|
Judul: KH. M. Kholil Bangkalan
Biografi Singkat 1835-1925
Penulis : Muhammad Rifa’i
Editor: Meita Sandra
Penerbit: Garasi Yogyakarta
Cetakan: 2010
Tebal: 148 hlm.
Peresensi: Moh. Riwann Rifa’I, S. Pdi
|
KH Mustafa Bisri (Gus Mus)
menyebutnya, kekeramatan atau karamah yang memancar pada diri Kiai Kholil
Bangkalan bukan datang secara tiba-tiba, namun lahir dari proses penempaan diri
yang sangat panjang. Semenjak remaja, beliau terbiasa menjalani pola hidup yang
sederhana dan memprihatinkan, pahit manis, suka dan duka dalam perjalanan
hidupnya ia pernah jalani. Maka tidak berlebihan jika banyak orang memuji Kiai
Kholil. Zamakhsyari Dhofier dalam penelitiannya tentang jaringan intelektual
Islam Indonesia, Syaikhona Kholil Bangkalan adalah termasuk salah satu tokoh
yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia.
Selain itu,
Syaikhona Kholil termasuk salah satu gurunya para Kiai se Jawa dan Madura bahkan seluruh Indonesia.
Adapan diantara murid-muridnya yang pernah berguru adalah, KH. Hasyim Asy’ari
pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (organisasi terbesar di Indonesia), Kiai Abdul
Wahab Hasbullah (Jombang), Kiai Bisri Syansuri (Jombang), Kiai Abdul Manaf
(Lirboyo-Kediri), Kiai Maksum (Lasem), Kiai Munawir (Krapyak-Yogyakarta), Kiai
Bisri Mustofa (Rembang Jateng), Kiai Nawawi (Sidogiri), Kiai Ahmad Shiddiq
(Jember), Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Abdul Majjid (Bata-Bata
Pamekasan), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Abi Sujak (Astatinggi Kebun
Agung, Sumenep), Kiai Usymuni (Pandian Sumenep), Kiai Muhammad Hasan (Genggong
Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Khozin (Buduran
Sidoarjo). Bahkan Ir. Soekarno Presiden RI pertama, menurut penuturan Kiai
Asa’ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil,
namun ketika sowan ke Bangkalan, Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan
meniup ubun-ubunya (hal.51-53).
Dalam
mendidik santri-santrinya, Kiai Kholil sangatlah luar biasa dalam mengemban
sebuah amanah dan tanggung jawab sebagai seorang guru. Dari beberapa santri di
atas, mayoritas semua menjadi tokoh publik dan bisa dipertanggung jawabkan
intergritas keilmuannya sebagai seorang santri. Juga mayoritas santri Kiai
Kholil menjadi orang yang sukses,
menjadi seorang Kiai, dan pengasuh pesantren. Dalam mendidik santrinya, Kiai
Kholil yang terkenal menekankan sikap zuhud dan ikhlas dalam menuntut ilmu,
beliau juga memiliki metode tersendiri dalam menggembleng para santrinya.
Sebagai seorang pendidik, beliau tidak mau hanya mengajar biasa saja, yaitu
membacakan kitab kuning, menyuruh santri mendengarkan dan menulis pelajaran,
kemudian mempelajarinya, ataupun menghafalnya.
Pengabdian
dan perjuangan Kiai Kholil sangatlah luar biasa, beliau salah satu Kiai yang
ikut membantu membidani berdirinya Jam’iyah Nadlatul Ulama (NU). Walaupun Kiai
Kholil tidak pernah masuk dalam struktural NU, tetapi semua tokoh NU mengetahui
terhadap sumbangsih Kiai Kholil atas berdirinya organisasi terbesar di
Indonesia (NU). Jadi posisi Kiai Kholil dalam sejarah proses berdirinya
Nahdlatul Ulama adalah inspirator. Karena latar belakang sejarah berdirinya NU
tidaklah mudah. Untuk mendirikannya, para ulama meminta izin terlebih dahulu
kepada Allah SWT. Adapun permohonan pertama diprakarsai oleh Kiai Hasyim
Asy’ari yakni melalui salat istikharah. Namun petunjuk itu tidak langsung
melalui Mbah Hasyim, melainkan melalui Kiai Kholil Bangkalan.
Buku
biografi singkat Kiai Kholil Bangkalan ini, juga menjelaskan beberapa
karamah-karamah yang beliau miliki. Di antara karamah yang beliau miliki, ke
Makkah Naik Kerocok (sejenis daun aren yang dapat mengapung di atas air). Suatu
sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Kiai Kholil ditemani oleh Kiai Syamsul
Arifin ayahanda dari Kiai As’ad Situbondo. Bersama sahabatnya itu, mereka
berbincang-bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di
daerah pulau Jawa dan Madura. Persoalan demi persoalan dibicarakan, tak terasa,
saking asyik dan enaknya berdiskusi, matahari hampir terbenam. Padahal Kiai
Kholil dan Kiai Syamsul Arifin belum melaksanakan kewajiban shalat asar,
sementara waktunya hampir habis. Kata Kiai Kholil, tidak mungkin kita
melaksanakan shalat asar dengan sempurna dan khusyuk. Akhirnya Kiai Kholil
memerintah Kiai Syamsul Arifin untuk mengambil “kerocok”, untuk kita pakai
perjalanan ke Makkah. Setelah mendapatkan kerocok, lantas Kiai Kholil menatap
ke arah Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya berjalan dengan cepatnya
menuju ke arah Makkah. Sesampainya di Makkah, adzan shalat asar baru saja
dukumandangkan. Setelah mengambil wudlu, Kiai Kholil dan Kiai Syamsul Arifin
segera menuju shaf pertama untuk melaksanakan shalat asar berjamaah di Masjidil
Haram (hal.105).
Dalam buku
ini, juga dijelaskan tentang pemikiran kerakyatan Kiai Kholil. Sebagai seorang
Kiai dan seorang pemimpin yang dihormati di daerah Bangkalan, Madura bahkan di
Jawa, Kiai Kholil menampilkan diri sebagai sosok pemimpin yang memikirkan
rakyatnya. Oleh karena itu, beliau tidak menjadi seorang pemimpin dan tidak
menjadi seorang intelektual yang hanya berada dalam pesantrennya saja. Beliau
terjun langsung untuk mengetahui seperti apa keberadaan rakyatnya dan sedang
menghadapi kesulitan seperti apa masyarakatnya. Sosok Kiai Kholil inilah,
justru mampu menampilkan sebagai pemimpin yang merakyat, dan mengayomi semua
kalangan.
Sejarah
biografi Syaikhona Kholil Bangkalan telah banyak orang yang menulisnya, seperti
yang ditulis Oleh KH. A. Aziz Masyhuri (99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara),
Muhammad Hasyim (Khazanah Khatulistiwa, Potret Kehidupan dan Pemikiran
Kiai-Kiai Nusantara). Dan penulis buku ini, kebanyakan data-datanya mengambil dari
buku-buku yang telah terbit sebelumnya. Namun buku ini tetaplah menarik untuk
dibaca oleh semua kalangan khususnya para santri pondok pesantren. Dengan
harapan bisa mentauladani dan mengambil hikmah apa yang pernah dilakukan,
diperjuangkan oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar