Qari
andal, hafizh Al-Quran, pakar fiqih dan ushul fiqh, pengajar pascasarjana di
berbagai perguruan tinggi, muballigh dan pengisi berbagai acara di televisi,
juri MTQ tingkat internasional di berbagai negara. Itulah sebagian di antara
sederet atribut dan aktivitas yang disandang Prof. Dr. Habib Said Agil Husin
Almunawar.
Ulama
intelektual ini memang memiliki banyak keahlian sehingga aktivitasnya pun
menjadi sangat beragam. Sosok yang dibutuhkan banyak orang, enak diajak
bicara, dan bersuara merdu, ini lahir di Kampung 13 Ulu, Palembang, pada
tanggal 26 Januari 1954.
|
Ayahnya, Habib Husin bin Agil bin Ahmad Al-Munawar
(lahir 13 Desember 1932, wafat 13 November 1989, adalah salah seorang tokoh
habaib yang dihormati di Palembang. Sedangkan ibunya, Syarifah Sundus binti
Muhammad Al-Munawar (wafat 20 Februari 2001), adalah ibu rumah tangga yang shalihah
dan bijaksana.
Saat Said Agil berusia dua tahun lebih, tepatnya
tanggal 1 Juli 1956, ayahandanya mendirikan madrasah yang diberi nama
“Shiratul-Jannah”. Lokasinya di Kampung 14 Ulu, kampung yang bersebelahan
dengan kampung tempat tinggalnya. Kemudian setelah lokasinya dipindahkan,
perguruannya berganti nama menjadi “Perguruan Islam Munawariyah”.
Dari tahun ke tahun perguruan yang dipimpinnya terus
menghasilkan lulusan-lulusan dengan penguasaan ilmu-ilmu agama yang memadai,
minimal untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga. Namun tak sedikit pula
yang menjadi ulama dan ustadz yang melanjutkan perjuangannya.
Said Agil sendiri ketika kanak-kanak, di samping
bersekolah di SD Negeri 8 Sepuluh Ulu Palembang di pagi hari, juga belajar di
madrasah ayahandanya ini di siang hari. Jadi, ia pun salah seorang alumninya.
Ia lulus dari madrasah Ibtidaiyah Munawariyah tahun
1966, sedangkan di SD Negeri ia lulus tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Al-Ahliyah, sebuah perguruan yang didirikan
tahun 1920-an oleh para ulama terkemuka di wilayah Palembang. Said Agil dapat
menyelesaikannya pada tahun 1969.
Setelah itu pendidikannya berlanjut di Sekolah
Persiapan Universitas Islam (SPUI) Al-Ahliyah 17 Ilir Lorong Ketandan,
Palembang. Ia termasuk angkatan pertama dan lulus tahun 1971.
Selalu
Meraih Peringkat Pertama
Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya maju,
berhasil melebihi dirinya, paling tidak seperti dirinya. Demikian pula
orangtuanya, yang sangat menginginkannya menjadi penerusnya. Dalam menanamkan
nilai-nilai hidup, orangtuanya melakukannya melalui pendidikan formal dan
nonformal.
Untuk pembinaan secara nonformal, ia “dititipkan”
kepada para tokoh ulama habaib, termasuk guru ayahandanya sendiri, Habib Alwi
bin Ahmad Bahsin. Berbagai kitab ia pelajari kepadanya.
Prestasinya di setiap jenjang pendidikan, mulai dari
sekolah dasar hingga SPUI Al-Ahliyah, sangat menonjol, selalu meraih peringkat
pertama.
Ketika mengikuti pendidikan di SPUI Al-Ahliyah, pada
saat yang sama ia juga belajar di Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) Raden Fatah
Palembang.
Saat lulus SPUI dan SPIAIN, usianya masih relatif
muda, di bawah 17 tahun, karena ia pernah melompat kelas, hanya tiga bulan di
satu kelas dan langsung dinaikkan ke kelas berikutnya. Kebanyakan calon
mahasiswa yang mendaftar di IAIN berusia sekitar 18-19 tahun, sedangkan umur
Said Agil masih di bawah itu. Tapi pihak IAIN tidak dapat menolak, karena ia
mempuyai ijazah sekolah agama dan sekolah negeri. Bahkan akhirnya kedua ijazah
itu menjadi modal baginya untuk masuk perguruan tinggi itu tanpa test.
Ia diterima di Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah dan
kemudian meraih gelar sarjana muda tahun 1974 dengan predikat cum laude.
Setelah itu, ia memiliki keinginan untuk dapat kuliah di luar negeri. “Jika
orang bisa, kenapa saya tidak bisa?” katanya. Apalagi ayahnya juga
membolehkannya kuliah di luar negeri. Kalau masih sekolah di dalam negeri,
apabila harus berpisah dengan orangtua, ia tidak diizinkan. Ini karena ia anak
pertama, yang diharapkan dapat menjadi pengganti sang ayah, sehingga harus
mendampinginya, sebagai persiapan dan pengalaman baginya.
Karena itulah ia tidak pernah mondok di pesantren di
Indonesia. Bagi ayahnya, belajar di mana saja sama, jadi tidak mesti belajar di
pesantren. “Kamu belajar di Palembang sama saja dengan di tempat-tempat lain,”
katanya. Ya, sebagai anak pertama ia memang disiapkan untuk menjadi
penggantinya. Tak mengherankan bila di usia empat belas tahun ia sudah mengajar
di sekolah untuk membantu ayahnya.
Karena mendapatkan lampu hijau dari sang ayah, ia
pun segera mencari informasi-informasi tentang beasiswa belajar ke luar negeri.
Hasilnya sungguh menggembirakan. Tak
tanggung-tanggung, ia mendapatkan lima beasiswa untuk belajar di lima negara:
Kuwait, Qatar, Iran, Mesir, dan Arab Saudi. Maka melaporlah ia kepada sang
ayah.
“Bagaimana ini, Abah, sudah dapat beasiswanya?”
Mendengar itu, sang ayah bukannya senang, tetapi
tampak bingung. Bukan bingung untuk memilihkan salah satu dari lima pilihan
itu. Yang dipikirkannya, kalau anak yang menjadi harapannya ini jadi belajar ke
luar negeri, sebentar lagi ia akan ditinggalkan.
Sebenarnya bukan hanya sang ayah yang agak berat
melepasnya. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh Habib Agil sendiri, karena
ia juga tak pernah berpisah dengan orangtua, meskipun sangat ingin belajar di
luar negeri
Tapi kemudian ia bertanya, “Mau pilih yang mana?”
“Mau pilih Saudi saja, di Madinah saja,” jawab Said
Agil.
“Mengapa?”
“Agar kita bisa lebih mudah bertemu atau
berkomunikasi. Lagi pula kalau Walid butuh kitab-kitab, lebih mudah
mengirimkannya.”
Maka kemudian berangkatlah Said Agil ke Arab Saudi
memulai lembaran baru dalam kehidupannya, belajar di negeri orang dan berpisah
untuk sementara dengan kedua orangtuanya. Dua hal yang sama-sama baru baginya.
Ia kuliah di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, universitas Islam
tertua di Arab Saudi.
Selama empat tahun ia menimba ilmu di universitas
itu hingga akhirnya mendapatkan gelar LML, sebuah predikat untuk lulusan
jurusan hukum Islam. Ia lulus 1979 dengan cum laude dan memperoleh hadiah uang
sebanyak seribu riyal dari Raja Arab Saudi.
Karena kemampuan dan prestasinya yang sangat
menonjol, ia pun dicalonkan oleh universitas untuk mengikuti ujian S2 di
universitas itu.
Tapi ia punya keinginan masuk ke perguruan tinggi
yang lain, untuk mengubah suasana. Pilihannya jatuh pada Universitas King Abdul
Azis di Makkah, cabang Universitas King Abdul Azis Jeddah. Ujian masuk ke
universitas itu sangat ketat, tapi alhamdulillah ia lulus.
Tahun 1980 sambil mengurus penggantian visa sesuai
perubahan tempat kuliahnya, ia pulang dan menikah dengan Syarifah Fatimah Abu
Abdillah Assegaf, kelahiran Tigeneneng, Lampung Selatan, 27 Mei 1957. Setelah
menikah, sang istri diboyongnya ke Makkah.
Selama di Makkah mereka dikaruniai empat dari enam
anak mereka, yakni Afaf (1981), Fahd (1983), Tsuroya (1984), dan Lulu (1986).
Sedangkan dua anak mereka yang terakhir lahir di Jakarta, Faisal (1988) dan
Husain (1991).
Pada tahun 1982 ketika ia sedang memulai tesis,
Universitas King Abdul Azis Makkah berubah menjadi Universitas Ummul-Qura
Makkah, dan terpisah dari Universitas King Abdul Azis Jeddah. Master of Art
dari universitas ini diraihnya tahun 1983.
Setelah itu, meskipun telah berkeluarga, semangat
belajarnya tak pernah berkurang, apalagi hilang. Ia terus melanjutkan
pendidikannya ke jenjang S3 hingga akhirnya tahun 1987 memperoleh gelar Ph.D.
dengan spesialisasi hukum Islam.
“Bertanya kepada Rasulullah?”
Selama di Arab Saudi, Habib Said Agil bukan hanya
menuntut ilmu di bangku kuliah. Ia menyadari benar bahwa di luar kampus masih
sangat banyak sumber ilmu. Maka ia pun tak menyia-nyiakan itu, dengan belajar
kepada para tokoh ulama yang ada di sana. Tokoh-tokoh seperti Habib Abdul Qadir
bin Ahmad Assegaf, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Syaikh Yasin Al-Fadani,
adalah sebagian di antara sumber-sumber ilmu yang sempat ia hirup ilmunya.
Hubungannya dengan para tokoh ulama tersebut sangat
dekat dan banyak kisah dengan mereka yang selalu dikenangnya. Dengan Syaikh
Yasin, misalnya, sampai setengah bulan sebelum wafatnya, ia masih sempat
bertemu dengannya. Syaikh Yasin kala itu di antaranya mengatakan demikian,
“Agil, kaki saya ini sudah bengkak-bengkak.” Saat itu kondisi kesehatan Syaikh
Yasin memang sudah sangat lemah. Dalam kesempatan itu Syaikh Yasin memberikan
wasiat macam-macam kepadanya. Di antaranya, pesannya untuk terus mengembangkan
ilmu dan ijazah yang diberikannya, di mana saja ia berada. Secara khusus Syaikh
Yasin menekankan untuk terus mengembangkan ilmu hadits. Di majelisnya Habib
Said Agil mengikuti pengajian yang di antaranya membaca kutubus sittah. Yakni,
kitab hadits yang menjadi induk atau standar buah karya enam orang imam
muhaditsin: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi,
Sunan An-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah.
Kedekatannya dengan Syaikh Yasin membuat Habib Said
Agil sempat pula mengajar di Darul Ulum, madrasah yang ia pimpin, selama empat
tahun, 1983 sampai 1987. Materi yang diajarkannya adalah tafsir, tajwid, dan
tahfizhul Qur’an (menghafal Al-Quran).
Di bawah bangunan madrasah ini terdapat perpustakaan
Syaikh Yasin. Kitab-kitab langka banyak terdapat di situ. Mungkin ia sudah
merasa bahwa kitab-kitabnya nanti akan dikuasai orang. “Agil, kitab-kitab ini
dibawa pulang saja.”
Sayangnya, Habib Said Agil tak memanfaatkan tawaran
itu. Bukan tak mau kitab-kitab, tapi ia bingung, bagaimana harus membawanya
sedangkan kitabnya sendiri saja sudah bertumpuk-tumpuk.
Tapi kemudian ia menyesal, karena tiga hari setelah
Syaikh Yasin wafat, sekolahnya ditutup pemerintah dan perpustakaannya pun
dikuasai.
Syaikh Yasin adalah salah seorang guru yang sangat
ia kagumi. Menurutnya, jika diberikan kitab-kitab, ia selalu membacanya sampai
tuntas dan diberi koreksi bila ada kesalahan-kesalahan di dalamnya. Hafalannya
luar biasa. Lebih dari itu, menurut feeling-nya, ia seorang wali yang
tersembunyi, wali mastur.
Kadang-kadang dalam penelitian-penelitiannya, Habib
Said Agil menemukan hadits-hadits yang ia tak ketahui siapa yang
meriwayatkannya. Jika mendapatkan kesulitan seperti itu, ia segera mendatangi
Syaikh Yasin. Dan baru saja duduk, Syaikh Yasin sudah tahu. “Agil, ente punya
musykilah (kesulitan), ya?”
“Ya, ada hadits-hadits yang belum ditemukan siapa
yang meriwayatkannya.”
Ia pun membacakan hadits-hadits yang dimaksud.
“Besok pagi ke sini. Nanti malam ana tanya dulu
kepada Rasulullah.”
Habib Said Agil kaget mendengarnya. Untuk
meyakinkan, ia bertanya, “Bertanya kepada siapa, Syaikh?”
“Kepada Rasulullah,” katanya menegaskan.
Keesokan harinya ketika ia datang, Syaikh Yasin
sudah dapat menyebutkan siapa yang meriwayatkannya dan di kitab apa adanya.
“Di Indonesia Kamu lebih Dibutuhkan”
Setelah pendidikan S3-nya rampung, Habib Said Agil
segera pulang ke tanah air. Tetapi sebelum kembali, ia mendapatkan tawaran dari
duta besar di sana untuk menjadi seorang diplomat.
Setelah dipertimbangkan matang-matang dari berbagai
seginya, ia tak mengambil kesempatan itu. Apalagi Munawir Sadzali, menteri
agama saat itu, menyarankannya untuk kembali ke Indonesia saja. “Jangan! Cukup
saya yang menjadi diplomat, karena di Indonesia kamu lebih dibutuhkan.”
Maka saat tiba di Indonesia, ia melapor ke Menteri
Agama, yang kemudian memintanya tinggal di Jakarta.
Setelah itu pada bulan Desember 1987 ia mengikuti
pendaftaran kepegawaian sebagai dosen IAIN Jakarta.
Bulan Maret tahun berikutnya SK kepegawaiannya sudah
keluar.
Pada tahun 1989 ia dipercaya oleh IAIN Jakarta untuk
memikirkan dan merintis sebuah jurusan baru, Jurusan Tafsir Hadits.
Ia pun menyusun kurikulum dan silabusnya, dan tahun
1990 ia pun diangkat sebagai ketua jurusan itu.
Jurusan Tafsir Hadits, yang berada di bawah Fakultas
Ushuluddin, terus ia kembangkan hingga menjadi salah satu jurusan yang paling
diminati di IAIN itu. Tak mengherankan bila rata-rata lulusan IAIN Jakarta yang
terbaik berasal dari jurusan tersebut.
Setelah lama menjabatnya, pada tahun 1998 ia
memutuskan untuk berhenti sebagai ketua jurusan dan berniat mengajar saja di
jurusan itu. Namun, ia justru mendapat jabatan baru, sebagai direktur
Pascasarjana IAIN Jakarta, setelah direktur sebelumnya, Prof. Dr. Harun
Nasution, meninggal dunia di akhir tahun 1998. Ia diangkat melalui SK Menteri
Agama tertanggal 25 Agustus 1999. Jabatan ini masih tetap dipegangnya sampai
saat ia menjabat menteri agama pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004.
Pada tahun 2000 ia dikukuhkan menjadi guru besar
IAIN Jakarta. Pengukuhannya dilakukan 17 Maret 2001.
Selain menjadi dosen tetap di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, ia juga mengajar di berbagai perguruan tinggi, antara
lain sebagai dosen Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Imam
Bonjol Padang, IAIN Sumatera Utara, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Jadi, kesibukan
sebagai seorang dosen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupannya, baik sebelum maupun sesudah menjabat menteri.
Saat menjabat menteri, setiap Jum’at dan Sabtu, ia
masih menyempatkan diri mengajar program pascasarjana di berbagai perguruan
tinggi di berbagai kota dengan dibantu asisten.
Salah satu kepakaran Habib Said Agil yang sangat
diakui orang adalah dalam bidang tilawah Al-Quran. Di usia yang masih muda,
sebelum berangkat menimba ilmu di Arab Saudi, ia telah dikenal sebagai seorang
qari andal tingkat nasional.
Sesungguhnya bakat itu telah tampak jauh sebelumnya.
Di usia empat tahun ia sudah khatam Al-Quran, dan setahun setelah itu telah
menjadi qari cilik yang sering dibawa ke mana-mana membaca Al-Quran.
Habib Said Agil mengaku tidak pernah berpikir dan
membayangkan menjadi seorang menteri. Selama ini ia hanya berpikir dan mengabdi
sebagai seorang akademisi yang menekuni ilmu, di samping menjalani berbagai
aktivitas lain, di antaranya sebagai muballigh dan ustadz, yang aktif
menyampaikan pesan-pesan keagamaan di berbagai kesempatan, termasuk di layar
kaca.
Habib Said Agil dikenal sebagai tokoh moderat yang
dapat diterima berbagai kalangan. Sikap dan pendiriannya jelas tergambar dari
pemikiran-pemikirannya. Ia mengatakan, agama merupakan benteng spiritual dan
moral. Orang yang beragama setiap bertindak selalu berangkat dari basis hati
nurani. Setiap melangkah dan melakukan sesuatu senantiasa bertanya kepada hati
nurani yang didasari ajaran agama yang dianutnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya orang mendalami
agama. Jika mengenal agama secara mendalam, ia akan memiliki sikap toleransi,
tidak merasa benar sendiri. Karenanya selama menjabat menteri agama, di antara
usaha yang giat dilakukannya adalah mengembangkan dan menyuburkan kerukunan
antarumat beragama. Kemudian menumbuhkembangkan forum-forum dialog antarumat
beragama.
Penulis
Produktif
Meski sibuk dengan berbagai aktivitas, Habib Said
Agil masih menunjukkan kelebihannya yang lain, menghasilkan karya-karya tulis
yang berbobot. Bahkan ia tergolong penulis yang produktif, baik dalam bentuk
buku, artikel, maupun makalah seminar. Di antara buku-buku yang pernah
dihasilkannya adalah I`jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir; Ushul Fiqh, Sejarah
dan Suatu Pengantar; Ilmu Takhrij Hadits, Sejarah dan Suatu Pergantar;
Perkembangan Hukum Islam Madzhab Syafi`i: Studi Qaul Qadim dan Qaul Jadid;
Dimensi-dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam.
Karya-karya ilmiah di bangku kuliahnya adalah Naql
Ad-Dam wa Atsaruhu fi Asy-Syariah Al-Islamiyyah (skripsi S1, 1977), Al-Khamru
wa Dhararuhu fi Al-Mujtama` Al-Insani (Skripsi S1 di Universitas Islam Madinah,
1979), An-Nadb wa Al-Karahah (Tesis S2, Universitas Ummul Qura, Makkah, 1983),
dan Tahqiq Kitab Hawi Al-Kabir li Al-Mawardi (disertasi doktor, Universitas
Ummul Qura, Makkah, 1987). Selain menulis buku, artikel, dan makalah seminar,
ia pun telah menerjemahkan lebih dari 25 kitab berbahasa Arab.
Dalam kesehariannya, ia pun tak pernah meninggalkan
tradisi yang dipelihara para habib dan ulama pada umumnya, yakni membaca wirid
dan dzikir. Setiap hari ia tak lupa membaca al-wirdul-lathif, berbagai hizib,
juga amalan-amalan yang terdapat dalam kitab Syawariq Al-Anwar, karya Sayyid
Muhammad Al-Maliki.
Menyongsong
Hari Baru
Sesukses apa pun seseorang, tak selamanya hanya
mengalami hal-hal yang menyenangkan. Begitulah pula dengan dirinya. Ia
menyadari, Allah-lah yang mengatur segala yang terjadi di dunia ini.
Ketika menghadapi hal-hal yang sulit, ia selalu
membaca lâ ilâha illa anta, subhânaka innî kuntu minazh-zhâlimîn 41 kali setiap
selesai shalat. Selain itu, membaca Ya Lathif 450 kali setelah shalat. Setiap
malam ia pun tak lupa bertawasul kepada Rasulullah, orangtua, kakek, nenek, dan
para gurunya. Setelah itu barulah ia tidur, mengkhiri harinya untuk menyongsong
hari yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar