Sejak
kemunculannya, Nahdlatul Ulama telah dan terus mengukuhkan dirinya sebagai
organisasi Islam di Indonesia yang harus dipertimbangkan. Dari zaman ke zaman,
organisasi yang memayungi kaum Ahlussunanah wal Jama’ah (di samping beberapa
organisasi lain yang sealiran) ini banyak melahirkan dan memunculkan
tokoh-tokoh besar yang tidak hanya menjadi tokoh kaum muslimin Indonesia,
melainkan juga tokoh bangsa secara keseluruhan.
Di
antara tokoh yang dibesarkan oleh NU dan juga mengabdikan dirinya untuk NU
sejak muda hingga kini adalah K.H. Dr. Hasyim Muzadi. Perjalanan
pengabdiannya di NU adalah perjalanan cukup panjang, mulai dari menjadi ketua
ranting NU di Bululwang, Malang, hingga mendapatkan amanah sebagai ketua umum
PBNU selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-2011.
|
Berhenti mengemban amanah sebagai ketua umum PBNU
tidak membuatnya kehilangan kesibukan, bahkan kesibukannya terus bertambah.
Selain mengelola Pesantren Al-Hikam, yang didirikannya di bilangan Depok, Jawa
Barat, ia pun tetap aktif dalam berbagai kegiatan di dalam dan luar negeri.
Undangan-undangan untuk bicara dalam pelbagai acara pun tetap terus
berdatangan, termasuk ceramah-ceramah keagamaan yang memang telah menjadi
aktivitasnya sejak muda.
Adik kandung salah seorang tokoh sepuh NU K.H.
Muhith Muzadi ini lahir di Tuban, 8 Agustus 1944. Tercatat dua kali ia menjabat
ketua umum PBNU, yaitu periode 1999-2004 dan 2004-2009. Ia juga pengasuh Pondok
Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur.
Kiai Hasyim, begitu ia akrab disapa, menempuh jalur
pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950, dan
menuntaskan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri IAIN Malang,
Jawa Timur, pada tahun 1969. Selama puluhan tahun pengabdiannya, sebagian besar
ia berada di wilayah Jawa Timur. Berbagai aktivitas organisasinya pun ia lalui
di daerah basis NU terbesar ini.
Kiai Hasyim pernah menjadi ketua Pengurus Wilayah
Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Jawa Timur periode 1983-1987. Pada periode
hampir bersamaan, ia menjadi ketua PP GP Anshor tahun 1985-1987. Jauh
sebelumnya, tahun 1966 ia pernah memimpin Cabang PMII Malang. Hal inilah yang
menjadi modal struktural kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.
Dalam periode yang panjang, ia menekuni aktivitas di
NU secara berjenjang, sehingga memberikan pengalaman yang banyak dan berharga
baginya. Ia memulainya dari ketua ranting NU Bululawang, Malang.
Kiprah di NU mulai dikenal luas ketika pada tahun 1992
ia terpilih menjadi ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, yang kemudian menjadi
tangga baginya untuk menjadi ketua PBNU pada tahun 1999.
Sebagai organisasi keagamaan yang memiliki massa
besar, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis
dukungan. Hasyim pun tak mengelak dari kenyataan tersebut. Ia pernah menjadi
anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih
bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan.
Namun, jabatan sebagai ketua umum PBNU-lah yang
membuat Hasyim sering menjadi pembicaraan publik dan banyak diundang ke
berbagai wilayah. Saat telah menjadi pucuk pimpinan NU, wilayah aktivitas
alumnus Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur,
namun telah menasional.
Basis struktural yang kuat itu masih pula ditopang
oleh modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki Pesantren Al-Hikam,
Malang, yang memiliki santri yang tidak sedikit dan memiliki kemampuan
intelektual yang tidak bisa diremehkan, karena mereka juga para mahasiswa.
Selain sebagai ulama, Kiai Hasyim juga dikenal
sebagai sosok nasionalis, demokrat, yang sangat toleran. Ketika terjadi
Peristiwa 11 September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat,
kiai yang dikaruniai enam orang putra ini tampil dengan memberikan penjelasan
kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang
moderat, kultural, dan tidak memiliki kaitan dengan organisasi kekerasan
internasional. Ia memang salah satu dari sekian tokoh umat di Indonesia yang
dijadikan referensi oleh dunia Barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam
di Indonesia.
Kiai Hasyim terjun dalam kegiatan politik praktis
sejak Orde Baru masih berkuasa. Dalam perjalanan karier politiknya, ia pernah
membuat langkah yang agak mengejutkan, utamanya bagi kalangan nahdliyin. Yaitu,
menerima lamaran PDI Perjuangan untuk menjadi cawapres sebagai pendamping
Megawati. ”Saya ingin menyatukan kaum nasionalis dan agama,” ujarnya ketika
berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Megawati-Hasyim Muzadi di
tahun 2004 itu.
Saat itu tak sedikit yang mencibir dan menyayangkan
langkahnya terjun ke politik praktis, termasuk pewaris darah biru kaum
nahdliyin, Gus Dur.
Terlepas dari hasil yang dicapainya kemudian,
langkahnya maju sebagai cawapres tentu memberikan pengalaman yang tidak sedikit
baginya dan tentu semakin mematangkan pribadinya.
Pengalaman organisasinya segudang. Ia pernah aktif
di PII (Pelajar Islam Indonesia) tahun 1960-1964, kemudian menjadi ketua
ranting NU Bululawang-Malang, lalu dipercaya sebagai ketua Anak Cabang GP Ansor
Bululawang-Malang 1965. Ia pun pernah menjadi ketua Cabang PMII Malang 1966,
lalu ketua KAMI Malang 1966, ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971, wakil
ketua PCNU Malang 1971-1973, ketua DPC PPP Malang 1973-1977, ketua PCNU Malang
1973-1977, ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987, ketua PP GP Ansor 1985-1987,
sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988, wakil ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992,
ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999, dan mencapai puncaknya ketika menjabat ketua
umum PBNU periode 1999-2004 dan periode 2004-2009.
Di kancah politik, ia juga pernah menjadi anggota
DPRD Tingkat II Malang, Jawa Timur, dan kemudian menjadi anggota DPRD Tingkat I
Jawa Timur 1986-1987
Sedangkan pendidikannya dimulai dari Madrasah lbtidaiyah
Tuban, Jawa Timur, 1950-1953, kemudian SD Tuban, Jawa Timur, 1954-1955,
dilanjutkan ke SMPN I Tuban, Jawa Timur, 1955-1956. Setelah itu perjalanan
keilmuannya membawanya ke Pesantren Gontor, Ponorogo, dan menimba ilmu di sana
dalam kurun waktu 1956 sampai 1962.
Tak puas hanya belajar di Gontor, ia pun sempat
belajar di pesantren-pesantren salaf, yakni di Pesantren Senori (Jawa Timur)
dan kemudian Pesantren Lasem (Jawa Tengah) meskipun tidak lama. Tahun 1964 ia
mengikuti kuliah di IAIN Malang hingga selesai tahun 1969.
Dalam musim haji tahun ini, ia dipercaya sebagai
wakil amirul hajj Indonesia mendampingi Menteri Agama Suryadharma Ali, yang
menjadi amirul hajj. Saat wukuf di Arafah, Kiai Hasyim Muzadi-lah yang
menyampaikan khutbah wukuf. Banyak yang menilai, apa yang disampaikannya sangat
bagus dan berbobot. Demikianlah memang adanya.
Sejak jauh sebelum menjadi ketua PBNU sampai ketika
menjabatnya dan hingga kini setelah tidak lagi menjadi ketua PBNU, Kiai Hasyim
juga terus mengikuti dan mencermati perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bahkan secara aktif melakukan langkah-langkah nyata untuk ikut
berperan membenahi persoalan-persoalan umat dan bangsa. Misalnya saja dalam
kaitan aksi-aksi terorisme dan radikalisme.
Kiai Hasyim, yang kini masih menjabat sekretaris
jenderal International Conference of Islamic Scholar (ICIS), mengatakan,
penanggulangan aksi terorisme dan radikalisme tidak bisa hanya dilakukan satu
institusi, tetapi harus bersama-sama, melibatkan berbagai unsur. “Aksi terorisme
dan gerakan radikalisme sudah menjadi ancaman bagi masyarakat. Untuk itu
penanganannya harus dilakukan bersama-sama,” katanya di sela-sela acara
Training of Trainers Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Indonesia di
Pesantren Al-Hikam, Depok, Jawa Barat, Minggu 16 Oktober 2011.
Ia juga menegaskan, Islam moderat yang tetap
mengadopsi kearifan lokal perlu terus dikembangkan, karena, berdasarkan
pengalamannya, konsep Islam moderat yang sering disampaikannya dalam berbagai
forum internasional mendapatkan sambutan yang cukup baik.
“Di Indonesia penerapan hidup berdampingan dan
toleransi antar-sesama berjalan dengan baik, dan itu diakui dunia, namun kita
belum sepenuhnya menggali dan menerapkan kemampuan itu,” ujarnya.
Untuk itu, katanya, Islam moderat yang menekankan
Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta) adalah yang harus
diterapkan, sehingga sudah saatnya warga NU memperkuatnya dengan mengumpulkan
khazanah pemikiran untuk didokumentasikan dengan baik sebagai bahan dakwah.
Selain itu, katanya, juga perlu adanya perbaikan
berbagai sistem di Indonesia. Ia mencontohkan, UU yang berlaku saat ini membuat
pihak eksekutif mengalami keterbatasan dalam menjalankan fungsinya dan
terperangkap dalam jebakan sistem. “Ini menyebabkan pemimpinnya ragu
menjalankan kebijakan, karena dibatasi oleh sistem yang ada,” ujarnya.
Polisi, ia melanjutkan, juga baru bisa menangkap
pelaku teroris kalau sudah melakukan pengeboman dan teror, karena mereka bisa
dianggap melakukan pelanggaran HAM jika tidak ada bukti.
Karena beberapa pelaku teroris ada yang pernah
belajar di pesantren, selama ini terorisme sering dikaitkan dengan pesantren.
Meskipun demikian, ia sangat mewanti-wanti, jangan sampai langkah-langkah yang
dilakukan untuk mengatasi masalah itu merugikan pesantren. Apalagi dijadikan
alat untuk membatasi ruang gerak pesantren. Harus tepat sasaran dan harus dapat
membedakan mana pesantren yang terkait dengan gerakan-gerakan itu dan mana yang
bukan. Itu harapan yang sangat ditekankannya. Bahkan faktanya, tidak satu pun
teroris itu berasal dari pesantren NU, atau yang sealiran.
Ia juga mengatakan bahwa mereka yang termasuk dalam
kelompok garis keras itu harus dirangkul dan disadarkan, bukan dimusuhi dan
dibasmi. Yang harus dimusuhi dan dibasmi adalah tindakannya dan pemikirannya,
bukan orangnya. Kecuali mereka yang telah melakukan teror dan tindakan-tindakan
kriminal. Tentu harus ditangkap dan diproses secara hukum.
Lebih lanjut ia mengatakan, sejak awal NU tetap
konsisten menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara, karena substansi
Pancasila juga merupakan bagian dari kaidah ushuliyah.
“Perjuangan merebut kemerdekaan merupakan hasil
jerih payah semua pejuang warga Indonesia, tanpa pandang bulu,” katanya.
Di sisi lain, ia juga mengingatkan bahwa liberalisasi
agama perlu mendapatkan perhatian serius karena dapat mengakibatkan dampak
buruk dalam kehidupan keagamaan. “Liberalisasi agama memiliki dampak yang
bahaya bagi aqidah Islam, terutama di kalangan kaum muda,” kata Kiai Hasyim
dalam acara tersebut. Dalam konteks inilah, kita, umat Islam, seharusnya tidak
memberikan ruang bagi mereka untuk mengembangkan pemikirannya yang merusak
prinsip-prinsip aqidah. Namun, kita juga tidak boleh terjebak pada tindakan
yang anarkis.
Ia mengatakan, liberalisasi agama telah menjadikan
obyek sasarannya pada dua ormas besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Secara
makro, liberalisasi agama adalah bagian dari liberalisasi secara umum.
Hasyim Muzadi menilai, Indonesia saat ini dipojokkan
dan diganggu, dari dalam maupun luar.
Dikatakannya, demokrasi yang sudah berjalan saat ini
mendapatkan ujian. Ibarat perahu, kita ini diombang-ambing di tengah laut
lepas, dibiarkan tanpa ada penunjuk arah.
Ia mengatakan, untuk mengatasi ujian itu salah
satunya adalah melalui Islam yang moderat, yaitu antara liberal dan radikal.
Dengan kata lain, NU, yang terkenal moderat, bisa menjadi jalan tengah di
antara dua gerakan tersebut.
Dikatakannya, hal itu bisa dilakukan dengan cara
mengumpulkan khazanah pemikiran Walisanga dan ulama untuk didokumentasikan
secara baik.
Di tengah-tengah kesibukannya, beberapa buku
berbobot telah lahir lewat goresan penanya. Di antaranya Membangun NU Pasca Gus
Dur (Grasindo, Jakarta, 1999), NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Logos,
Jakarta, 1999), dan Menyembuhkan Luka NU (Logos, Jakarta, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar