KH.
Ahmad Mustofa Bisri
Lahir
: Rembang, 10 Agustus 1944
Agama
: Islam
Jabatan:
Pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
Istri:
Siti Fatimah
Anak:
1.
Ienas Tsuroiya
2.
Kautsar Uzmut
3.
Randloh Quds
4.
Rabitul Bisriyah
5.
Nada
6.
Almas
7.
Muhammad Bisri Mustofa
|
Ayah : Bisri Mustofa
Ibu : Marafah Cholil
Pendidikan :
- Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
- Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
- Raudlatuh Tholibin, Rembang
- Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
Karya Tulis Buku:
- Dasar-dasar Islam (terjemahan, Abdillah Putra
Kendal, 1401 H);
- Ensklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A.
Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987);
- Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan
cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979);
- Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa,
Assegaf Surabaya);
- Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda
Temanggung);
- Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1991,1994);
- Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya,
1993);
- Mutiara-Mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat
Islam Yogya, 1994);
- Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT.
Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995);
- Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1996);
- Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam
Semesta Yogya, 1996);
- Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar,
Pelita Dunia Surabaya, 1996);
- Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan
II, September 1995);
- Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya,
1997);
- Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan
Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997);
- Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz,
Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997)
Organisasi:
Mantan Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PB NU) periode 1994-1999 dan 1999-2004
Sang Kiyai Pembelajar
Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan
cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan
sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang
ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok
Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak)
dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31
28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.
KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus,
ini mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga
apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika
Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada
Muktamar NU ke-31 itu.
Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih
baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara
saya, jelas alumnus Al Azhar University, Kairo (Mesir), ini, yang ketika kuliah
mempunyai hobi main sepakbola dan bulutangkis. Setelah tak lagi punya waktu
meneruskan hobi lamanya, ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan
budaya, menulis dan memasak, termasuk masak makanan Arab dengan bumbu tambahan.
Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari
keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian
pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren
Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.
Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika
menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya
terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah
tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren
Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak,
Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga
tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.
KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah
guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu
memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.
Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir,
belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa
Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur).
Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh
orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si
bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi
santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan
pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya Almas.
Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia
sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi
putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota,
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu
sudah berdiri sejak tahun 1941.
Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno
wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa
menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set
kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula
menjadi tempat mengajar santrinya.
Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi
siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung
tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh
tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf,
Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal di
situ.
Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga
seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi
dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali
menunjukkan sikap kritisnya terhadap budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Tahun 2003, misalnya, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan
pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang
berjudul Berdzikir Bersama Inul. Begitulah cara Gus Mus mendorong perbaikan
budaya yang berkembang saat itu.
Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat
mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah
pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia,
Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga
setiap kali ada waktu luang, dalam bantinnya sering muncul dorongan menggambar.
Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan,
kadang-kadang, dan tidak pernah serius, kata Gus Mus, perokok berat yang
sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok.
Gus Mus, pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan
sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, digelar
di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Kurator seni rupa, Jim Supangkat, menyebutkan, kekuatan ekspresi Mustofa Bisri
terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya
beda dengan kaligrafi. Sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang
diindah-indahkan, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang
pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.
Sedangkan dengan puisi, Gus Mus mulai mengakrabinya
saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir
membikin majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada
halaman kosong, Mustofa Bisri diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya.
Karena Gus Dur juga tahu Mustofa bisa melukis, maka, ia diminta bikin lukisan
juga sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting
ada gambar pengisi halaman kosong. Sejak itu, Mustofa hanya menyimpan puisi
karyanya di rak buku.
Namun adalah Gus Dur pula yang mengembalikan Gus Mus
ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian
Jakarta, Gus Dur membuat acara Malam Palestina. Salah satu mata acara adalah
pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi
terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Mustofa, yang fasih
berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah
dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair.
Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, itu
kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan
membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia,
Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian
dan membaca puisi. Berbagai negeri telah didatangi kyai yang ketika muda pernah
punya keinginan aneh, yakni salaman dengan Menteri Agama dan menyampaikan salam
dari orang-orang di kampungnya. Untuk maksud tersebut ia berkali-kali datang ke
kantor sang menteri. Datang pertama kali, ditolak, kedua kali juga ditolak.
Setelah satu bulan, ia diizinkan ketemu menteri walau hanya tiga menit.
Kyai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah
melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi,
Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus
(1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu ia
juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas
Manusia (1990).
Tentang kepenyairan Gus Mus, Presiden Penyair
Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri menilai, gaya pengucapan puisi Mustofa tidak
berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya
pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang
tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang,
tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Sebagai penyair, ia bukan
penjaga taman kata-kata. Ia penjaga dan pendamba kearifan, kata Sutardji.
Kerap memberi ceramah dan tampil di mimbar seminar
adalah lumrah bagi Gus Mus. Yang menarik, pernah dalam sebuah ceramah, hadirin
meminta sang kiai membacakan puisi. Suasana hening. Gus Mus lalu beraksi:
Tuhan, kami sangat sibuk. Sudah.
Sebagai cendekiawan muslim, Gus Mus mengamalkan ilmu
yang didapat dengan cara menulis beberapa buku keagamaan. Ia termasuk produktif
menulis buku yang berbeda dengan buku para kyai di pesantren. Tahun 1979, ia
bersama KH M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga
menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981). Selain itu, ia
menyusun tiga buku tentang fikih yakni Pokok-Pokok Agama (1985), Saleh Ritual,
Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992).
Ia lalu menerbitkan buku tentang humor dan esai,
Doaku untuk Indonesia? dan Ha Ha Hi Hi Anak Indonesia. Buku yang berisi
kumpulan humor sejak zaman Rasullah dan cerita-cerita lucu Indonesia. Menulis
kolom di media massa sudah dimulainya sejak muda. Awalnya, hatinya panas jika
tulisan kakaknya, Cholil Bisri, dimuat media koran lokal dan guntingan korannya
ditempel di tembok. Ia pun tergerak untuk menulis. Jika dimuat, guntingan korannya
ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak. Gus Mus juga rajin membuat
catatan harian.
Seperti kebanyakan kyai lainnya, Mustofa banyak
menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi, seperti di NU. Tahun 1970,
sepulang belajar dari Mesir, ia menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten
Rembang. Kemudian, tahun 1977, ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan
Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat,
tahun 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU.
Enggan
Ketua PB NU
Kesederhanaannya telah memberi warna baru pada peta
perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus
Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural, untuk mau mencalonkan diri
sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali,
Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH
Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar
di Kairo, Mesir, ini dianggap salah satu ulama yang berpotensi menghentikan
laju ketua umum lama. Namun Gus Mus justru bersikukuh menolak.
Alhasil, Hasyim Muzadi mantan calon wakil presiden
berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan,
pada Pemilu Preisden 2004, itu terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Tanfidziah
berpasangan dengan KH Achmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PB
NU. Muktamar berhasil meninggalkan catatan tersendiri bagi KH Achmad Mustofa
Bisri, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur, ulama kontroversial.
Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama
dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan
elegan menarik diri. Sebagai misal, kendati pernah tercatat sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992, mewakili
PPP, demikian pula pernah sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau
dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Lalu, ketika NU
ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun gelanggang politik
apalagi terlibat aktif di dalamnya.
Demikian pula dalam Pemilu Legislatif 2004, meski
namanya sudah ditetapkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dari Jawa Tengah, ia lalu memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu
sendiri digelar. Ia merasa dirinya bukan orang yang tepat untuk memasuki bidang
pemerintahan. Ia merasa, dengan menjadi wakil rakyat, ternyata apa yang
diberikannya tidak sebanding dengan yang diberikan oleh rakyat. Selama saya
menjadi anggota DPRD, sering terjadi pertikaian di dalam batin saya, karena
sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang
bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah, kata Mustofa mengenang pengalaman
dan pertentangan batin yang dia alami selama menjadi politisi.
Dicalonkan menjadi ketua umum PB NU sudah seringkali
dialami Gus Mus. Dalam beberapa kali mukhtamar, namanya selalu saja dicuatkan
ke permukaan. Ia adalah langganan “calon ketua umum” dan bersamaan itu ia
selalu pula menolak. Di Boyolali 2004 namanya digandang-gandang sebagai calon
ketua umum. Bahkan dikabarkan para kyai sepuh telah meminta kesediaannya.
Sampai-sampai utusan kyai sepuh menemui ibunya, Marafah Cholil, agar
mengizinkan anaknya dicalonkan. Sang ibu malah hanya menjawab lugas khas warga
ulama NU, Mustofa itu tak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah tak pernah di rumah,
apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya tak pernah ketemu.
Gus Mus sendiri yang tampak enggan dicalonkan, dengan
tangkas menyebutkan, Saya mempunyai hak prerogatif untuk menolak, ucap pria
bertutur kata lembut yang sesungguhnya berkawan karib dengan Gus Dur selama
belajar di Kairo, Mesir. Saking karibnya, Gus Mus pernah meminta makan kepada
Gus Dur selama berbulan-bulan sebab beasiswanya belum turun-turun. Persahabatan
terus berlanjut sampai sekarang. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur dan
singgah di Rembang, biasanya mampir ke rumah Gus Mus. Sebaliknya, bila dia
berkunjung ke Jakarta, sebisa-bisanya bertandang ke rumah Gus Dur. Selain
saling kunjung, mereka tak jarang pula berkomunikasi melalui telepon.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar