Mengembangkan
Ilmu Falak di Lingkungan NU
Setiap
menjelang Hari Raya Idul Adha atau Idul Fitri, umat Muslim akan melakukan
rukyah guna menentukan waktu tepat pelaksanaan hari raya tersebut. Para pakar
astronomi Islam akan melihat posisi bulan apakah sudah masuk pada hilal.
Dibutuhkan seorang ahli di bidang ilmu falak (astronomi) untuk itu. Salah
satu di antara ahli falak yang dimiliki umat Muslim Tanah Air adalah KH
Mahfudz Anwar. Dia adalah pakar ilmu falak sekaligus tokoh ulama kharismatik
dari Nahdlatul Ulama (NU).
|
Pada bidang ilmu falak tersebut, KH Mahfudz diakui
memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni.
Tidak hanya ilmu falak, dia pun
menguasai dengan sangat mendalam ilmu fikih serta tafsir. KH Mahfudz Anwar juga
dikenal sebagai muhaddits (ahli hadis), sufi (ahli tasawuf), dan ahlul lughah
(ahli bahasa/etimolog).
Kemampuan yang dimiliki tidak lepas dari latar
belakang keluarga yang membimbingnya serta pendidikan yang ditekuninya. Kiai
ini dilahirkan di Paculgowang, Jombang, 12 April 1912. Ayahnya bernama KH Anwar
Alwi — pengasuh Ponpes Pacul Gowang — dan ibunya Nyai Khadijah. Dia anak keenam
dari 12 bersaudara.
Ditilik dari latar belakang keluarga yang berbasis
pesantren itu sangat wajar apabila KH Mahfudz Anwar tumbuh dalam suasana
religius dan keilmuan agama yang tinggi. Saat yang bersamaan, Pesantren
Tebuireng mulai menanjak popularitasnya karena kualitas keilmuannya; maka, Kiai
Anwar Ali pun memondokkan anaknya di sana. Di Pesantren Tebuireng, Mahfudz
menjadi murid yang cerdas. Bahkan, saat ia duduk di kelas IV, ia sudah ditugasi
untuk mengajar adik kelasnya. Setelah lulus kelas VI, ia diangkat menjadi guru
resmi di Pesantren Tebuireng.
Selain kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari,
Mahfudz juga belajar kepada KH Mashum Ali, seorang ulama besar, ahli falak, dan
pencetus nazam ilmu sharaf dan pengasuh Ponpes Seblak. KH Mashum Ali adalah
juga Direktur Madrasah Tebuireng. Pada kiai muda itu Mahfudz khusus mempelajari
ilmu falak, dan ia menunjukkan bakat yang luar biasa dalam disiplin itu. Inilah
yang membuatnya disegani para santri di Tebuireng, kendati usianya saat itu
baru 20 tahun. Ketika Kiai Maksum meninggal pada usia sangat muda, 33 tahun,
kepemimpinan pesantren Seblak diserahkan kepada Ustadz Mahfudz.
Meski sudah menjadi pengasuh pondok pesantren dan
menguasai sederet ilmu, namun semangat belajarnya tidak padam. Di antara sekian
ilmu yang giat dipelajari adalah ilmu falak. Karena KH Mashum Ali keburu
meninggal dunia, dia belajar falak lagi kepada Mas Dain, seorang santri
seniornya yang menjadi kepala pondok Seblak. Setelah menguasai falak, maka
diskusi dan perdebatan dengan mitra belajarnya menjadi semakin seru. Mereka
terus mengasah ketajaman analisis masing-masing melalui forum musyawarah.
Maka tidak heran, KH Mahfudz dan Mas Dain dalam
tempo yang singkat mampu menjadi pakar falak yang betul-betul mumpuni. Momentum
paling tepat untuk menguji kepakaran mereka adalah saat rukyatul hilal
(penentuan) awal Ramadlan dan Syawal, sebuah momen yang akurasinya sangat
ditunggu oleh masyarakat.
Setiap menjelang Rhamadan dan Syawal, Kiai Mahfudz
dan Mas Dain pergi ke gunung Tunggorono, sebelah barat kota Jombang, untuk
melakukan rukyah (pemantauan), melihat bulan setelah diperhitungkan sesuai
dengan hasil hisab (perhitungan) masing-masing. Setelah rukyah selesai, mereka
kembali ke pondok mendiskusikan hasil rukyah masing-masing. Perdebatan, untuk
adu argumentasi dan ketajaman menganalisa serta kecermatan dalam mengamati
hilal (tanggal) menjadi kunci kemenangan. Siapa yang paling benar dan kuat
dalilnya yang keluar sebagai pemenang. Kiai Mahfudz sering menang dalam
perdebatan ini.
Dengan kecemelangan dalam ilmu falak semakin
mengukuhkan kualitas keulamaan dan kelebihannya di atas ulama lain. Kebanyakan
ulama, khususnya ulama NU hanya menguasai ilmu fikih. Jarang dari mereka yang
memiliki kepakaran langsung bidang fikih, tafsir dan sekaligus falak.
Di organisasi NU, dia menempuh jalur dari yang paling
bawah sebagai pengurus ranting (desa) Seblak dan akhirnya masuk ke jajaran PCNU
(pengurus Cabang Nahdlatul Ulama). Ia pernah menjadi rais syuriah dua periode
berturut-turut. Dari NU Cabang Jombang kemudian dipromosikan sebagai pengurus
NU Wilayah Jawa Timur. Namun, karena kepakarannya yang sulit tertandingi pada
ilmu falaq, maka dia diserahi tugas memegang posisi Ketua Lajnah Falakiyah PBNU
sampai tahun 1993.
Sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, KH Mahfudz
sering mendapat tantangan berat khususnya dari pihak pemerintah orde baru.
Pernah hasil rukyah untuk menentukan hari raya berbeda dengan pemerintah selama
tiga kali berturut-turut. Seluruh kyai dan warga NU berada penuh di belakang
Kiai Mahfudz, benturan antara NU dan pemerintah tidak terelakkan.
Walaupun pikirannya tidak diterima pemerintah,
sebaliknya masyarakat sangat menghormatinya. Terbukti setiap menjelang 1 Syawal
mulai bada Maghrib sampai larut malam, halaman rumahnya penuh dengan masyarakat
yang ingin mendapatkan kepastian tanggal jatuhnya bulan Syawal. Kehandalannya
dalam ilmu fikih dan falak membuat pemerintah pada tahun 1951 mengangkatnya
sebagai Hakim Agama Kabupaten Jombang. Jabatan itu diduduki selama 4 tahun.
Melihat prestasi Kiai Mahfudz yang sangat baik di Pengadilan Agama Jombang, akhirnya
tahun 1955, beliau dipromosikan menjadi Wakil Direktur Peradilan Agama Depag
Jakarta.
Ia hanya kuat bertahan 3 bulan di Jakarta.
Beruntung, permintaan kembali ke kampung halaman dikabulkan. Namun tidak di
Jombang, tapi di Mojokerto. Di kota ini ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan
Agama. Setelah beberapa tahun di Mojokerto, pangkatnya naik menjadi Hakim
Pengadilan Agama di Surabaya.
Dunia kampus pun ‘dicicipi’ KH Mahfudz. Ceritanya,
pada saat menjabat sebagai hakim di PA Surabaya, ia diminta menjadi dosen fikih
dan tafsir di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya. Beberapa tahun
kemudian, ia dipilih menjadi dekan pertama di Fakultas Ushuluddin IAIN
Surabaya. Selain itu juga ngajar di Universitas NU Surabaya.
Seluruh waktunya untuk mengabdi di NU dan masyarakat
terutama dalam pengembangan dan pengajaran lmu falak yang semakin tidak
diminati. Sampai akhir hayatnya, ia masih berusaha melakukan hitungan falak
sampai tahun 2003. Dalam sebuah pertemuan KH Mahfudz berkata, “Kita harus
memperhatikan pengetahuan umum dan ketrampilan agar anak-anak kita siap pakai
nantinya, seperti KH A Wahid Hasyim yang mampu menjadi menteri agama.”
Ketika usianya semakin senja, tokoh itu sangat
prihatin, sebab semakin sedikit santri yang berminat dalam bidang falak. Di pesantren
sendiri ilmu itu hanya diajarkan sambil lalu, sebagai pengenalan, tidak dikaji
secara mendalam. Dia pun lantas mengambil langkah dengan membuka pengajian
khusus ilmu falak di rumahnya. Pengajian khusus itu banyak diminati masyarakat,
tidak hanya santri, tetapi banyak warga NU. Forum pengajian selalu ramai karena
dihadiri oleh para ulama dari kabupaten Jombang, Kediri, dan sekitarnya. Kiai
Mahfudz wafat pada malam Jumat, 20 Mei 1999.
Piawai
Menulis
Walaupun sehari-hari disibukkan dengan kegiatan mengajar
dan mengurus birokrasi dan juga di pengurusan NU, namun tidak menghalangi kiai
ini untuk berkarya secara kualitatif. Di antara karya tulisnya yang bisa
diidentifikasi adalah:
* Fadlail al-Syuhur, sebuah kitab yang tidak ada
namanya, namun berisi keutamaan semua bulan, mulai Syawal sampai Ramadlan.
* Risalah Asyura min Ahlis Sunnah Wal Jamaah,
menerangkan tentang keistimewaan bulan Asyura, Muharram. Kandungan buku ini
beliau sebar ke masyarakat sekitar dan mengajak mereka bersama-sama
mengamalkannya.
* Penulis pertama
Nadhoman Tahsrif Lughowiyah dan Ishtilahiyah dalam kitab Amtsilah
Al-Tashrifiyah. Kitab itu kemudian diserahkan di ke penerbit di Timur Tengah
untuk dicetak. Para ulama Timur Tengah kagum pada kecerdasan dan kreatifitas
ulama ini, sehingga kitab tersebut menjadi kurikulum wajib di sekolah-sekolah
di Timur Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar