Kediri,
suatu kawasan di wilayah Propinsi Jawa Timur,telah lama dikenal sebagai salah
satu
tempat penggemblengan dan penggodogan, kawah candradimuka, pencetak
kader-kader
handal dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal ini tidak terlepas dari
banyaknya
Pesantren yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota maupun
Kabupaten,
di kota, dan terlebih lagi di kawasan pedesaannya. Sebutlah di antaranya
Pesantren
Hidayatul Mubtadi-ien, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren
Lirboyo,
Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes dan lain sebagainya.
|
Pesantren-Pesantren
tersebut umumnya memiliki kekhususan (dalam hal pengajaran
dan
pengamalan) dalam bidang-bidang tertentu, walaupun akhirnya sama-sama
bermuara
pada pendalaman Ilmu-ilmu Agama Islam.
Sementara
itu, di sebelah barat alun-alun kota Kediri, setelah menyeberangi Kali Brantas,
terdapat
suatu kawasan yang kental dengan nuansa Islami.Kawasan itu dikenal dengan
nama
Bandarkidul. Di wilayah Bandarkidul ini,terdapat sediitnya lima Pesanrtren yang
berafiliasi
pada RMI (Rabithatul Ma’ahid Al-Islamiyyah), suatu organisasi/Asosiasi
Perhimpunan
Pesantren di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama). Salah satu diantara
lima
Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma’unah Sari.
Sesuai
dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu
Lembaga
Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib),
disamping
juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak menghafal).
Pesantren
ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan
generasi-generasi
penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any.
Atau
dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma’nan wa ‘amalan.
Sanad
/ Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari
berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun 1967
oleh
KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa itu.
Pada
awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang Tashawwuf,
terutama
peng-’Istiqomah’-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini berjalan kurang
lebih
selama
lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putera.
Barulah,
pada tahun 1973, setelah beliau menikah, Pesantren ini menerima santri puteri.
Dan
mulai pada tahun itu pula, Pesantren ini mulai membuka Program Pengajian
Al-qur-an
Bil-Ghoib
(hafalan). Hal ini adalah karena isteri beliau,ibu Nyai Hj.Zuhriyyah adalah
merupakan
seorang
Hafidhah(penghafal) Al-Qur-an.Lebih dari itu, beliau juga merupakan puteri dari
Ulama
terkenal, KH.Munawwir Krapyak Jogjakarta,yang selain seorang Hafidh, juga
termasyhur
sebagai
Perintis Pesantren Tahfidh al-Qur-an di Indonesia, seorang kampiun dalam bidang
Ilmu-Ilmu
Al-Qur-an dan seorang ahli Qira-ah Sab’ah.
Seiring
dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma’unah Sari pun terus berkembang,
baik
dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan yang
semakin
representatif.Namun begitu,khusus untuk Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib, masih
terbatas
pada
kalangan Santri Puteri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.
Pada
tahun 1989,muassis (pendiri) Pesantren, KH. M. Mubasyir Mundzir wafat.
Dengan
iringan tangis pilu para santri dan khalayak masyarakat yang merasa sangat
kehilangan,
beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma’unah Sari.
Sebelum
wafat, karena beliau tidak dikaruniai putera, beliau telah memberikan wasiat
yang
berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat
beliau,
yang
disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan kepada
K.
R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid.
Beliau adalah
putera
dari KHR.Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah.
Dengan
kata lain, K. R.Abdul Hamid adalah keponakan Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah Mundzir.
Dan
dengan demikian,tercapailah cita-cita dari Pendiri,yang menginginkan Pesantren
yang
didirikannya kelak tumbuh dan berkembang menjadi tempat bagi para santri yang
ingin
menghafal Al-Qur-an. Hal ini adalah karena Kyai Abdul Hamid juga merupakan
seorang
penghafal Al-Qur-an (Hafidh) dan menguasai pula Qira-ah Sab’ah.
Selanjutnya,dibawah
asuhan dan bimbingan Kyai Abdul Hamid bersama Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah,
Pondok
Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma’unah Sari-pun semakin tumbuh dan berkembang.
Latar
belakang dan asal para santri juga terdiri dari berbagai lapisan masyarakat,
dan berasal
dari
berbagai pelosok Nusantara, termasuk Papua (Irian Jaya), Kalimantan, Sulawesi,
Maluku,
Sumatera, dan lebih-lebih dari Pulau Jawa. Mulai saat itu pula, dibuka Program
Pengajian
Al-Qur-an bil-Ghaib untuk santri Putera.
Diantara
para santri ini,banyak pula diantara mereka yang merupakan alumnus
Pesantren-Pesantren
kenamaan,seperti
Pesantren Lirboyo dan Ploso, keduanya di Kediri , Pesantren Tegalrejo Magelang,
Pesantren
Langitan Tuban, dan lain sebagainya. Dengan berkumpulnya para alumnus
Pesantren-pesantren
tersebut,tidaklah mengherankan apabila selain mengikuti
kegiatan-kegiatan
wajib, terutama menghafal al-Qur-an, kerapkali terjadi diskusi-diskusi
ala
Bahtsul Masa-il, sebagai salah satru wujud pengembangan dari Ilmu-ilmu yang
mereka
peroleh
di Pesantren mereka sebelumnya. Namun begitu, bagi mereka yang kebetulan
belum
pernah mengenyam pendidikan Pesantren sama sekali, tidak perlu berkecil hati,
karena
dari para alumnus Pesantren tadi, mereka bisa memperoleh arahan dan bimbingan,
melalaui
Madrasah Al-Mundziriyyah di Pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran dasar
yang
sangat penting, sebagai bekal kelak di kemudian hari. Kalaupun masih kurang
puas,
mereka
bisa mengaji di Pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren Lirboyo.
Selain
itu, diantara para santri juga tidak sedikit yang merupakan jebolan Perguruan
Tinggi,
sehingga
mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan mereka
sesama
santri. Hal ini dirasa penting, terutama dalam kaitannya untuk menata dan
mengatur
manajemen
organisasi Pesantren, agar lebih solid dan efisien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar