|
Kyai
Syamsuri, seorang tokoh yang cukup berjasa dalam syiar Islam, ia adalah
pendiri Pondok Pesantren Sirojuth-Tholibin Desa Brabo, Tanggung Harjo,
Grobogan, Jawa Tengah.
Kyai
Syamsuri yang dilahirkan Di Tlogogedong Demak Jawa Tengah 21 April 1906
adalah putra seorang pemuka agama dan oleh masyarakat dipercaya menjadi imam
di sebuah mushala di desa Tlogogedong Demak, namanya KH. Dahlan bin Nolo
Khoiron, kakeknya adalah seorang yang sempat diamanahi sebagai lurah Sambak
Wonosekar Demak Jawa Tengah.
|
Kelana
Pendidikan
Sebagaimana putra seorang pemuka agama, Syamsuri
muda sudah diajari pengetahuan keagamaan dasar dengan cukup lengkap, baik dalam
hal ibadah, akidah, fikih, juga al-Qur’an. Baginya, guru yang pertama adalah
KH. Dahlan, ayahnya sendiri. Selanjutnya, Syamsuri muda belajar kepada KH.
Abdur Rohman Tlogogedong Demak Jawa Tengah.
Saat nyantri kepada KH. Abdurrohman itulah, Kyai
Syamsuri pernah mendapat wejangan, “Seng sregep ngajine, sisok tak pek mantu”
(Kamu rajin mengaji ya…, besok saya jadikan menantu). Ternyata, Kyai Syamsuri
justru menjadi menantu dari menantu KH. Abdurrohman, karena Kyai Sarqowi adalah
menantu KH. Abdurrohman.
berbekal keyakinan dan semangat yang tinggi,
Syamsuri muda memulai pengembaraan menuntut ilmu. Mulanya, ia berguru kepada
Kyai Irsyad Gablog. ia juga pernah pula nyantri di Mangkang, juaga di Tebu
Ireng di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Kyai Syamsuri muda pernah belajar fan
hadits (Shohih Bukhori dan Shohih Muslim) kepada Kyai Hasan Asy’ari di Poncol
Bringin Salatiga.Tempat lain yang pernah disinggahi Kyai Syamsuri untuk belajar
adalah Pesantren Tegalsari, Bringin Salatiga di bawah asuhan Kyai Tholhah. pada
beberapa tempat ini, tak banya informasi yang terungkap, termasuk berapa lama
Kyai Syamsuri belajar ditempat tersebut.
Yang jamak diketahui publik bahwa Kyai Syamsuri
belajar kepada Kyai Syarqowi Tanggung Tanggungharjo Grobogan Jawa Tengah selama
tiga tahun, sebelum akhirnya diambil menantu oleh Kyai Syarqowi. Hal ini karena
Kyai Syarqowi melihat kekhususan yang muncul dalam pribadi Kyai Syamsuri.
Memang, Kyai Syamsuri kurang begitu dikenal publik.
Hal ini karena ia seorang pendiam. Kyai Syamsuri tidak terlibat dalam pelbagai
organisasi sosial kemasyarakatan kala itu. Tetapi, bukan berarti Kyai Syamsuri
tidak memiliki hubungan dekat dengan ulama masyhur saat itu.
Di antara ulama yang seangkatan dengan Kyai Syamsuri
adalah KH. Muslih Mranggen Demak. Bahkan, Kyai Syamsuri dan KH. Muslih
sama-sama alumni Pondok Tanggung, di bawah asuhan Kyai Sarqowi.
bahkan ada sebuah kisah menarik diantara keduanya,
KH Muslih Mranggen pernah meminjam kitab Shohih Bukhori kepada Kyai Syamsuri.
Lalu, Kyai Syamsuri meminjamkan kitab tersebut dengan mengutus muridnya Shobari
untuk membawanya ke Mranggen. Konon Shobari membawa kitab tadi dengan dipikul
memakai kayu.
Tokoh lain yang seangkatan adalah KH. Arwani Kudus
(hubungan dalam thoriqoh), KH. Shodaqoh (ayah KH. Haris Shodaqoh, pengasuh PP
Al Itqon Gugen Semarang), KH. Nawawi Bringin Slatiga, dan KH. Ihsan Brumbung
Mranggen Demak.
Dalam hal tarekat, Kyai Syamsuri mengambil sanad
kepada Kyai Sarqowi, tepatnya tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah. namun ia tidak
diangkat menjadi mursyid, meski kadang ditunjuk sebagai badal (guru pengganti).
Hal ini karena Kyai Syamsuri diarahkan untuk lebih berkonsentrasi pada
pendidikan santri di pesantren.
Kyai Syamsuri tergolong orang yang kurang mampu. Hal
itu tercermin dari sebuah cerita saat Kyai Syamsuri berangkat ke Pesantren
Tanggung. Saat itu, hanya sedikit bekal yang menyertainya. Sehingga, Kyai
Syamsuri muda berangkat ke pesantren lewat ladang pada malam hari agar tidak
diketahui masyarakat di sekitar jalan. Ia khawatir akan dihina oleh masyarakat
yang melihat betapa sedikit bekal yang ia bawa.
Mendirikan
Pesantren
Kehadiran Kyai Syamsuri di Brabo bermula dari
permintaan Mbah Idris dan Mbah Hasan Hudori, tokoh agama Brabo. Keduanya
meminta kepada Kyai Sarqowi agar “menanamkan” santrinya di desa Brabo.
Dengan bermodal ketaatan kepada guru dan doa restu
Kyai Sarqowi, mulailah Kyai Syamsuri berjuang menegakkan agama Islam di tanah
Brabo.
Metode da’wah Kyai Syamsuri yaitu mendekati
masyarakat dengan cara yang halus, bahkan berkunjung ke rumah mereka. Karena
sifat sabar dan keuletannya, Kyai Syamsuri berhasil merebut hati dan simpati
masyarakat Brabo. Sehingga, banyak masyarakat Brabo mulai luluh hatinya.
Berbekal ilmu dari pesantren K. Syamsuri mulai
menggelar pengajian kecil-kacilan (bandongan) untuk kerabat, tetangga dan
akhirnya sampai kemana-mana
Melihat makin bertambahnya santri yang mengaji maka
masyarakat didaerah itu mengusulkan untuk mendirikan Pondok Pesantren sebagai
tempat pembelajaran dan kamar untuk menginap santri-santri.
Pada 1941, berdirilah Pondok Pesantren Sirojuth
Tholibin. yang bermakna lentera penerang bagi mereka yang menuntut ilmu. Nama
ini dimaksudkan agar para santri yang menuntut ilmu benar-benar memperoleh ilmu
yang bermanfaat, yang bisa menerangi jalan kehidupan. Selain itu, nama ini
sebagai bentuk tabarukan (ngalap berkah) kepada ulama, terutama Syaikh Muhammad
Ihsan Jampes Kediri (penulis kitab Sirojuth Tholibin), nama kitab yang
diabadikan sebagai nama pesantren.
Kitab Sirâjuth Thâlibîn karya Syaikh Muhammad Ihsan
Jampes tersebut merupakan syarah (penjelasan) atas kitab Minhâjul ‘Âbidîn karya
Imam Ghozali.
Ulama’ yang egaliter, Zuhud, Wira’i dan Tawadhu’
Kyai Syamsuri adalah pribadi yang tawadhu’ dan
wira’i. Bahkan, sifat itu sudah terlihat saat masih nyantri di pesantren Poncol
Bringin Salatiga, saat itu Kyai Syamsuri diajak menonton bioskop oleh temannya.
Tetapi, beliau justru tidak menonton film yang berlangsung. Beliau hanya
menundukkan kepala dan membaca istighfar.
Di sisi lain, Kyai Syamsuri adalah pribadi yang
rajin dan teliti. Ia selalu membiasakan memberi makna gandul
(jrendel/utawi-iku) pada kitab kuning yang kosong, bahkan semua kitab yang
disodorkan oleh gurunya akan ia beri makna gandul. Kebiasaan ini tetap terbawa
sampai Kyai Syamsuri berumah tangga. Sebulan sekali, ia akan menjemur kitabnya
di halaman rumah agar tidak dimakan serangga.
Kyai Syamsuri tidak pernah malu bertanya kepada
siapa pun yang lebih paham ketika mengalami kesulitan memahami sebuah ta’bir
(wacana), dengan bahasa yang santun dan tawadhu’, “Kang, maksude ta’bire
sangkeng lafadz niki pripun? Tiyang pondok boten saget sedoyo” (Kang, bagaimana
penjelasan wacana ini? Orang-orang pondok tidak ada yang paham). Ungkapan ini
tidak menunjukkan kebodohannya. Sebaliknya, hal itu merupakan ekspresi
kecerdasan dan ketekunan Kyai Syamsuri dalam belajar.
Kyai Syamsuri sangat wira’i (teliti), egaliter, dan
terbuka. Kyai Syamsuri tidak pernah mengambil sikap berhadap-hadapan atau
memosisikan tokoh lain sebagai pesaing. hal itu tampak dari penuturan muridnya,
bahwa sesaat setelah muridnya tadi pulang dari Pesantren Al Qur’an, Kyai
Syamsuri memerintahkan seluruh santrinya untuk mengaji al-Qur’an kepadanya
setiap setelah subuh. Kyai Syamsuri pasti menengok kamar santri dan menanyakan
apakah mereka sudah mengaji Al Quran atau belum.
Pribadi
Penyabar
Pada waktu itu malam hari. Zaman dahulu memang belum
ada listrik, maka keadaan gelap gulita. Ada seorang santri yang sedang
jalan-jalan malam, berkeliling untuk ronda. Sesampainya di sumur pondok, ia
melihat sesosok orang yang tidak jelas maka ia bertanya sembari membentak,
“Siapa itu?!..”. Sebaliknya, dengan nada yang halus dan tanpa marah, ada
jawaban, “Aku Syamsuri” ternyata seorang tadi adalah Kyai Syamsuri.
dilain waktu, Ada seorang santri yang mengambil
kelapa pada malam hari. Si santri tadi berkeyakinan bahwa pada malam hari Kyai
Syamsuri tidak akan mengetahuinya. Tetapi ternyata setelah santri tadi sudah ada
di atas, Kyai Syamsuri sudah ada di bawah dan menegurnya, “Ati-ati, Kang”
Hati-hati, Mas.
Paginya santri tadi dipanggil untuk ke kediaman Kyai
Syamsuri. Ada perasaan takut pada diri santri tersebut. Tetapi, apa yang
dikatakan Kyai Syamsuri setelah santri tadi di ndalem? “Kang, sarapan dahulu.
Setelah itu, kelapa di belakang tolong dipecah dan dibuang kulitnya.” tanpa
marah ataupun jengkel pada tingkah santri yang mencuri kelapa pada malam hari.
Suatu ketika Kyai Syamsuri kehilangan ayam. Ia
mengetahui siapa pencurinya. Ia tidak menangkapnya, tapi justru mengikutinya.
Kemudian, setelah ayam itu dijual kepada orang lain, Kyai Syamsuri segera
membeli ayam tadi.
Di sisi lain, setiap ada tamu, baik santri alumni
atau orang lain, Kyai Syamsuri tidak pernah menanyakan sesuatu yang berhubungan
dengan materi-dunia, melainkan hanya bertanya tentang kesehatan, “Bagaimana
kabarnya?” “Sekarang mondok di mana?” dari cerita tadi kita mengetahui betapa
zuhudnya Kyai Syamsuri. Bahkan kepada tamunya pun ia tidak akan menanyakan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian.
Kitab
Yang Berputar
Ada satu kisah yang menarik. Dulu (tahun 1960).,
lantai masjid Al-Muhajirin (masjid tempat ibadah santri dan masyarakat sekitar)
yang terbuat dari susunan lembaran papan sempat rusak. Kyai Syamsuri bermaksud
memperbaikinya dengan membeli kayu milik Masjid Desa Jragung Demak lama.
Tetapi, dana yang terkumpul masih kurang, meski masyarakat Brabo sudah
memberikan jariyah.
Akhirnya, Kyai Syamsuri menjual kitab Syarah Bukhori
setebal 12 jilid besar kepada Bpk. Anwar (Toha Putera) Semarang kala itu dan
saat menjual kitab tadi, Kyai Syamsuri bermaksud bahwa suatu saat, ia akan
membeli kitab tersebut kembali.
Beberapa waktu kemudian, Kyai Hamid Kajoran Magelang
berkunjung ke kediaman Bpk. Anwar. Kyai Hamid melihat setumpuk kitab yang
teronggok. Menariknya, kitab tersebut sudah diberi makna dengan rapi dan bagus.
Maka, Kyai Hamid pun meminta kitab tadi dari Bpk Anwar. Karena yang meminta
Kyai Hamid, maka kitab tadi diberikan secara cuma-cuma.
Beberapa waktu kemudian, setelah pulang dari Makkah,
KH. A. Baidhowi (putra ke-4 Kyai Syamsuri) sowan kepada Kyai Hamid Kajoran.
Kyai Hamid berkata, “Gus Dhowi, aku punya kitab. Tetapi, karena aku tidak bisa
mengaji, maka kitab itu akan saya hadiahkan kepada sampeyan.”
Kyai Hamid meminta KH. Baidhowi agar menginap di
kamarnya. KH. Hamid mempersilakan agar KH. Baidhowi tidur di kamar atas, sedang
KH. Hamid tidur di kamar bawah. Sampai larut malam, KH. Baidhowi tidak bisa
tidur, karena rikuh (malu).
Paginya, KH. Hamid menghadiahkan kitab yang
dijanjikan kepada KH. Baidhowi dengan syarat ia harus menyanggupi maharnya. KH.
Baidhowi menyanggupi mahar tadi setelah berpikir agak lama. KH Hamid
menyebutkan, “Mahar yang pertama, doakanlah semua anak keturunanku suka dengan
tamu.”
Mahar tambahan yang diminta KH. Hamid, yakni: “Mahar
kedua, doakan semua anak cucuku bisa haji”. Sedang, “Mahar ketiga, doakan anak
cucuku suka mengaji.”
KH. Baidhowi berdoa dengan diamini KH. Hamid.
Kemudian, KH. Hamid memerintahkan putranya, KH. Baqoh Arifin untuk mengantarkan
KH. Baidhowi. Dalam perjalanan, kitab tersebut sempat terjatuh. Sesampainya di
Brabo, kitab tersebut diberikan kepada Kyai Syamsuri. Setelah dibuka, ternyata
kitab itu adalah kitab yang dulu dijual kepada Bpk Anwar, Kyai Syamsuri memeluk
erat kitab tadi. Ia menangis.
Kyai Syamsuri berpulang ke rahmatullah tepat ba’da
Magrib malam Rabo, 23 Shofar (4 Oktober 1988).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar