Dalam
khazanah budaya Sunda, dikenal adanya tiga pembagian kekuasaan yang setara
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ketiga lembaga kekuasaan itu menyatu
dan saling mendukung. Kekuasaan yang dihormati adalah kekuasaan rohaniah yang
disebut resi. Kekuasaan kedua disebut ratu, yakni pihak eksekutif yang
memerintah ketiga kampung kekuasaan. Dalam bahasa yang lebih primordinal
disebut negara. Dan alamat ketiga adalah rama yang tak lain adalah rakyat,
|
yang lembaganya mengurusi keamanan dan pertahanan
ketiga kesatuan tripartit kampung. Dengan demikian, ketiga lembaga memiliki
pucuk pimpinan atau jawaranya sendiri-sendiri, yakni jawara rohaniah, jawara
eksekutif, dan jawara silat.
Sosok kharismatik ajengan Cipasung Tasimalaya yang
dibedah biografinya dalam buku ini tak lain adalah sosok resi yang telah
mensenyawakan dirinya dan mentalitas spiritualitas Islam secara natural dengan
mentalitas budaya Sundanya di Cipasung. Dia bernama KH Moh Iyas Ruhiat.
Dilahirkjan hari Ahad, 12 Rabiul Awwal 1352 H/31 Januari 1934. Namanya sebagai
tafa’ul terhadap tokoh muda pesantren yang tengah naik daun saat itu, KH
Muhammad Ilyas, yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode (h. 37).
Sejak kecil sampai dewasa, Endang Ilyas (anak kiai diseputar Tasikmalaya lazim
dipanggil Endang), dididk oleh orang tuanya sendiri. Ajengan Ruhiat, bapak
Endang Ilyas, adalah perintis pesantren Cipasung. Ajengan Ruhiat termasuk
pelopor masyarakat Tasimalaya dalam menghadang imperialisme penjajahan Belanda,
sehingga pada 17 November 1941 beliau ditangkap dan ditahan bersama ulama
terkemuka, KH Zainal Musthofa di Penjara Sukamiskin dan dibebaskan 10 Januari
1942 (h. 29). Kegigihan sang ayah, sekaligus guru yang paling disegani Endang
Ilyas, inilah yang menjadi spirit Ilyas untuk terus belajar secara tekun dan
selalu bersikap tegar yang nantinya mampu menjadi modal memperjuangkan
masyarakat Cipasung.
Kecerdasan dan ketegarannya membuat orang tuanya
bangga, sehingga ketika sang Ayah merasa sakitnya parah, Endang Ilyas langsung
dibai’at oleh ayahanda sebagai penerus kepemimpinan pesantren Cipasung.
Ditangan Moh Ilyas, Cipasung sejak tahun 1980-an sampai sekarang menjadi
pesantren besar yang penuh prestasi. Terlebih ketika Ajengan Ilyas terpilih
sebagai pelaksana harian Rais Aam PBNU yang ditinggalkan KH Ahmad Siddiq dalam
Munas Lampung tahun 1992. Dan kemudian beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam
PBNU dalam Muktamar XXIX tahun 1994 di pesantrennya sendiri, Cipasung.
Kesuksesan Ajengan Ilyas menjadi Rais Aam PBNU membuktikan akan teguhnya beliau
sebagai seorang resi. Dan beliau sampai saat ini, adalah satu-satunya orang
Sunda yang pernah menduduki posisi Rais Aam. Karena dalam kepemimpinan NU,
jabatan Rais Aam selalu diisi orang Jawa. Dan perlu dicatat, Rais Aam bukanlah
sekedar jabatan. Yang terpilih (bukan dipilih) adalah mereka yang kharismatik
dan benar-benar menjadi panutan ummat. Sebut saja mislanya KH Hasyim Asy’ari,
KH A. Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Sansuri.
Sosok resi yang melekat dalam diri Ajengan Ilyas
sangat dirasakan oleh seluruh warga NU dan pesantren. Beliaulah yang menjadi
siger tengah (tokoh moderat) dalam konflik elite NU di Munas Lampung 1992.
Waktu itu, Gus Dur berseteru dengan pamannya sendiri, KH Yusuf Hasyim, dan KH
Ali Yafie. Pada Muktamar Cipasung tahun 1994, ketika Gus Dur dan Abu Hasan
berseteru, bahkan karena tidak terpilih, Abu Hasan akhirnya mendirikan NU
tandingan bernama KPPNU, Ajengan Ilyas tampil lagi sebagai siger tengah yang
mengembalikan keutuhan jam’iyyah dan jama’ah NU. Ketika warga NU digegerkan
oleh Naga Hijau dan Ninja yang membantai warga Banyuwangi, beliau bersama Gus
Dur tampil dengan santun menyelesaikan konflik tersebut dengan damai. Dan
ketika warga NU sedang bergairah era reformasi, beliau juga merestui lahirnya
PKB yang kemudian mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI. Sampai
sekarang, walaupun kondisi fisik beliau sudah sangat lemah, ketika warga NU
diterpa godaan politik yang menggoyahkan Khittah 1926, beliau tetap
bersungguh-sungguh mempertahankan Khittah yang diwariskan para sesepuh NU.
Totalitas perjuangan Ajengan Ilyas dalam NU
sangatlah besar dan dikagumi warga NU. Tidak hanya warga NU, tetapi seluruh
bangsa. Karena di Jawa Barat beliau juga sering memelopori dialog lintas agama
dan linta sektoral. Beliau selalu menggandeng Muhammadiyah dalam persoalan umat
Islam. Dalam pluralitas keberagamaan, beliau selalu menggendeng para pemuka
agama Indonesia, termasuk ikut masuk dan berceramah di pesantrennya. Walaupun
demikian, beliau tetap santun dan rendah diri. Menduduki posisi tertinggi di NU,
beliau tetap tinggal di Cipasung. Karena baginya, Ilyas dan Cipasung bagai biji
yang tumbuh ditanahnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar