Komandan
Hizbullah Pendiri Madrasah Pertama di Blambangan Selatan  Pada zaman-zaman
perjuangan merebut kemerdekaan, banyak sekali korban yang harus dipertaruhkan
oleh bangsa Indonesia.Tak terhitung lagi korban yang telah dipersembahkan
demi sebuah kemerdekaan. Bukan sekedar harta dan nyawa, namun juga perasaan
terhinakan karena terus dikejar-kejar dan terusir dari kampung halaman. Namun
tentu saja banyak sekali para pahlawan yang justru memanfaatkannya untuk
berjuang di dua ranah, yakni perjuangan fisik dengan mengangkat senjata dan
perjuangan dakwah dengan mendidik generasi penerus bangsa.
|
Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan
bangsa yang berjuang di dalam dua medan perjuangan sekaligus ini adalah KH
Dimyati Banyuwangi. Seorang ulama kharismatik yang telah memiliki banyak jasa
bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Beliau adalah salah satu di antara para ulama
Nahdlatul Ulama dengan andil besar dalam perjuangan fisik yang berpuncak pada
meletusnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. Salah satu bentuk sumbangsih nyata
bagi perjuangan fisik merebut kemerdekaan adalah fatwa Beliau yang berbunyi,
“seluruh santri santri di daerah Banyuwangi selatan (kawasan Blambangan lama)
wajib masuk Hizbullah.†Fatwa ini memiliki konsekwensi yang cukup besar bagi
santri-santri di kawasan Banyuwangi selatan.
Dengan adanya fatwa ini, para santri memiliki tugas
ganda. Pada malam hari mereka harus mengendap-endap untuk menyerang pos-pos
keamanan tentara Belanda dan Jepang.
Sementara pagi harinya mereka kembali memeluk
kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran agama. Walhasil sebenarnya mereka belajar
di atas timbunan amunisi dan mesiu hasil rampasan dari tentara penjajah. Memang
secara struktural, KH Dimyati adalah Komandan Hizbullah (laskar pejuang yang
berafiliasi ke NU) untuk wilayah Blambangan selatan.Kegiatan ganda semacam ini
di jalani oleh KH Dimyati bersama dengan santri-santrinya di Pondok Pesantren
Nahdlatut Thullab.
Bukan tanpa resiko, selain menantang bahaya pada
malam hari, mereka juga selalu diintai bahaya pada keesokan hari ketika mereka
sedang mengaji. Banyaknya intel penjajah yang berkeliaran membuat keselamatan
mereka selalu dipertaruhkan setiap saat.
Selain mengasuh Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab,
KH Dimyati juga dipercaya sebagai Rois Suriyah I Nahdlatul Ulama cabang
Blambangan (saat itu Banyuwangi selatan). Sementara pada waktu tersebut
Pengurus Tanfidiyah dipercayakan kepada K Syuja’i.
Keduanya, bersama para ulama lain, bahu membahu
memimpin penduduk di sana untuk melawan penjajahan. Baik secara fisik maupun
melawan terhadap segala dampak buruk penindasan Belanda dan Jepang, termasuk
kebudayaan negatif yang dibawa oleh setiap pemerintah penjajah.Keadaan ini
berlangsung terus hingga masa-masa setelah kemerdekaan. Dalam mempertahankan
kemerdekaan, para santri terus melakukan penyerangan-penyerangan terhadap
pos-pos tentara Belanda pada malam hari.
Maka benar saja, lama kelamaan perlawanan mereka pun
tercium oleh Belanda. Sehingga pondok pesantren yang dipimpinnya pun digerebek
oleh tentara Belanda.Seluruh bangunan dibakar, termasuk bangunan pesantren dan
tempat tingaal KH Dimyati diratakan dengan tanah oleh Belanda. Seluruh
kitab-kitab Beliau sebanyak dua lemari besar pun habis di makan api.
Karena di bawah bangunan pesantren banyak tertanam
amunisi dan mesiu hasil rampasan para santri ketika bergerilya malam hari, maka
akibat pembakaran semakin menjadi-jadi. Mesiu-mesiu ini mengakibatkkan api yang
melalap gedung pesantren semakin menyala menjadi-jadi dan menimbulkan
ledakan-ledakan hebat.Meski para santri telah diperintahkan menyingkir dan
berpencar, salah seorang santri bernama Muhammad Fadlan tertembak dan gugur
pada penyerangan Belanda tersebut.
Muhammad Fadlan kemudian dikuburkan sebagai syuhada
dan dipindahkan ke Makam Pahlawan Banyuwangi pada tahun 1962.Sementara KH
Dimyati ditangkap oleh Belanda dan ditahan selama 27 bulan hingga pertengahan
tahun 1949. Komandan Hizbullah Blambangan selatan ini sebenarnya sudah hampir
dieksekusi oleh Belanda. Namun menurut beberapa cerita, ketika menjelang
hari-hari eksekusi, dokumen-dokumen pidananya oleh Belanda ternyata hilang dan
tidak pernah ditemukan lagi.
Sehingga eksekusi tidak pernah benar-benar
dilaksanakan, sampai waktunya ia dibebaskan karena kekalahan-kelahan Belanda di
Indonesia.
Lahan
untuk para Santri
Setelah keluar dari tahanan Belanda dan bangsa
Indonesia kembali menata kehidupannya dengan merdeka, maka KH Dimyati kembali
membangun pesantrennya.Pada tahun 1950 KH Dimyati mengumpulkan para tokoh agama
di wilayah Banyuwangi selatan, dan pada tahun 1951 beliau secara resmi mengasuh
Pesantren Nahdlatut Thullab kembali. Pada tahun 1957 Beliau dan keluarganya
mendirikan Yayasan Nahdlatut Thullab.
Beberapa saudara-saudara dan relasi keluarga KH
Dimyati kemudian mengajukan permohonan kepada Presiden Soekarno di Jakarta.
Rupanya pengajuan ini berhasil dan mendapatkan dana yang cukup untuk membangun
kembali kompleks pesantren yang telah dibumihanguskan Belanda tersebut.
Dana dari Presiden Soekarno ini rupanya diirit-irit
oleh panitia pembangunan, sehingga memiliki sisa yang cukup untuk dibelikan
sawah seluas 5 hektare yang kemudian dikelola oleh para santri untuk menunjang
kehidupan mereka selama mondok di Pesantren Nahdlatut Thullab.
Metode penggarapan sawah oleh santri ini merupakan
perluasan manfaat yang didapatkan oleh KH Dimyati dari pengalamannya selama
Beliau menuntut ilmu di berbagai pesantren di Jawa Timur.Menurut ceritanya,
dahulu sewaktu KH Dimyati menginjak masa-masa remaja, ia ingin menuntut ilmu ke
luar dari wilayah Blambangan (Banyuwangi). Maka, ia pun mengutarakan maksudnya
ini kepada ibundanya.
Namun sang ibu menyatakan bahwa keluarganya sedang
tidak memiliki bekal yang cukup untuk membiayai keinginannya. Keluarga di
Banyuwangi hanya memiliki tanah persawahan yang tidak dapat diharapkan banyak
karena sulitnya zaman akibat penjajahan.
Namun Dimyati nampaknya telah teguh dengan
keinginannya. Ia menginginkan untuk menjual sawah yang menjadi bagain warisannya
kelak ketika dewasa. Kendati terheran-heran dan ham[ir tak percaya, Ibunya pun
kemudian menyangupi ketika melihat tekad bulat anaknya ini. Ibunya lebih heran
lagi ketika melihat bahwa semua uang hasil penjualan sawah satu satu hektar
bagiannya, ternyata seluruhnya dibelikan kitab.
Saking herannya ibunya bahkan sempat mengatakan,
â€Makan tuh kitab.â€Walhasil Dimyati pun segera meninggalkan rumahnya untuk
modok ke Pesantren Termas, di Pacitan. Karena seluruh uangnya telah dibelikan
kitab, maka ia hanya dibekali oleh ibunya dengan sekarung cengkaruk/karak
campur jagung. Bahan makanan ini berupa bahan yang menunjukkan betapa
sebenarnya keluarga Dimyati di banyuwangi juga sama-sama susah akibat
penjajahan Belanda.Namun rupanya dengan bekal hanya sekarung cengkaruk ini,
Dimyati mampu bertahan hingga tiga tahun di Pesantren Termas.
Rupanya ia bertahan di Termas dengan cara bekerja ke
sawah untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok. Karenanya KH Dimyati kemudian
menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.Selama
mondok Dimyati memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah
santri kesayangan sang pengasuh Pesantren Termas.
Pada saat itu pondok Termas berada di bawah
bimbingan KH. Hafidz Dimyati. Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyati
berganti namanya menjadi Dimyati, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya.
Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari
Pesantren Termas, ia pun menggunakan nama Dimyati. Sementara nama lahirnya,
Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.
Dalam pandangan KH Dimyati, para santri sah-sah saja
bekerja selama menimba ilmu di pesantren, karena justru akan membantu mereka
untuk mandiri sejak dini dan tidak membebani orang tua di rumah. Pesantren
dapat menyediakan lahan yang digunakan oleh para santri untuk bercocok tanam
atau membuka usaha, asalkan tidak mengesampingkan tugas utamanya, yaitu belajar
ilmu agama. Dengan demikian para santri dapat menopang sendiri hidupnya,
sehingga tidak perlu dikirim oleh orangtua dari rumah.
Begitulah yang dijalaninya selama mengaji di tiga
pesantren, yakni Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH
Abdullah Fakih dan Pesantren Idham Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah
Syuja’. Kedua pesantren yang terakhir berada di wilayah Banyuwangi
sendiri.Maka demikian pun ia mempraktekkan ilmunya ketika telah mengasuh
pesantren. Para santri di Nahdlatut Thullab tidak harus membawa bekal atau
dibekali oleh orang tuanya dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat
menopang kehidupan dan membiayai pendidikannya selama di pesantren.
Karenanya, dana pembangunan pesantren yang dari
Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak
membebani orang tua masing-masing.Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena
entah kebetulan atau tidak, jumlah santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas
lahan yang tersedia untuk menopang kehidupan dan kebutuhan belajar mereka.
Sehingga KH Dimyati dapat benar-benar mendidik mereka dengan seksama, termasuk
ketika harus membina mereka sebagai laskar Hizbullah pada kegelapan malam.
Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk merangkul
kitab kuning pagi harinya di pesantren.
Sorogan
Tak-langsung dan Pendidikan Bilfi’li
Dalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyati mengandalkan
lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya
menyimak dengan seksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyati adalah
“sorogan tak langsungâ€. Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang
telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya. Jadi para santri secara
otomatis akan mendengarkan dengan seksama ketika sang kyai sedang membacakan,
karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.
Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyati
di Pesantrennya adalah metode bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai
bebas menerangkan agar para santri mengerti maksud-maksud tersirat dari
teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini lazim digunakan di
madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga pesantren-pesantren
Nusantara lainnya.
Selama mengasuh pesantren, selain terlibat dalam
perjuangan fisik secara langsung di malam hari, KH Dimyati juga sempat membuat
karangan tentang akhlak (karakter) yang semestinya dimiliki oleh para remaja
Islam. Karangan ini berbentuk nadzam (semacam pantun dalam bahasa Arab, yang
menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan KH Dimyati ini berjudul
Muidzotus Syibyan (Nasehat untuk para Remaja).Pesantren Nahdlatut Thullab
sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu dan shorof.
Meski tentu saja kitab2 tafsir juga menjadi kajian
utama para santrinya. Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada
KH Dimyati, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan
aqoid 50-nya. Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan
dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah ketuhanan kepada masyarakat di
daerah alumni itu sendiri.Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut
dapat mereka kuasai secara â€ladunniâ€. Artinya, dulu ketika diajar langsung
terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, namun setelah kelaur
dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud
penjelasan KH Dimyati sewaktu di pesantren dahulu.
Metodenya pembelajaran KH Dimyati sebenarnya sangat
sederhana sekali. Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka
mereka mendapatkan semacam pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para
santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca
Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktifitas mereka. Kemudian barulah
didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu
lainnya.Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyati adalah pendidikan
bilhal/bifi’li. Yakni pendidikan praktek langsung, bukan hanya teori.
KH Dimyati terkenal suka mengajak para santrinya
untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus
tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.Beberapa santri bahkan
menyatakan, sifat kewiraan KH. Dimyati banyak menitis/menurun kepada anak
didiknya. Mereka sering didatangi oleh KH Dimyati jika malakukan hal-hal yang
tidak sesuai dengan ajaran KH Dimyati.
Jika mereka mengalami hambatan atau kendala dalam
kehidupan, kemudian bertawassul kepada KH Dimyati, maka biasanya mereka
kemudian segera menemukan solusi dari permasalahan mereka.â€Semasa masih di
pondok, para santri seakan tidak merasakan keistimewaan menimba ilmu kepada KH
Dimyati, namun setelah mereka kembali pulang ke daerahnya masing-masing,
barulah mereka mengerti keistimewaan tinggal di pondok ini. Kebanyakan para
santri baru menyadari manfaat menimba ilmu pesantren Nahdlatut Thullab,
Kaliogoro Kepundungan Srono Banyuwangi, ini setelah berdakwah di rumah,â€
demikian diungkapkan KH Syaifullah Ali Subagiono, Pengasuh Pondok Pesantren
al-Hikmah, Ketapang Banyuwangi.
Berbagi
Relasi untuk para Santri
Menurut Subagiono, KH Dimyati benar-benar menjadikan
hidupnya sebagai pengabdian sepenuhnya kepada sesama, termasuk kepada orang-orang
dari tanah kelahirannya, Yogyakarta. Di manapun para alumni berada, biasanya
mereka mendapatkan solusi terkait relasi yang ditunjukkan oleh KH Dimyati. Hal
ini dikarenakan KH Dimyati yang berasal dari keluarga Yogyakarta memang
memiliki banyak relasi di Jakarta, Yogyakarta dan daerah-daerah lain.
Luasnya jaringan relasi di kalangan para pemimpin
bangsa, dibuktikan oleh kunjungan berkala dari ketiga menteri agama Republik
Indoensia yangd ari NU, yakni KH A. Wahid Hasyim, KH Syaifuddin Zuhri dan KH
Ahmad Dahlan, termasuk KH Ahmad Syaikhu. Meski sudah menjadi pejabat negara di
tingkat pusat, namun tamu-tamu ini tetap bersikap santai di pesantren. Mereka
biasa tiduran dan bercengkerama dengan santri di pendopo pesantren.Terpenting
KH Dimyati selalu menanamkan jiwa ke-NU-an di hati anak didiknya.
Beliau menyatakan ingin hidup sebagai orang NU dan
kelak jika meninggal pun sebagai orang NU. KH Dimyati mengabdikan seluruh
hidupnya untuk kemajuan NU. Sementara untuk urusan anak-anaknya, ia menyatakan,
toh mereka bisa mencari hidup sendiri-sendiri.
Tokoh Kharismatik dari Blambangan selatan ini,
terlahir pada tahun 1912 dan dibawa pindah ke kawasan Blambangan selatan oleh
keluarganya, yang berasal dari Wonokromo Yogyakarta, sekitar tahun 1915-an dan
boyongan dari pesantren untuk mendirikan pesantren dan berdakwah di daerah
Blambangan selatan pada tahun 1936. pada tahun 1959 setelah usai merampungkan
pembangunan gedung pesantrennya dan menyediakan cukup lahan untuk para
santrinya menopang kehidupan dan biaya belajar selama di sana, KH Dimyati
berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Namun di sanalah rupanya Beliau
datang untuk menghadap kepada Rabb-nya pada usia 47 tahun.
Sebuah pemakaman tanpa penghormatan militer,
meskipun Beliau selalu berada di garis terdepan dalam pertempuran melawan
tentara-tentara Belanda. Selamat jalan Komandan Hizbullah Blambangan selatan.
Semoga generasi masa kini dapat meneruskan perjuanganmu mengusir imperialisme
dari bumi Nusantara (Puji Utomo/Syf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar