KHABDUL KARIM (1856-1954)
PENDIRI
PESANTREN LIRBOYO
Penampilan
kiai pendiri dan sekaligus perintis pesantren Lirboyo ini, memang tidak
mengesankan seorang kiai besar. Kiai satu ini cukup tawadu` dan sederhana.
Tak salah, kesan yang tertangkap adalah seperti orang biasa, bukan seorang
kiai yang alim. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Karena itu, pernah
seorang santri baru yang datang ke pesantren mau mondok dan sempat kecele.
Alkisah,
suatu hari ada seorang santri yang datang ke pesantren Lirboyo mau berguru
kepada KH. Abdul Karim. Saat turun dari kendaraan, tepatnya di lingkungan
pesantren dan menemui KH Abdul Karim --yang lantaran tidak berpenampilan
layaknya seorang kiai--
|
dengan tanpa sungkan, santri itu meminta bantuan
untuk membawakan kopernya ke kamar. Anehnya, sang kiai tak keberatan, justru
diam saja dan langusng mengangkat barang bawaan santri tersebut.
Saat santri itu memasuki pesantren diiringi sang
kiai membawa koper miliknya, tak sedikit santri Lirboyo yang kaget. Bahkan ada
yang lari karena ketakutan. Anehnya, kekagetan dan ketakutan santri-santri itu
tak membuat santri baru tersebut tanggap, malah biasa-biasa saja. Cuek. Selang
beberapa hari kemudian santri itu baru tahu saat ikut shalat berjama`ah setelah
melihat bahwa orang yang membawakan kopernya kemarin itu menjadi iman, yang tak
lain adalah KH. Abdul Karim. Kontan, santri anyar itu tersentak kaget. Beberapa
hari kemudian, entah tak kuat menahan atau menanggung malu, santri itu pulang
kampung, tidak pamit.
Sepenggal kisah di atas baru satu bentuk kerendahan
hati KH. Abdul Karim. Sebab, kiai satu ini juga dikenal amat sabar, jauh dari
sifat marah, santun dalam bertutur dan jika menasehati orang lain lebih pada
bentuk “tindakan” daripada kata-kata. Lebih dari itu, kiai satu ini berasal
dari keluarga biasa yang berjuang dan tekun belajar hingga akhirnya bisa jadi
kiai yang alim.
Anak
Seorang Petani Biasa
Adalah Manab, nama kecil KH. Abdul Karim. Lahir
sekitar tahun 1856, di Dukuh Banar, desa Diangan, Kawedanan Mertoyudan,
Magelang, Jawa Tengah. Ia merupakan putra ketiga dari pasangan Abdur
Rahim-Salamah. Selain sebagai seorang petani, ayah Manab juga seorang pedagang.
Kehidupan keluarga Abdur Rahim sebenarnya berkecukupan, hanya setelah sang ayah
meninggal dan usaha itu dilanjutkan oleh sang istri serta tak lama kemudian
Salmah –ibu Manab- menikah lagi, Manab memutuskan untuk mengembara dengan tujuan
menuntut ilmu, ingin meniru kedua kakaknya, yakni Aliman dan Mu`min yang lebih
dulu berkelana.
Keinginan Manab itu, nampaknya terinspirasi dari
kharisma alim ulama pengikut P. Diponegoro, seperti Kiai Imam Rofi`i dari
Bagelan, Kiai Hasan Bashori dari Banyumas dan lain-lain. Dia ingin mengikuti
jejak mereka. Ia tidak rela jika hanya menjadi orang biasa, karena itu walau ia
hanya anak seorang petani biasa, dia yakin bahwa keturunan sejati adalah
keturunan sesudahnya, bukan sebelumnya. Karena bagi Manab, nasab tidaklah penting,
yang penting adalah ilmu.
Suatu hari, Aliman pulang ke Magelang. Rupanya
Aliman juga bermaksud mengajak Manab yang saat itu berusia 14 tahun untuk
berkelana. Dengan berbekal restu orangtua, Manab akhirnya berangkat ke Jawa
Timur. Dalam perjalanan itu, kedunya sampai di Dusun Gurah Kediri, bernama
Babadan. Di susun inilah, kedunya menemukan sebuah surau yang diasuh oleh
seorang kiai, dan mulai nyantri untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu
amalaiyah –dengan membagi waktu sambil ikut mengetam padi, menjadi buruh warga
desa saat panen tiba.
Setelah dirasa cukup, ia meneruskan nyantri ke
pesantren yang terletak di Cepoko, 20 kilometer sebelah selatan Nganjuk, dengan
bekerja di pesantren itu. Di sini, Manab belajar selama 6 tahun. Lantas pindah
ke pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono. Di pesantren ini pula, konon Manab
memperdalam al-Qur`an.
Dengan berjalannya waktu, Manab kian beranjak
dewasa. Ia semakin menambah ilmu dengan tekun mengaji. Seakan tak puas hanya
belajar di dua pesantren, Manab pindah ke Sidoarjo, pesantren Sono --yang
terkenal akan ilmu sorofnya. Di pesantren ini, ia mondok 7 tahun dan tidak lagi
belajar sambil bekerja, karena seluruh kebutuhannya sudah ditanggung kakaknya.
Manab sempat becerita kepada cucu tertuanya, Agus Ahmad Hafidz, “Aku bisa
nyantri, karena dianggat oleh kakakku”.
Di pesantren itu, dia memperdalam ilmu sorof. Karena
dia ingin jadi spesialis ilmu gramatika Arab ini, sehingga memilih ilmu ini
sebagai hobinya. Karena baginya, ilmu sorof itu bagaikan ibunya ilmu sedangkan
nahwu adalah ayahnya ilmu. Dari Sono, ia lalu nyantri ke pesantren Kedungdoro
dan kemudian ke Madura untuk nyantri kepada kiai Kholil bangkalan (wafat tahun
1923).
Saat belajar ilmu di Madura, Manab banyak menimba
ilmu dan tak jarang menerima berbagai ujian. Sempat Manab bekerja guna
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama Abdullah Fiqih (dari Cemara,
Banyuwangi) ke daerah Banguwangi dan Jember. Tapi, apa yang terjadi setelah ia
bersusah payah kerja dan pulang dengan membawa hasil? Justru, hasil dari
kerjanya itu diminta oleh kiai Kholil untuk makanan kambing-kambing sang kiai.
Mau bagaimana lagi, Manab menyerahkannya. Rupanya, itu sebagai isyarat dari
Kiai Kholil bahwa Manab ternyata tidak diijinkan bekerja. Konon, sebagai gantinya
Manab disuruh memetik daun pace yang tumbuh di sekitar pondok untuk makan
sehari-hari. Dari daun itu, Manab mengganjal perutnya. Konon sering makan sisa
kerak nasi dari teman-temannya atau kadang ampas kelapa.
Tetapi, semua ini tidak pernah ia keluhkan.
Bertahun-tahun ia melakukan tirakat ini sehingga tak aneh jika Manab lebih
dikenal sebagai santri yang betah dalam keadaaan lapar. Anehnya, semua itu bagi
Manab dirasa sebagai bentuk “perjuangan” untuk mendapat sesuatu yang diharapkan
kelak.
Di pesantren ini, hampir 23 tahun Manab nyantri.
Saat itu ia sudah berusia 40 tahun, sehingga sudah mencerminkan sosok yang alim
dan figur Manab-pun telah menampakkan sosok sesorang kiai. Tidak salah, jika
santri-santri menempatkan Manab sebagai kiai, tempat untuk bertanya, minta
pendapat dan berguru. Salah satu kiai yang sempat berguru kepadanya adalah Kiai
Faqih asal Patik Nganjuk.
Kealiman Manab tentunya bukan sesuatu yang turun
begitu saja dari langit. Manab dengan tekun mengaji kitab-kitab kuning dan
melakukan telaah. Meski dia kekurangan uang untuk membeli kitab, namun dia
punya siasat jitu. Konon, Manab sering melakukan barter. Kitab yang sudah dia
pelajari, dia tukar dengan kitab-kitab baru milik temannya. Kadang langsung
dijual, lalu dari uang itu dia belikan kitab yang baru.
Diambil
Menantu Seorang Kiai
Setelah cukup lama, kiai Kholil merasa Manab sudah
lulus. Lalu Manab pamit pulang. Namun sesampainya di Jawa Timur, dia mendengar
salah satu sahabatnya kala mondok di Madura, kiai Hasyim Asy`ari telah 3 tahun
membina pesantren di Tebuireng, Jombang yang membuat Manab singgah. Di
pesantren ini, ternyata dia tidak sekedar singgah dan malah sempat nyantri
selama 5 tahun.
Meskipun usia Manab ketika itu sudah mendekati
setengah abad, toh dia belum juga melepas masa lajang. Tanpa diduga-duga,
datang seorang kiai dari Pare kepada kiai Hasyim yang ingin mengambil menantu
Manab. Tetapi, kiai Hasyim diam-diam menolak lamaran itu, karena ingin
menjodohkannya dengan salah seorang putri kerabatnya, putri KH. Sholeh dari Banjarmlati,
Kediri. Kiai Manab yang saat itu berusia 50 tahun akhirnya menikah dengan Khadijah
yang berusia 15 tahun.
Walau sudah menikah, Manab toh masih nyantri juga di
Tebuireng. Setengah tahun kemudian, karena sebagai suami, dia akhirnya bermukim
di Banjarmlati mendampingi sang istri. Satu tahun kemudian, lahir seorang putri
pertama, Hannah (1909) dan Manab masih belum memiliki rumah.
Akhirnya, KH. Sholeh berkeinginan membeli tanah di
Lirboyo dan memberikannya kepada Manab. Pembelian itu tidak menemui masalah,
sebab Lirboyo dikenal sarang dari keonaran sehingga lurah Lirboyo yang tak
mampu lagi menentramkannya memohon bantuan KH Sholeh untuk menempatkan
menantunya agar masyarakatnya yang kering akan siraman rohani bisa sadar.
Akhirnya, kiai Manab pun menetap di Lirboyo.
Dari situ, kiai Manab boleh dikatakan merintis dari
awal. Bahkan, di awal-awal kiai Manab menetap di Lirboyo tidak jarang kena
terror. Tujuannya agar kiai Manab tak betah. Tapi dengan ketabahan, kiai Manab
justru berhasil menyadarkan penduduk. Lalu, kiai Manab memulai membangun sarana
peribadatan, musholla yang 3 tahun kemudian disempurnakan menjadi masjid tahun
1913. Dengan keberadaan masjid itu keberhasilan dakwah kiai Manab kian nampak.
Masjid itu tidak sekedar hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai
sarana pendidikan dan pengajian.
Dari situ, banyak masyarakat yang kemudian berguru,
malahan ada seorang santri yang datang dari Madiun, bernama Umar. Santri
pertama inilah yang kemudian menjadi cikal bakal keluarga besar pesantren
Lirboyo, yang dirintis dari nol oleh kiai Manab.
Dengan
Sedekah Pergi ke Mekkah
Dengan tekun, rajin dan tabah, kiai Manab
mengembangkan pesantren. Dalam satu dasawarsa sudah banyak kemajuan yang
dicapai. Jumlah santri semakin bertambah, datang dari berbagai penjuru. Untuk
itu, ia kemudian merelakan sebagian tanahnya untuk dihuni santri. Begitulah
sifat kiai Manab, seorang pemimpin sejati yang mendahulukan kepentingan orang
di atas kepentingan pibadi.
Tapi belum sempurna jika kiai Manab belum menunaikan
rukun Islam kelima. Itulah yang masih mengganjal dalam benaknya. Karena itu,
setelah kebutuhan santri dipenuhi, dia berkeinginan untuk menunaikan ibadah
haji. Awalnya, dia mau menjual tanah untuk biaya haji, tapi sebelum tanah itu
terjual, kabar keberangkatan ternyata sudah tersiar. Dari kabar itulah, banyak
penduduk yang ingin mengucapkan selamat dan memberikan tambahan bekal. Anehnya,
dari uang pemberian itu terkumpul uang banyak dan sudah bisa digunakan pergi
haji dengan tanpa harus menjual tanah. Akhirnya, kiai Manab pun bengkat ke
tanah suci dan sepulang dari tanah suci itu, kiai Manab mengganti namanya
menjadi Kiai Haji Abdul Karim.
Ada satu sisi kehidupan KH. Abdul Karim yang patut
diteladani, yakni suka riyadhah, mengolah jiwa (tirakat). Kebiasaan ini tak
pernah ditinggalkan, sejak menuntut ilmu sampai berkeluarga dan menjadi kiai
pemangku pesantren. Selain itu, sering menghidupkan shalat malam. Jarang tidur,
toh jika tidur cuma sebentar. Iia habiskan malam dengan dzikir, munajat kepada
Allah, membaca al-Qur`an dan menelaah kitab. Kebiasaan ini tak asing di mata
santri.
Kiai ini juga dikenal lembut. Terbukti ketika
menyadarkan santri, kiai memilih jalan menasehatinya dengan tindakan dan
kadang-kadang dalam bentuk tulisan yang ditempelkan di dinding pesantren.
Pendek kata, kiai memilih jalan menasehati tanpa ada unsur pemaksaan. Apalagi,
sampai dengan cara melukai hati.
Tapi, hal yang sungguh luar biasa adalah bentuk
tawakkal yang dipegang teguh oleh KH Abdul Karim. Pernah Belanda menyerbu ke
pesantren tapi ia tetap diam dan tak gentar sedikitpun. Meski demikian, di masa
penjajahan Belanda, kiai tak lantas berpangku tangan. Bahkan pada zaman
penjajahan Jepang (1942-1945), ia bersama para ulama sempat dipanggil ke
Jakarta. Tujuan Jepang saat itu adalah untuk membentuk Shumubu, Jawatan Agama
Pusat yang kemudian diketuai oleh KH. Hasyim Asy`ari dan Shumubu (JA Daerah).
Kiai yang lahir di Magelang ini juga ikut
menggembleng dan memberikan doa restu kepada barisan Sabilillah dan Hizbullah.
Di samping itu, ia mengirimkan para santrinya untuk ikut bertempur di Medan
laga, dua kali ke Surabaya dengan jumlah santri mencapai 97 dan 74 orang, dan
sekali ke Sidoarjo dengan jumlah pasukan 309 santri. Juga sempat terlibat dalam
pelucutan senjata tentara Jepang di Kediri. Jadi, sang kiai terlibat dalam
mempertahankan kemerdekaan negeri ini.
Masa-masa
Akhir
Sekitar tahun 50-an, usia sang kiai sudah mendekati
satu abab. Tetapi, usia itu tidak menghalangi niatnya untuk menunaikan ibadah
haji, menyertai ibu nyai. Tahun 1952, berkat bantuan biaya dari haji Khozin,
seorang dermawan asal Madiun yang waktu itu juga hendak menunaikan ibadah haji,
kiai ingin menunaikan ibadah haji kembali. Tetapi tatkala tiba di Surabaya,
kondisinya tampak payah, sehingga tim dokter meragukan kesehatan kiai untuk
dapat menunaikan ibadah haji.
Tapi, karena niat itu sudah bulat, maka kiai
melakukan berbagai cara. Atas bantuan KH. Wahid Hasyim akhirnya ia bisa
berangkat dari Jakarta. Seusai ibadah haji kedua, KH Abdul Karim mulai
menunjukkan tanda kurang sehat. Beberapa waktu, sempat sakit-sakitan. Akan
tetapi yang cukup menyedihkan adalah kesehatan itu kian turun drastis sehingga
saraf sebelah kaki tak lagi berfungsi, mengakibatkan ia lumpuh.
Sebenarnya kelumpuhan itu sempat diderita cukup
lama, hampir satu setengah tahun. Sampai akhirnya saat memasuki bulan Ramdhan
1374, seminggu kemudian sakit KH. Abdul Karim semakin kritis, sehingga tidak
mampu lagi memberikan pengajian dan menjadi imam jama`ah dalam shalat. Tepat,
pada hari senin ketiga di bulan suci Ramadhan tahun itu, atau tepatnya tanggal
21 Ramdhan 1374 H, sekitar pukul 13.30 KH. Abdul Karim dipanggil Yang Kuasa.
Suasana sedih tentu melingkari keluarga pesantren Lirboyo. Sebab, pendiri
pesantren yang selama itu diagungkan telah tiada. Pada sisi yang lain, juga
meninggalkan jejak bangunan pesantren yang perlu untuk diteruskan.
Itulah kisah panjang dan perjuangan pendiri sejati,
yang telah memulai segala sesuatu dari nol hingga mampu meletakkan tonggak
sejarah pesantren Lirboyo dengan melahirkan nasab yang sekarang meneruskan
estafet perjuangan dalam menambah deretan pesantren di tanah air ini. Semoga
kita bisa meneladani kehidupan dan perjuangan yang telah ditanamkan dalam
memberikan sumbangan kepada santri. (n. mursidi/ diolah dari buku 3 Tokoh
Lirboyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar