Buah
jatuh tak pernah jauh dari pohonnya. Demikian pepatah Melayu yang
menggambarkan adanya kedekatan kepribadian dan kualitas seseorang dengan
nenek moyangnya. Nah, kalau kita melihat garis silsilah KH. Mufid Mas’ud,
pepatah Melayu itu tampaknya tidak salah.
|
KH. Mufid merupakan keturunan ke-14 dari Sunan
Pandanaran. Beliau adalah wali Allah yang menyebarkan Islam di daerah Tembayat,
Klaten, Jawa Tengah, atas perintah Sunan Kalijaga. Karena besarnya jasa beliau
dalam penyebaran Islam, banyak orang yang beranggapan bahwa ziarah ke makam
Wali Songo belum lah sempurna jika tidak menziarahi makam Sunan Pandanaran
(Sunan Bayat).
KH. Mufid berazam untuk melanjutkan syiar Islam
pendahulunya dengan mendirikan sebuah pondok yang kemudian beliau namakan
Pesantren Sunan Pandanaran. Sejak berdirinya hingga sekarang, pondok ini sudah
mencetak banyak alumni yang berkecimpung dalam dakwah islamiyah di berbagai
daerah.
Di antara mereka ada yang menjadi da’i, pimpinan
pondok, guru, pejabat pemerintah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, syiar
Islam di bawah keturunan Sunan Pandanaran tetap berlanjut hingga sekarang dan
masa-masa yang akan datang.
Al-Mukarram KH. Mufid sendiri lahir di Solo, Jawa
Tengah, pada tahun 1928, bertepatan dengan hari Ahad Legi 25 Ramadhan. Beliau
merupakan putra kedua dari tujuh bersaudara. Ayahanda beliau bernama Kiai Ali
Mas’ud yang kini makamnya berada di kompleks makam Golo Paseban Bayat, Klaten.
Melihat garis keturunan KH. Mufid tersebut dapat
dipastikan bahwa beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis. Di samping
mendapatkan bimbingan keagamaan langsung dari orang tua, pendidikan dasar KH
Mufid ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Manbaul ‘Ulum, cabang Solo. Lembaga
pendidikan Islam ini didirikan oleh Paku Buwono X. Dan ketika KH Mufid menempah
pendidikan di sana, madrasah tersebut diasuh oleh KH. Sofwan.
KH. Mufid mengenyam pendidikan dasar di Manbaul
‘Ulum selama lima tahun, yaitu mulai tahun 1937 hingga 1942. Kemudian, pada
tahun 1942 pula, beliau nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tahun itu
bertepatan dengan tujuh bulan setelah kedatangan tentara kolonial Jepang di
Indonesia.
Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1945, beliau
melanjutkan hafalan Al-Qur’an kepada KH. Muntaha di Wonosobo. Langkah ini
beliau tempuh atas anjuran gurunya di Klaten, KH Sofwan. Namun di tahun 1950,
KH Mufid kembali ke Krapyak dan menikah dengan putri KH. Munawir (pengasuh
Pesantren Krapyak), Hj. Jauharoh.
Sejak saat itu, KH Mufid termasuk salah satu
pengasuh Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Meski demikian, beliau
masih tetap mengaji Al-Qur’an kepada KH Abdul Qadir dan KH Abdullah Affandi.
Sedangkan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya, beliau mengaji kitab kepada
KH Ali Maksum.
Keuletan KH Mufid saat mendalami ilmu agama tidak
pernah disangsikan oleh orang-orang terdekatnya. Adik beliau, Hj. Qomariyah
Abdul Chanan misalnya, menyatakan bahwa kakak kandungnya itu sangat rajin
menuntut ilmu. Menurutnya, sampai-sampai beliau pernah dikabarkan hilang saat
terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Tetapi
akhirnya dapat kembali bertemu dengan keluarga.
Agaknya, rajin belajar saja bagi KH Mufid tidaklah
cukup. Ada hal lain yang menurutnya harus dijalankan oleh seorang pencari ilmu
agar mendapatkan ilmu yang berkah, yaitu shuhbatu ustazin atau taat dan bersahabat
karib dengan guru. Hal itu pula yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i,
bahwa ilmu tidak akan bermanfaat kecuali bila seorang murid melakukan enam
perkara. Salah satunya shuhbatu ustazin.
KH Mufid, dalam banyak kesempatan menekankan
pentingnya shuhbatu ustazin itu. Beliau mengaku sering bersilaturahmi dengan
tokoh-tokoh Islam. Bahkan, mengakui pula telah terpengaruh oleh mereka.
Di antaranya adalah KHAbdul Hamid (Pasuruan), Sayyid
Muhammad Ba’abud (Malang), KH Muntaha (Wanosobo), KH Ali Maksum (Yogyakarta),
Syeikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa (Makkah), dan Sayyid Muhammad bin Sayyid
Alwy Al-Hasani Al Maliky Al-Makky (Makkah).
Mendirikan
Pesantren Pandanaran
Dengan modal Al-Qur’an, pengetahuan keislaman, dan
jalinan silaturahmi yang erat dengan tokoh-tokoh Islam itu, KH Mufid
berketetapan hati mendirikan pesantren yang hingga kini dikenal dengan Pondok
Pesantren Sunan Pandananaran (PPSPA).
Mula-mula, pesantren ini berdiri di atas tanah wakaf
seluas 2000 meter persegi, dengan satu rumah dan mushalla di atasnya. Secara
resmi PPSPA berdiri pada 17 Dzulhijjah 1395 H, bertepatan dengan tanggal 20
Desember 1975 M. Peresmiannya dilakukan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII, dengan
disaksikan Bupati Sleman, Drs. Projosuyoto, serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat.
Terdapat harapan besar dari masyarakat yang
dipikulkan di pundak KH Mufid. Pasalnya, PPSPA dinilai akan mampu menjadi agen
perubahan bagi masyarakat sekitar, baik itu perubahan moral ataupun pemantapan
akidah. Masyarakat di kawasan candi ketika itu masih belum banyak yang taat
beragama, meskipun secara formal mereka memeluk Islam. Nah, salah satu tugas
berat KH Mufid adalah mendidik masyarakat agar semakin taat beragama. Itu di
satu sisi.
Di sisi yang lain, keberadaan PPSPA diharapkan
mengubah tatanan masyarakat. Dari masyarakat yang kurang memegang nilai-nilai
moral, menuju masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas kemanusiaan.
Bu Sri, sorang penduduk asli Candi mengatakan, “Dulu
di sini sepi, tidak hanya maling yang banyak, makhluk halus juga banyak”.
Suasana di malam hari terasa mencekam, karena sangat sepi dan minim penerangan.
Keadaan semacam ini yang mendorong para pencuri untuk segera beraksi.
Berdirinya PPSPA, berlahan tapi pasti dapat mengubah
keadaan itu menjadi lebih baik. Masyarakat sekitar tidak hanya menjadi baik
agama dan moralitasnya, tetapi juga meningkat kualitas ekonominya. Karena,
dengan semakin banyaknya santri di PPSPA, masyarakat sekitar ikut menikmati
kegiatan ekonomi dengan mendirikan warung makan, toko kelontong, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar