KH.
Abdullah Abbas adalah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Beliau
termasuk Kiai Khos yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak
orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.
Kiai
Abdullah Abbas sejak usia muda sampai jelang wafat banyak memberikan
sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut
memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena Kiai Abdullah Abbas
termasuk yang ikut meletakan pundi-pundi kemerdekaan. KH. Abdullah Abbas
adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin dalam berbagai
pertempuran melawan Penjajah Belanda.
|
Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10
November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan
Penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen
Sungkono. Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta
untuk membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng
(Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut. Kiai
Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon
Hisbullah. Beliau juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial
Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.
Riwayat
Pendidikan
Kiai Abdullah Abbas merupakan anak pertama Kiai
Abbas dari istrinya yang kedua yaitu Nyai Hajjah I’anah. Kiai Abdullah Abbas
mempunyai seorang adik perempuan yaitu Nyai Hajjah Sukaenah, serta adik
laki-laki yaitu KH. Nahduddin Royandi. Kiai Abdullah Abbas lahir di Buntet
Pesantren Cirebon pada tanggal 7 Maret 1922. Dari perkawinan dengan istri
pertamanya yaitu Nyai Hajjah Aisah, Kiai Abdullah mempunyai seorang puteri
yaitu Nyai Hajjah Qoriah yang dipersunting oleh KH. Mufassir dari Pandeglang
Banten.
Pada tahun 1965, Nyai Hajjah Aisah meninggal dunia.
Tak lama kemudian Kiai Abdullah Abbas menikah dengan Nyai Hajjah Zaenab, Putri
Qori terkenal KH. Jawahir Dahlan. Dari perkawinan dengan Nyai Hajjah Zaenab,
Kiai Dullah dikaruniai sepuluh putra, yaitu Ani Yuliani, Ayip Abbas, Asiah,
Ismatul Maula, Laela, Mustahdi, Muhammad, Yusuf, Neneng Mar’atussholiha,dan
Abdul Jamil.
Kiai Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan
yang serius oleh ayahnya, Kiyai Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola
hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh Kiai Abdullah Abbas. Selain itu, Kiai
Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa Pesantren, Pesantren yang
pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang dipimpin oleh Kiai
Makmur.
Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, Kiai Dullah
menimba ilmu pada Kiai Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Rampung dari Lasem, Kiai
Dullah berguru pada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Dan
terakhir Kiai Dullah digembleng oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo.
Selepas dari Pondok Pesantren, Kiai Abdullah Abbas
langsung berkiprah di masyarakat. Dengan diserahi sebagai Ketua Batalyon
Hisbullah, Kiai Dullah berjuang merebut kemerdekaan. Selepas revolusi fisik,
Kiai Abdullah Abbas mengalihkan perjuanganya dari mengangkat senjata beralih
pada berdakwah langsung di masyarakat. Jabatan kemiliterannya (Letnan Muda)
ditinggalkan dan lebih memilih menjadi Juru Warta pada Juru Penerangan Agama
Kabpaten Cirebon. Lalu menjadi Pengatur Guru Agama Islam Kabupaten Cirebon dan Jabatan
terakhir adalah Kepala MAN Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon.
Tokoh
Pluralis Sejati
Kiai Abbas, ayahanda Kiai Abdullah Abbas, adalah
seorang tokoh yang sangat menghargai manusia dengan apa adanya, Beliau tidak
membeda-bedakan manusia baik dari segi ras, agama dan keturunan. Dihadapan Kiai
Abbas semua manusia sama. Ini dibuktikan dengan banyaknya tamu dari berbagai
kalangan yang datang dari berbagai kalangan ke rumah Kiai Abbas. Bahkan Beliau
mempunyai anak angkat keturunan Tionghoa yaitu Kiai Usman.
Tampaknya pola hidup ini juga yang diikuti oleh
anak-anaknya. Nyai Hajjah Sukaenah (Istri KH. Kahawi) pada tahun 1970-an ketika
mempunyai mobil angkutan, sopirnya bernama Siem Oek, warga Sindang Laut Cirebon
keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. Padahal saat itu, berhubungan dengan
orang yang tidak seagama masih dipandang sangat tabu. Sementara KH. Nahduddin
Royandi yang tinggal di London (Inggris) menikah dengan warga negara Inggris
keturunan Perancis.
KH. Abdullah Abbas sendiri, sering sekali didatangi
tamu dari berbagai kalangan. Semuanya diterima dengan baik. Dr. Ferdy Sulaeman,
STh, Ketua wadah Komunikasi dan Pelayananan Umat Beragama Jakarta Timur, ketika
mengadakan Live In Pemuda Pemudi Lintas Agama pada tanggal 5 sampai 8 bulan
Januari tahun 2006.
Kiai Abdullah Abbas, sebagaimana juga Kiai Abbas
ayahnya, selalu menghormati tamu-tamunya tanpa pandang bulu. Siapa pun yang
hadir di rumahnya, pasti mendapat penghormatan yang sama. Maka wajar bila rumah
Kiai Dullah sering kedatangan tamu, baik pejabat seperti Presiden, Gubernur,
Bupati, dan pejabat lainnya, pernah juga beberapa Bintang Film dan rakyat
kecil.
Ketika warga Buntet Blok Bulak mendapat tekanan dari
aparat karena mendemo Galian C yang hampir sampai rumah mereka, wong-wong cilik
itu langsung memohon perlindungan pada Kiai Abdullah Abbas. Walaupun saat itu
beliau dalam keadaan sakit, Kiai Dullah menemui mereka dan memberi semangat,
“Teruskan perjuangan dan semoga berhasil,” pesan Kiai Dullah singkat.
Kecintaan Kiai Dullah terhadp wong cilik, sangat
dirasakan dalam pola kehidupan sehari-harinya. Kiai Dullah selalu ngemong
rakyat cilik. Dalam pengajian kitab Kuning, Kiai Dullah cenderung mengajarkan
kitab-kitab yang sederhana dan simpel, seperti Kitab Safinah Annajah, Sulam
Annajah, Sulam Attaufiq, Uquduljain dan kitab-kitab yang relatif tipis. Hal itu
karena ia mengikuti pola pendidikan Mbah Muqoyyim (salah satu sesepuh Buntet
Pesantren) yang populis, “Ajarkan Kitab Safinah (dengan bahasa yang sederhana)
dengan wawasan Ihya Ulumuddin (Penjelasan yang Koprehensip).”
Maka tak aneh, setiap kali ngaji pasaran (pengajian
khusus bulan Ramadhan), walaupun kitab yang dibaca sangat sederhana dan tipis,
tapi yang ngaji banyak juga banyak juga orang dewasa. Selain cara pendidikan
yang mengarah pada penyampaian yang sederhana tapi luas, Kiai Dullah juga
secara priodik memberikan santunan kepada anak yatim dan fakir miskin yang
berada di Buntet Pesantren.
Perjuangan
Khittah NU
Pada tahun 1984, ketika situasi politik telah
membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Gus Dur,
melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah tahun 1926. Gerakan ini
tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.
Walau mendapat tantangan yang cukup berat, namun
karena cintanya kepada warga NU, Kiai Abdullah Abbas terus berjuang dengan
bersafari dari satu daerah ke daerah yang lain untuk melakukan kampanye
perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926. Kiai Abdullah Abbas memang sejak
muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Beliaupun pernah menjadi Ketua Rois
Syuriah NU Jawa Barat.
Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur,
seakan menemukan kembali persaudaraan yang sempat renggang. KH. Abbas ayah Kiai
Abdullah Abaas sangat akrab dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kakek Gus
Dur. Maka pertemanan antara keduanya membuat Kiai Abdullah Abbas mampu
mengembangkan berbagai ide dan gagasan. Dinobatkannya Kiai Dullah sebagi Kiai
Khos pada masa Gus Dur, telah membuat Kiai Dullah menjadi rujukan berbagai
kalangan.
Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, Kiai
Abdullah beberapa kali masuk Rumah Sakit Ciremai. Ada beberapa gagasan Kiai
Dullah yang sampai sekarang masih dalam proses realisasi yaitu ingin
didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan, Sekolah Tinggi
Agama Islam dan Rumah Sakit.
Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri Saat
ini sudah berdiri Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah
(MTs) NU Putra 1 dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU
Putra, MA NU Putri, Akademi Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar