan dengan menjaul murah umatnya. Tapi dengan memajukan
tingkat keterdidikan, kecerdasan dan kesejahteraan umat dan bangsanya. Untuk
itu, bagi Masdar, NU harus kembali dan istiqomah pada cita-cita awal dan
sekaligus jatidirinya, yakni sebagai wadah keulamaan untuk memuliakan Islam dan
umat manusia. Dan inti keulamaan sebagai essensi ke-NU-an, katanya, adalah
wawasan keilmuan dan moralitas dalam amal perhidmatan nyata yang berkualitas
untuk umat dan bangsanya.
Pengalaman
Organisasi
Pengalaman organisasi Masdar F Masudi diawali ketika
tahun 1972 dipilih sebagai ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Komisariat Krapyak, Yogyakarta, sampai dengan 1974. Selanjutnya pada tahun 1976
terpilih sebagai Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai
dengan 1978. Sebagai aktivis mahasiswa, Masdar pernah ditahan oleh Penguasa Orde
Baru bersama 9 tokoh aktivis mahasiswa lainnya di markas Pomdam Jawa Tengah,
Semarang selama 5 bulan lebih. Penahanan tanpa peradilan itu dilakukan karena
‘dosa’ memimpin demo anti korupsi menjelang Sidang Umum MPR 1978. Tahun 1982,
setalah hijrah di Jakarta, Masdar dipilih sebagai Ketua I Pengurus Besar PMII
periode 1982 – 1987 mendampingi Muhyidin Arubusman sebagai Ketua Umum. Selesai
kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk Lembaga Missi
Islam NU sambil menjadi wartawan di beberapa mass media ibu kota. Tahun 1985,
sehabis muktamar Situbondo, bersama dengan K. Irfan Zidni, Masdar ditunjuk
sebagai asisten Ketua Umum (Gus Dur) dan Rois Am dibidang Pengembangan
Pemikiran Keagamaan.
Sebagai kordinator program P3M ( Prhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Masdar sempat menerbitkan Jurnal
PESANTREN, yang pertama dan satu-satunya jurnal ilmiah Islam yang terbit antara
tahun 1984 – 1990. Di lain pihak, didukung oleh Rabitah Ma’ahid Islami (RMI)
dibawah duet kepemimpinan (alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini,
Masdar merintis berbagai kegiatan kajian khazanah keislaman Salaf melalui
berbagai halqah. Dimulai dari halqah Watucongol tahun 1989 dengan tema
“Memahami Kitab Kuning secara Kontekstual”, kegiatan itu terus bergulir di
berbagai daerah dengan keikut sertaan para kyai baik yang sepuh maupun yang
muda-muda. Salah satau diantara out putnya yang monumental adalah rumusan
Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan Munas NU Lampung 1992.
Sejak 4 tahun terakhir Masdar F Mas’udi, yang sempat
kuliah Program Filsafat di S-2 ini, juga membina pesantren di daerah Sukabumi,
persisnya pesantren Al-Bayan, di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak,
Sukabumi. Dengan program pendidikan formal utamanya SMA, sudah tiga angkatan
diluluskan dengan prestasi akademikin yang unggul sesuai dengan namanya. Yakni
rata-rata 95 persen lulusannya diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik.
Mulai tahun 2004 merintis cabang di Depok, Bogor, dengan program yang sama.
Kini selain sebagai Katib Syuriah PBNU, Masdar F
Mas’udi aktif di : P3M sebagai ketua/direktur utama; di Komisi Ombudsman
Nasional sebagai Anggota; dan di Dewan Etik ICW (Indonesian Corruption Wacth)
sebagai anggota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar