Sempu,
Klapa Endep, Serang, sekitar tahun 1920-an/1930-an, lahir bayi prematur putra
pasangan Nyi Ratu Lam’ah dan Tubagus Muhammad As’ad. Kelahirannya diiringi
oleh beberapa kyai sepuh yang sederhana, dipimpin oleh almarhum Kyai Tubagus
Halimi, Pamindangan – Allahuyarham. Kepada beliaulah bayi itu dimintakan
nama. Kyai Halimi menggendong sang bayi, namun entah mengapa beliau hanya
diam saja. Beliau mengaku tak berani memberikan nama kepadanya – maka ditanyakanlah
kepada para kyai yang lain. Tetapi jawaban mereka sama.
|
Pada saat semua diam dan kebingungan, mendadak di
antara hadirin, bernama Nyi Ratu Fatmah mendapat bisikan ruhani dari kakeknya,
yang juga sekaligus kakek dari sang bayi, Kyai Asnawi Caringin, Banten.
Pesannya jelas. Berilah nama bayi itu: ”Qamaruzzaman al-Husaini.” Berdasar
silsilah keluarga, bayi ini adalah keturunan ke 26 dari Kanjeng Rasulullah.
Tak lama sesudah Kyai Qamaruzzaman lahir, kedua
orang tuanya meninggal. Karena itu beliau diasuh oleh neneknya, Nyi Ratu
Alfiyah, seorang wanita saleh, yang mendidiknya membaca al-Qur’an. Kyai
Qamarruzzaman kecil tidak diperkenankan bermain seenaknya, tetapi ”dikurung”
dalam kamar, hanya berteman al-Qur’an. Pada usia 13 tahun beliau telah hafal 30
juz al-Qur’an. Selanjutnya beliau belajarqira’at sab’ah kepada Kyai Tubagus
Sayuti (murid dari Kyai Muhammad Sholeh Ma’mun, putra dari Kyai Haji Tubagus
Ma’mun, seorang qira’at masyhur pada zamannya). Belakangan, pada masa remajanya
beliau kerap diundang menjadi pembaca al-Qur’an bersama Kyai Tubagus Ma’mun
Kasunyatan dan Tubagus Kuncung Banten (seorang sesepuh di Banten lama). Suara
Kyai Qamaruzzaman yang indah menjadikannya terkenal - dan mereka bertiga
berkeliling ke berbagai kota, dari Padang sampai Brebes.
Selain belajar mengaji sejak kecil, beliau juga
belajar banyak ilmu agama kepada para kyai sepuh: Kyai Tohir di Pelamunan, Kyai
Halimi Pamindangan, Kyai Mahfudz, Tipar, Sukabumi, Ajengan Kholil Ciapus,
Bogor, Kyai Suja’i, Kyai Suhaimi Kampung Sawah, dan sebagainya. Kyai Tubagus
Halimi secara khusus memperhatikan Qamaruzzaman muda, dan sering melarang
santri-santri lainnya bertingkah sembarangan di hadapan Qamaruzzaman muda –
dengan alasan yang sulit dikisahkan di sini. Yang jelas, Kyai Halimi sering
mengeluarkan pernyataan ’khawariq” mengenai kyai Qamaruzzaman. Dalam mendalami
qiroat dan tafsir pun kyai Qamaruzzaman sangat serius: Menurut keterangan,
sebelum mendalami ilmu membaca dan tafsir Qur’an, Kyai Qamaruzzaman menyilet
lidahnya untuk mengeluarkan darah kotor. Beliau juga mampu mengkhatamkan
al-Qur’an dalam waktu semalam.
Salah satu keunikan lain dari cara belajar Kyai
Qamaruzzaman tampak ketika beliau mengaji KitabFathul Mu’in kepada K.H.
Suhaimi. Dengan telaten Abah Qamaruzzaman merekam semua pelajaran dalam kaset
tape. Secara keseluruhan Abah Qamaruzzaman menghabiskan sekitar 600 buah kaset
tape recorder. Selain itu, beliau juga merekam pelajaran Kitab al-Fiyah dari
K.H. Sanja, dan menghabiskan sekitar 40 buah kaset (sebagian dari 640-an kaset
itu sekarang masih tersimpan di almarinya). Proses perekaman berlangsung lebih
dari satu tahun. Harga satu kaset pada saat itu sekitar Rp. 350,-. Santri yang
ada di pesantren pada waktu itu berjumlah sekitar 370 orang. Salah satu pesan
yang kelak sering disampaikan oleh Kyai Qamaruzzaman kepada santri dan
tamu-tamunya adalah agar kita belajar dan berkhidmat kepada guru dengan
totalitas yang paripurna. Terkadang beliau dawuh yang kira-kira artinya seperti
ini: ”Seberapa besar perhatian dan kasih sayangmu pada guru, sebesar itu pula
ilmu dan berkah yang kau dapatkan.” Jalan ruhani Kyai Qamaruzzaman adalah jalan
khidmat dan cinta, yang dilandasi pengetahuan syariah. Seperti dikatakannya:
”Syariat dulu yang betul, nanti hakikat akan menyusul,” atau ”Cinta murid
kepada guru mesti dibuktikan, sebagaimana cinta Wali Allah kepada Allah juga
mesti dibuktikan”, yakni dengan kesabaran menanggung banyak ujian dan cobaan.
Ada kisah menarik tentang ajaran khidmat ini. Saat
belajar kepada Ajengan Kholil Ciapus pada paruh pertama abad 20, suatu saat
Ajengan berkenan berkunjung ke kediaman Kyai Qamaruzzaman di Serang. Saat
hendak pulang, Kyai Qamaruzzaman ingin memberinya oleh-oleh, namun belum sempat
menyiapkan. Maka ditawarkanlah semua ambal (karpet) yang ada di rumahnya kepada
sang ajengan. Namun Ajengan Kholil menunjuk ke mobil milik Kyai Qamaruzzaman.
Maka Abah Qamaruzzaman mempersilahkan Ajengan Kholil untuk memilih sendiri
mobil mana yang hendak dibawa pulang. Saat mondok di tempat Ajengan, Kyai
Qamaruzzaman setiap hari menyisihkan uang sakunya. Pada suatu saat Ajengan
Kholil akan hajatan tetapi tak punya uang. Maka pada saat itulah Abah
Qamaruzzaman menyerahkan semua simpanannya kepada sang guru. Karena khidmatnya
ini, maka Ajengan Kholil (yang merupakan murid dari wali Allah masyhur Mama
Bakri/ Ajengan Plered) mengijazahkan semua ilmunya kepada Kyai Qamaruzzaman.
Sebagaimana lazimnya kyai yang menekuni dunia
tarekat dan tasawuf, Kyai Qamaruzzaman juga menjalankan khalwat, yakni di
daerah Guha, sebuah kawasan hutan di kaki Gunung Karang, Banten, selama dua
tahun. Ada masa-masa ketika beliau mengalami kesulitan secara sosial lantaran
mengalami jadzab atau menampakkan khawariq al-adah. Tentu saja tak semua kisah
karamah ini bisa dikabarkan, karenanya disini terpaksa kami sengaja membatasi
diri untuk tidak banyak mengisahkan sejarah hidupnya yang berkaitan dengan
kisah khawariq al-adah ini. Ada banyak cerita lisan dari saksi yang masih
hidup, namun ada satu yang terkenal:
Kyai Qamaruzzaman terkenal karena saat membaca al-Qur’an,
orang-orang yang mendengarnya sering ”terhipnotis” dan memasuki keadaan, yang
dalam istilah psikologis disebut ”ekstase.” Pernah suatu ketika beliau membaca
ayat-ayat al-Qur’an di masjid, dan akibatnya penduduk yang ada di sekitar
masjid, dan semua orang yang mendengar bacaannya, semuanya keluar rumah dan
duduk diam di pinggir jalan, seperti terbengong-bengong. Ketika menjadi imam
shalat Jum’at di sebuah masjid di Bogor, shalat Jumatnya bubar, lantaran
makmumnya seperti tersirap dan tak membaca al-Fatihah, bahkan sebagian besar
menangis tersedu-sedu. Mungkin berikut ini kisah yang paling berkesan dan tak
terlupakan bagi Abah Qamaruzzaman sendiri. Bertempat di desa Manggu Padarincang
Serang. Abah Qamaruzzaman diundang oleh Kepala Desa Padarincang (Sawiri
namanya, Alm.) untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu putri Lurah
Sawiri. Dia meminta Abah Qamaruzzaman untuk menyumbangkan suaranya dan
membacakan ayat suci al-Qur'an (surat ar-Rahman) sebagai tamu kehormatan. Pesta
itu dihadiri banyak ulama, termasuk KH. Suhaimi Kampung Sawah Padarincang).
Awalnya beliau enggan sebab takut terjadi sesuatu yang mengundang fitnah.
Tetapi tuan rumah bersikeras. Dan setelah Abah Qamaruzzaman membaca, baru tiga
ayat (yakni Surat ar-Rahman), terjadilah apa yang menjadi sebab kekhawatiran.
Para pendengar sudah hiruk pikuk dengan suara tangisan. Lurah Sawiri sendiri
saling berangkulan dengan istrinya, suasana tidak terkontrol. Orang-orang dari
dalam rumah berhamburan keluar menangis bersama hadirin yang ada di luar. Dalam
kegemparan ini terselip kejadian yang lucu – yakni Ibu Junah, seorang pimpinan
juru masak, membawa pasukan dapurnya ikut berhamburan keluar, sementara di
tangannya membawa kayu bakar yang sedang membara tanpa disadarinya. Akhirnya Ki
Suhaimi sendirilah yang menghentikan lantunan suara Abah. Berawal dari
peristiwa tersebut K.H.Suhaimi sebagai ulama ahli Fiqh mengeluaran fatwa unik
khusus untuk Kyai Qamaruzzaman: Mengharamkan Abah untuk menjadi imam dan ma'mum
dalam shalat berjamaah. Sebagai murid, beliau patuh, namun tentu saja masih ada
orang yang nekat mengundang beliau menjadi imam atau membaca Qur’an di suatu
acara. Agar punya alasan kuat untuk menolak mereka, maka Kyai Qamaruzzaman
memutuskan untuk mencabut semua giginya yang masih utuh, sampai ompong,
sehingga bacaannya tak fasih lagi. Selain itu, sebagian ulama ahl-kasyaf
melarang Kyai Qamaruzzaman untuk meludah sembarangan. Pada masa dulu, adalah
lazim seorang kyai memiliki “pangidon,” yakni tempat khusus untuk meludah.
Namun Kyai Qamaruzzaman tak memilikinya, sebab sudah puluhan tahun beliau tidak
pernah lagi meludah.
Sejak tahun paruh pertama 1960-an Kyai Qamaruzzaman
mulai menampakkan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam, dan karenanya sempat
terkena fitnah, yang menyebabkan pihak pemerintah, dalam hal ini jajaran
Muspika, turun tangan menyelesaikannya, karena kegemparannya sudah berpotensi
menimbulkan kekisruhan.
Pada pertengahan 1970-an beliau mendirikan pesantren
Bahrul Ulum di Padarincang. Pada masa-masa awal di pesantren ini Kyai Qamaruzzaman
harus menghadapi banyak gangguan dari beberapa jawara yang tidak senang dengan
kehadiran Kyai Qamaruzzaman. Setelah nama Kyai Qamaruzzaman makin terkenal, dan
santrinya bertambah banyak, gangguan juga bertambah. Karena sering diganggu,
akhirnya Kyai Qamaruzzaman mengundang tokoh jawara yang paling sakti dan
disegani di seluruh Padarincang, dan berhasil menundukkannya. Sejak itu
gangguan tak pernah lagi datang. Sejak 1972 dan seterusnya kehidupan Kyai
Qamaruzzaman relatif tenang. Beliau selalu mengajarkan penekanan pada syariah,
dan kesabaran, dalam perjalanan menuju Tuhan. Sering beliau mewanti-wanti agar
orang tidak mengamalkan suatu wirid sembarangan, karena akibatnya bisa fatal.
Beberapa santrinya pernah merasakan hal ini. Misalnya, santri bernama Ki
Samhudi, pernah”heng” otaknya karena tak kuat lantaran terlalu banyak mewirid
yang aneh-aneh. Tak jarang orang datang membawa suatu ijazah amalan/wirid dan
diserahkan kepada Kyai Qamaruzzaman untuk diverifikasi. Tak jarang beliau
melarang orang yang ingin mengamalkan sesuatu – bahkan pernah ada orang membawa
catatan amalan untuk diverifikasi kepada beliau. Setelah membacanya, beliau
langsung merobek-robek catatan itu karena menurut beliau sangat berbahaya bagi
orang yang bersangkutan lantaran orang itu belum memiliki kesiapan mental,
ruhani dan dasar syariatnya lemah. Beliau selalu menekankan kesabaran dalam
perjalanan di jalan Tuhan. Tak boleh melompat-lompat atau terburu nafsu ingin
cepat makrifat.
Pada 1982 santri-santrinya mulai berkurang. Namun pada
periode ini beliau banyak menjalin persahabatan dengan beberapa kyai masyhur,
termasuk kyai besar Abuya Dimyati Cidahu. Dua kyai ini bersahabat akrab dan
biasa saling memuji – dalam beberapa kesempatan Kyai Qamaruzzaman menyebut
Abuya Dimyati sebagai Qutb. Sebaliknya, almarhum Abuya Dimyati berpesan kepada
santrinya bahwa ada ”mustika” yang terpendam di Padarincang. Sahabat lainnya
adalah Habib Muhammad al-Atthas, yang memberi Kyai Qamaruzzaman julukan ”Syaikh
as-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawarat al-Hukuma.”
Pada tahun ini pula Kyai Qamaruzzaman mulai terkena
sakit mag. Belakangan kegiatan Kyai Qamaruzzaman sehari-hari sudah banyak
berkurang lantaran sudah sepuh dan kesehatan makin menurun. Selain menderita
mag, beliau juga lemah paru-parunya, sehingga tidak bisa berjalan kaki
jauh-jauh. Beliau hanya menerima tamu-tamu yang datang dengan berbagai
keperluan, baik itu keperluan lahiriah maupun batiniah. Sejak awal tahun 2000
kondisi kesehatan Abah Qamaruzzaman semakin lemah, dan sehari-hari lebih banyak
di kamar dan madrasah di sebelah kamarnya. Namun boleh dikatakan hampir lebih
dari 10 tahun beliau sudah tak lagi pernah tidur sebagaimana orang tidur.
Penampilannya kini sangat sederhana. Bajunya sederhana. Tangannya yang putih,
kecil, begitu lembut, selembut kapas, seolah-olah tulangnya juga telah melunak.
Lebih banyak dikamar atau duduk di tempat yang itu-itu saja selama lebih dari
satu dasawarsa, meminum kopi, merokok, dan sesekali mengaji atau memberi
pelajaran. Di tempat itu juga beliau menerima sedikit tamu dengan berbagai
keperluan. Pengajaran santri-santrinya kini lebih banyak dilakukan oleh salah
seorang putranya, Tubagus Habibillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar